Malam minggu yang sempurna? Saya punya kriteria sendiri. Sederhana saja: duduk menyeruput segelas ice cappuccino sambil membaca beberapa terbitan (majalah dan koran) di tempat yang tenang dengan musik mengalun santai. Tidak terburu-buru. Tidak perlu melirik jam di pergelangan tangan setiap beberapa menit sekali. Dunia milik sendiri.
Malam minggu kemarin, karena libur, saya pergi ke Manado (jarak dari rumah kami di Pineleng ke Manado kira-kira sama dengan dari Pluit ke Grogol plus macet-macet dikit). Tujuannya hanya satu: menikmati malam minggu yang (mudah-mudahan) sempurna. Dan memang skenarionya berjalan lancar. Sampai mata saya tertumbuk pada salah satu berita, "Gay rights groups slam media over bias".
Tahukan kasus pembunuh berantai yang sekarang lagi rame diberitakan? Yang pelakunya bernama Very Idam Henyansyah alias Ryan? Yang kebetulan gay?
Nah, berita itu tentang rekan-rekannya yang sama-sama berbeda orientasi seksualnya yang protes kepada media karena pemberitaannya yang bias. Katanya bahwa Ryan adalah pembunuh berantai itu tidak ada hubungan sebab-akibatnya dengan orientasi seksualnya. Menjadi pembunuh itu satu soal, menjadi gay itu soal lain. Sebetulnya protes itu bukan hanya kepada media tetapi juga kepada sejumlah pakar psikologis. Merekalah yang mengemukakan analisis tentang kaitan orientasi seksual dengan tindak pembunuhan itu. Katanya, "gay identik dengan kekerasan" atau begitulah kira-kiranya.
Saya tercenung. Dan lalu marah. Bukan karena protes itu (saya pribadi mendukungnya). Tetapi karena analisa itu. Itu analisa paling payah! Sekaligus paling brutal yang pernah saya dengar! Saya punya beberapa teman dengan orientasi seksual gay dan lesbian. Belum ada masalah kekerasan sejauh ini. Di antara mereka ada pencinta anjing sejati. Nah loh. Gay… pembunuh…. Payah!
Malam minggu yang seharusnya sempurna itu selesai sudah. Dalam perjalanan pulang, dengan kepala yang lebih dingin, saya memikirkan kembali analisa itu. Aha… Sesungguhnya pola pikir para pakar itu tidak jauh berbeda dengan saya. Mungkin juga dengan Anda. Polanya adalah di dalam otak saya sudah tersimpan keyakinan tertentu, dugaan tertentu atau sentimen tertentu terhadap sesuatu atau seseorang. Sehingga kalau ada kejadian, asal vonis saja dulu sama orangnya, sebab dan buktinya dicari belakangan. Mau salah, mau benar, itu nanti. Dengan kata lain, saya sendiripun sudah pernah bikin analisa paling payah dan paling brutal terhadap orang lain. (Mungkin masih sampai sekarang, kadang-kadang). Dan hasilnya: malu! Mau mengaku salah, gengsi. Pilihan paling gampang, ngeles.
Di dalam mobil yang saya tumpangi pulang, terdengar suara Mike Tramp, "when it's time to say goodbye my friend". White Lion, favorit saya. Mungkin memang saya harus mulai mengatakan selamat tinggal pada keyakinan, dugaan dan sentimen tertentu dalam otak saya. Kalau tidak, orang lain jadi korban. Dan saya, jelas, tambah dosa lagi…
0 komentar:
Posting Komentar