Bisa... Tidak Bisa... Bisa... Tidak Bisa...

Jumat, Juli 25, 2008

Saya pernah menghadapi situasi yang rumit. Pusing. Seperti tidak ada jalan keluar. Serba menyakitkan. Bikin stress. Pokoknya, gabungan semua perasaan itulah. Di saat-saat seperti itu, spontan saja, saya berdoa. "Tuhan, tolong saya. Saya tahu bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagimu. Amin."

Akhirnya memang situasi rumit itu terpecahkan. Tidak seketika. Tapi selesai juga, Syukurlah.

Tapi tahukah Anda bagaimana perasaan saya pasca doa spontan itu? Diam-diam, jauh di dalam pikiran, yang entah di mana, saya tidak begitu yakin dengan doa saya. Tidak yakin bahwa Allah bisa menolong saya. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Bahwa problem serumit ini bisa terpecahkan. Tidak yakin saja. Keyakinan saya seperti setrika: bisa… tidak bisa… bisa… tidak bisa… (Pada saat itu saya bingung dengan teman-teman yang (sok) yakin Allah bisa mengatasi semuanya).

Tandanya apa? Sehabis berdoa, perasaan saya biasa saja. Padahal, katanya, sehabis berdoa yang demikian akan muncul perasaan yang optimis sekaligus pasrah: sekarang giliran Allah melakukan bagian-Nya, dan karena Dia Allah, tentu saja, Dia bisa. Habis berdoa itu saya tidak lebih tenang dari sebelumnya. Kayaknya doa yang tadi bukanlah tindakan iman, bukan karena percaya bahwa kepada Allah-lah saya bisa bersandar. Tapi karena memang sudah kebiasaan. Jadi spontan saja, refleks, seperti menarik tangan dari api.

Ternyata itu bukan pengalaman pertama. Pernah seperti itu juga, beberapa kali: diam-diam, tanpa sadar, tidak terlalu yakin itu tadi.

Masalahnya di mana? Belakangan saya baru tahu ada yang namanya self-limiting belief. Terjemahan bebasnya kira-kira: kita sendirilah yang membatasi kepercayaan kita terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya kita bisa menyanyi, misalnya, tapi kita terlanjur percaya kalo bakat kita bukan di situ. (Pelampiasannya di tempat karaoke, tapi kalo diminta menyanyi di depan umum, nanti dulu). Dalam kasus saya di atas, saya sendiri yang membatasi kepercayaan saya kepada Allah. Bukan Allah yang tidak bisa dan tidak mau. Faktanya, saya sudah ditolong-Nya dari berbagai peristiwa nyaris. Percaya bahwa di hadapan Allah "impossible is nothing" dibatasi oleh saya sendiri.

Anda punya pengalaman serupa? Menyadari dan mengakuinya saja, itu sudah langkah awal yang baik.

0 komentar: