Brutus

Selasa, Juli 29, 2008

Umurnya kurang lebih 6-7 bulan (tidak ada yang ingat persis kapan dia lahir) dengan tinggi baru 22 cm dan panjang 16 cm (ini bukan angka-angka tebakan, saya mengukurnya sendiri, beberapa jam yang lalu). Bulunya coklat tua, agak tebal, dengan lingkaran di hidung berwarna hitam. Tidak terlalu besar. Terlalu kecil, juga tidak. Namanya Brutus. Seekor anjing biasa, salah satu penjaga rumah kami.

Dua bulan yang lalu ketika saya bertemu dengannya pertama kali, dia sama sekali jauh dari anjing kecil rumahan yang standar: berlari riang menyongsong sambil mengibaskan ekornya. Manja. Centil. Minta dibelai, paling tidak dielus sebentar. Tidak. Dia menunjukkan ekspresi marah, dan terus menggonggong jika didekati. Dengan suaranya yang kecil, tidak meyakinkan itu. Sangat tidak ramah. "Ok, saya orang asing untuk dia. Nanti juga jinak sendiri". Seminggu berlalu, saya salah. Apa masalahnya?

""Dia memang pemarah. Entah siapa yang bikin dia trauma dengan manusia?!". Begitu keterangan yang saya peroleh. Saya bertekad untuk menaklukannya.

Suatu siang saya mendekatinya. Seperti biasa dengan tampang tidak bersahabat dan gonggongan tidak meyakinkan itu, ia berhadapan dengan saya. Setelah diperhatikan benar, tampangnya lebih ke takut daripada marah. Benar, dia trauma. Tanpa menghiraukan gonggongannya saya meraihnya dan memeluknya. Meronta sebentar ingin lari. Tapi lalu diam. Dan… menikmati. "hmmmm, Brutus, Brustus, dasar anjing manja…" Dia akrab dengan saya sampai sekarang. Ia sudah menjadi anjing kecil rumahan yang standar.

Teman saya yang baru pulang dari paroki bercerita tentang seorang ibu berumur 45 tahun. Ibu itu meninggalkan kesan di hatinya. Ia menggambarkan sosok itu pada pertemuan pertama mereka sebagai "cerewet minta ampun, tukang gosip, luar biasa menyebalkannya". Beberapa bulan kemudian tidak ada yang lebih akrab dengan ibu itu daripada teman saya. Semua orang terheran-heran dengan fakta itu. (Teman saya ini sudah diperingatkan oleh banyak umat untuk menjauhi ibu itu karena kelakuannya yang demikian). Faktanya,menurut teman saya, ibu itu kesepian dan hanya ingin didengarkan. Itu saja. Dan teman saya ada di sana untuk dia dengan telinga dan hatinya.

Kadang-kadang begitulah kita. Marah, ngambek, cerewet, gosip, gak mau kerja ini dan itu lagi, berhenti bertanggung jawab, tidak mau terlibat, dst, dst. Bukan karena ada sesuatu yang salah dan karena itu kita berhak marah. Tidak. Ada saatnya kita hanya ingin lebih didengarkan, lebih dihargai dan lebih dimengerti. Ada saatnya kita hanya butuh dipuji. Itu saja.

Sialnya, tidak semua orang peka dengan kebutuhan kita. Lebih sial lagi, kita sudah melukai hati orang padahal itu bukan maksud kita. Yang paling sial dari semua itu, tidak banyak di antara kita yang menyadari alasan (kebutuhan) di balik marah-marah (dst) yang heboh itu.

Berita baiknya adalah bukan cuma kita saja yang marah-marah gak jelas padahal lagi butuh, Brutus juga. Berita buruknya adalah sebaiknya kita sudah mulai harus menyadari kapan kita marah-marah padahal sebenarnya butuh ini-itu. Kalau tidak, kita sama saja dengan Brutus.

Ada yang mau dipanggil Brutus?

0 komentar: