Di Penghujung Tahun Ini

Kamis, Desember 31, 2009

Di penghujung tahun ini saya menemukan kata-kata Dalai Lama, "Teman-teman lama pergi, teman-teman baru bermunculan. Seperti juga hari-hari kita. Hal yang terpenting adalah membuatnya penuh arti: teman yang penuh arti atau hari yang penuh arti".

Kenyataannya, ada hari-hari dalam tahun ini di mana hal-hal teramat berarti terjadi: mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup, misalnya.

Ada juga hal-hal tidak berarti dan bodoh yang kita lakukan. Saking bodohnya, kita hanya bisa menoleh ke belakang sambil menyesal, "Kalau saja waktu bisa diputar kembali…".

Ada juga hal-hal yang terjadi di luar perkiraan kita sebelumnya. Tak pernah terlintas di benak kita tetapi terjadi. Pengalaman-pengalaman mengecewakan dan menyakitkan, misalnya. Sampai membuat kita bertanya-tanya, "Tuhan, maksud-Mu apa?"

Ada juga hiburan-hiburan dan kebahagiaan-kebahagiaan tak terduga. Tak pernah direncanakan tetapi terjadi.

Sisanya lagi, hari-hari yang datar. Rutin. Tidak begitu berarti, bodoh juga tidak. Tidak membahagiakan, mengecewakan juga tidak. Biasa saja. Tanpa drama. Namanya "sisa" tetapi bisa jadi 80-90 % dari hari-hari sepanjang tahun ini adalah hari-hari tanpa drama itu.

Itulah hidup.

Syukurilah.

Untuk semua yang telah Anda lalui di tahun 2009, syukurilah.

Suatu hari di tahun ini, seorang ibu mengirimi saya sebuah pesan pendek yang istimewa. Bunyinya, Many things about tomorrow I don't seem to understand, but I know God holds tomorrow and He holds my hand. I'm sure He's holding yours too. God bless you.

Tangan Tuhan akan menuntun Anda di tahun yang baru ini.

Selamat berjalan bersama-Nya. Jangan takut. Jangan cemas.

Ngomong-ngomong, pelajaran paling berharga yang saya dapatkan di tahun yang akan berlalu ini adalah kesabaran pada akhirnya berbuah manis.

Selamat memasuki tahun baru 2010.

Apa pelajaran paling berharga yang Anda dapatkan di tahun 2009?

Kebenaran Bisa Menunggu

Senin, Desember 28, 2009

"Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia" (Mat. 2:13)

Ada saatnya orang tidak menghendaki kebenaran terungkap.

Karena kebenaran itu terlalu menyakitkan baginya.

Ada saatnya kebenaran bisa menunggu.

Ada saatnya pilihan terbaik untuk mengatakan kebenaran adalah dengan menunda untuk mengatakannya.

Diam.

Melarikan diri.

Mengungsi.

Karena akan terlalu mahal harga yang harus dibayar dan resiko yang harus ditanggung jika kebenaran dikatakan di sembarang waktu.

Setiap kebenaran memang beresiko. Tetapi waktu menentukkan seberapa besar resiko itu.

Kebenaran memiliki waktunya sendiri untuk muncul di permukaan.

Itulah sebabnya Yesus dilarikan ke Mesir. Menghindar dari Herodes yang akan mengamuk membabi buta.

Tuhan tidak membuka kebenaran di sembarang waktu. Tuhan itu bijaksana. Ia tahu betul kapan harus menyimpan, kapan harus membuka.

Itulah yang kita butuhkan: kebijaksanaan untuk bisa mengetahui kapan harus menyimpan kebenaran dan kapan harus membukanya.

Semoga Tuhan berkenan menganugerahkan kebijaksanaan itu kepada kita.

Mintalah kepada-Nya.

Untuk Anda, Dengan Salam dan Doa

Rabu, Desember 23, 2009

Jika Anda Tertangkap Basah

Tinggal sesaat saja kita akan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Jadi, apa yang bisa dikatakan untuk Natal tahun ini?

Intermeso. Manado ini kota yang tergesa-gesa kalau menyangkut perayaan Natal. Lucu juga mengingat kebiasaan (buruk) kebanyakan orang Manado yang suka telat menghadiri sebuah acara. Ini membenarkan kebijaksanaan tua: untuk selalu segala sesuatu ada kekecualiannya. Sudah sejak Oktober lalu, O Holy Night sudah berkumandang di siang bolong di dalam angkutan-angkutan kota menggeser lagu-lagu mendayu-dayu anak-anak band.

Kembali ke pertanyaan di atas, apa yang bisa dikatakan?

Kita sama-sama tahu Natal sesungguhnya adalah perayaan cinta kasih Allah kepada manusia. Saking cinta-Nya sampai Ia mengutus Putera-Nya sendiri menjadi manusia dan tinggal di antara kita.

Masalahnya sekarang bagaimana cinta Allah itu kongkrit di dalam hidup Anda sekarang, kini dan di sini.

Begini.

Untuk setiap dosa, kejahatan dan kesalahan yang Anda lakukan, seseorang (termasuk suara hati Anda) akan berusaha menghentikan Anda untuk tidak melakukannya lagi. Entah ia mengirim Anda ke penjara. Menangkap basah Anda. Melabrak Anda. Memarahi Anda. Menegur Anda. Memperingatkan Anda. Menasehati Anda. Mengingatkan Anda.

Jika itu terjadi, betapapun malunya Anda (jika Anda tertangkap basah) mengertilah bahwa seseorang itu (atau hati nurani Anda) dikirim Tuhan khusus untuk Anda. Tuhan sesungguhnya sedang menghendaki agar Anda tidak melakukan dosa, kejahatan, kesalahan itu lagi. Tuhan ingin Anda berhenti saat itu juga dan berbalik arah. Itulah cinta Tuhan dalam hidup Anda.

Selamat Natal, saudara-saudari.

Tuhan mencintai kita sekalian.

Mamanya si Abang

Selasa, Desember 08, 2009

Minggu lalu saya ingin menikmati film di bioskop. Kebetulan sepanjang siang tidak ada acara yang harus saya hadiri dan tidak ada pekerjaan mendesak yang harus saya selesaikan.

Tetapi kenikmatan kadang memang tidak bisa diperoleh dengan mudah. Antrian di loket pembelian karcis demikian panjang. "Sesekali ini" pikir saya. Jadilah saya bergabung bersama dengan para pengantri. Berdiri. Menunggu.

Di depan saya berdiri seorang wanita muda berpenampilan kasual, di pertengahan 30-an usianya. Tidak seperti saya dan yang lainnya yang menatap lurus ke depan, wanita muda ini berdiri menyamping ke sebelah kanan. Saya mengikuti arah tatapan matanya dan berhenti pada bocah yang berlarian ke sana ke mari.

"Anaknya ya?" tanya saya.

"Iya" jawabnya sambil melihat saya. Ramah.

"Umur berapa?"

"Tiga tahun".

"Ganteng".

"T'rima kasih".

Dan… saya baru saja membobol tembok bendungan.

Sambil tetap mengawasi putranya yang dipanggilnya "Abang" (sekalipun ia mengaku tidak ingin menambah anak lagi), mulailah ia berceloteh panjang lebar tentang abangnya ini. Mulai dari "Anaknya hiperaktif, bla-bla-bla" sampai "Bapaknya suka gak sabaran". Dari "Sejak umur 3 taon ini saya udah mulai memperkenalkan pendidikan seks, misalnya bla-bla-bla" sampai "dia udah tau bedain teman, pacar, suami" (sampai di sini ia memanggil si abang untuk membuktikannya). Mulai dari "Waktu ngandung si abang, berat badan saya naek ampe 70-an kilo padahal sebelumnya cuman 45. Nah, abis ngelahirin tuh bla-bla-bla" sampai "kalaupun nambah anak lagi saya pengen hamil model busung lapar aja. Tau 'kan model busung lapar?".

Mmmmm… kalau tentang anak, rasanya ibu-ibu memang punya perpaduan bakat antara mengeluh, bangga dan pamer.

"Sekarang saya tau dari mana sifat hiperaktifnya si abang" kata saya. Dia tertawa. Renyah. Sedap didengar.

"Muslim ya?" tanya dia setelah celotehan panjang lebar di atas.

Saya tersenyum.

"Suami saya juga muslim" sambarnya cepat, merasa mendapat angin. "Saya tetap Kristen".

Situasi seperti ini sudah sering saya hadapi. Yang tidak biasa adalah percakapan kami selanjutnya.

"Kenapa gak pengen ngasih ade buat abang?"

"Saya terkena kanker payudara stadium tiga" katanya ringan, santai sekali.

Dia tersenyum melihat saya. Mungkin ingin melihat seperti apa reaksi saya.

"Teman-teman saya nangis semua waktu dengar berita ini. Saya menenangkan mereka, saya gak mau dikasihani. Ada saatnya sakit banget dan saya menangis tetapi itu di rumah di dalam kamar".

Dia mengaku sudah ikhlas menerimanya. "Saya gak kayak orang lain yang menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Apa gunanya juga? Sakit ya sakit. Saya tetap berdoa kepadanya setiap hari. Saya hanya minta sama Tuhan satu hal: saya hanya ingin melihat abang tumbuh dewasa. Setelah itu terserah Dia".

Dia mengatakan itu semua dengan riang sambil berbagi pandangan antara mengawasi si abang dan melihat saya.

Saya sama sekali orang asing bagi dia. Dan dia sama sekali orang asing bagi saya. Tetapi pelajaran terbaik tentang bagaimana menghadapi penderitaan justru datang dari orang asing ini. Di tengah antrian di bioskop. Ada kenikmatan sesaat di depan mata seharga Rp. 20.000. Ada pelajaran iman teramat berharga yang sama sekali gratis.

Menghadapi kanker dengan ikhlas dan riang??? Berbahagialah si abang, dia dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa.

Ayat Favorit Hari Ini

Bagaimana dengan Kepala Anda?

Senin, Desember 07, 2009

'Ku berjuang

Sampai akhirnya

Kau dapati aku tetap setia…

(Lagu: S'lidiki Aku)

 

Dua minggu lalu saya memimpin penguburan seorang ibu berusia 77 tahun. Saya cukup mengenalnya.

Setiap minggu, mulai dari pertengahan bulan oktober, saya mengantar komuni kepadanya dan suaminya di rumah mereka.

Saat menerima komuni, posisi duduk mereka demikian: di sofa tua yang muat dua orang itu, beliau duduk di sebelah kiri dan suaminya di sebelah kanannya. Selalu begitu. Setiap minggu. Dan saya hanya bisa mengira-ngira entahkah kesetiaan semacam ini yang membuat perkawinan mereka langgeng.

Selesai memberikan komuni, saya akan duduk sebentar bersama mereka berdua. Sekedar berbagi cerita ringan. Saya selalu memilih duduk di samping suaminya. Bukan meniru kesetiaan mereka. Hanya saja suaminya, yang mantan tentara berusia 84 tahun, tidak mampu lagi mendengar dengan baik. Praktis saja alasannya.

Karena alasan pendengaran yang tidak lagi meyakinkan ini, pembicaraan didominasi oleh sang istri—satu-satunya cerita yang keluar dari mulut suaminya adalah pengalaman dilempari bom tangan yang jatuh di sampingnya namun tidak meledak. Waktu saya sibuk mengaguminya, ia melanjutkan ringan, "Karena jatuh di lumpur, frater".

Pada usia 77 tahun, beliau adalah pencerita yang berapi-api sehingga saya ketularan semangatnya. Saya mengantarkan komuni untuk 16 orang tua di rumahnya masing-masing dengan jarak tempuh bervariasi antara 100 meter sampai 2 kilometer dengan berjalan kaki, hitung-hitung sekalian olahraga. Ibu dan bapak ini berada pada urutan 8 dan 9 dalam kunjungan tersebut. Mendengar sang ibu bercerita riang, kelelahan saya sirna sekaligus terisi energi baru untuk mengunjungi 6 orang tersisa.

Dua minggu lalu, ketika saya tiba di rumahnya, beliau sudah terbujur kaku di dalam peti mati. Suaminya duduk di sampingnya. Pandangannya tak pernah lepas dari istrinya.

Saya memilih duduk di samping sang suami.

Ia menatap saya sambil berkata, "Torang so kaweng 56 taon, frater. Kita nda pernah beking saki hati pa dia. Ada banyak cewek suka pa kita. Mar kita tetap setia pa dia". (Kami sudah menikah selama 56 tahun, frater. Saya tidak pernah menyakiti hatinya. Banyak cewek suka sama saya. Tetapi saya tetap setia padanya)

Ia mengatakan itu dengan kepala tegak, dengan kebanggaan seorang laki-laki dewasa dan suami yang baik dan bertanggung jawab.

Melihatnya, saya bertanya-tanya dalam hati, "Bisakah saya seperti beliau? Bisakah saya dengan kepala tegak mengatakan kepada orang lain di ujung hidup saya: saya setia selama bertahun-tahun?"

Adakah kepala Anda akan tegak juga?

Tuhan memberkati setiap usaha kita untuk tetap setia.