Labor of Love

Minggu, Agustus 28, 2011

Labor of love.

Kerja tanpa bayaran. Kerja sukarela karena cinta.

Kemarin sore, (Sabtu, 27/08), saya menikmati Festival Musim Panas (Domatsuri) di kawasan perbelanjaan kota Nagoya.

Jalan utama di kawasan ini dipadati ratusan orang yang ingin menonton berbagai tarian yang disuguhkan.

Saya semula ingin menikmati tarian-tarian itu dan berharap bisa mengambil gambar-gambar menarik.

Tetapi kemudian ketika melihat sekeliling, saya memutuskan mengabadikan sesuatu yang lain yang lebih indah dari tarian manapun: labor of love.



Have an unusual and a less boring weekend

Sabtu, Agustus 27, 2011




Tanganmu Mulutmu


Ada bahasa tubuh bayi yang bisa langsung kita mengerti tanpa perlu menjadi orang tuanya terlebih dahulu.

Jika sang bayi menatap kita secara instens sambil mengangkat kedua tangannya, paling tidak menurut saya, ia minta dipeluk atau digendong.

Banyak kali terbukti benar.

Ia belum bisa mengatakan apa-apa. Dan tidak perlu mengatakan apa-apa. Kedua tangannya yang mungil mengatakan apa yang dipikirkannya.

Kedua tangannya adalah mulutnya.

Dan sejak saat itu, sampai pada usia berapapun, ada masanya kedua tangan kita adalah mulut kita.

Pasangan yang ingin digandeng hanya perlu mengulurkan tangannya.

Untuk mengatakan seseorang lucu dan menggemaskan, ia hanya perlu dicubit.

Untuk menenangkan seseorang, usapan atau tepukan ringan di punggung saja bisa berarti segalanya.

Tentang usapan atau tepukan ringan ini, kita bisa merasakan entahkah tangan tersebut menyalurkan simpati dan pengertian atau nafsu seks belaka.

Ada masanya tangan mengatakan apa yang kita pikirkan.

Ada masanya tangan mengatakan apa yang kita rasakan.

P.S: Dalam masa-masa sulit, saya lebih memilih tepukan ringan atau usapan simpati di punggung saya ketimbang berbagai macam nasehat yang panjang-lebar. Bagaimana dengan Anda?




Tuhan Punya Rencana, Kita Punya Perasaan

Kamis, Agustus 25, 2011

Pernahkah Anda memperhatikan, kalimat klise jika keluar dari mulut orang yang tepat pengaruhnya akan sangat terasa?

Orang yang tepat itu maksudnya mereka yang kenyang dengan banyak pengalaman hidup sehingga kalimat klise itu sungguh keluar dari hati.

Dan apa yang keluar dari hati biasanya akan menyentuh pula hati kita.

Kalimat klise itu seperti, “God has His own plan”.

Semua orang bisa mengucapkannya. Tetapi tidak semua bisa menyentuh hati kita sedemikian rupa sehingga kita merasa diteguhkan.

Saya beruntung mengenal seorang Romo yang setiap kali kalimat ini keluar dari mulutnya saya sungguh merasa diteguhkan untuk tetap percaya dan berharap.

Tuhan punya rencana sendiri. Memang.

Tetapi kita punya perasaan.

Di Jepang, saya memiliki kesempatan dan waktu untuk merenung (baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain) dan menyadari banyak hal;

Seperti, perasaan yang muncul ketika sukses diraih.

Bangga terhadap diri sendiri. Merasa berarti dan berguna. Lebih optimis. Ingin berbuat lebih dan lebih lagi. Ingin mencapai lebih dan lebih lagi. Keyakinan bahwa kita melakukannya bertambah.

Dan, tentu saja, bahagia.

Tetapi sukses tidak abadi. Kita tidak selalu bisa mempertahankannya. Kita tidak selalu bisa berada di puncak.

Adakalanya saya berpikir, sukses itu soal giliran. Beberapa orang menyebutnya keseimbangan: kita di puncak, yang lain di dasar. Lalu, sebaliknya.

Sekarang saya mengerti, setiap kali berada di dasar, dua modal awal sudah ada di tangan saya: percaya pada rencana baik Tuhan dan ingatan yang kuat pada perasaan ketika sukses itu.

Tuhan punya rencana.

Dan kita punya perasaan.

Masih ingat ‘kan perasaan ketika sedang sukses?

Anda bisa melakukannya lagi.


Melamun atau Berpikir Keras

Sejak kapan (baca: usia berapa) sebenarnya kita mulai berpikir keras?

Sejak kapan kita mulai melamun?


Cerita-Cerita Acak Tentang 'Menjadi Tua'

Rabu, Agustus 24, 2011

I

Minggu (21/08), sehabis Perayaan Ekaristi di kapel yang diperuntukkan untuk pelayanan orang-orang non-Jepang.

Saya sedang berdiri sambil bercerita dengan seorang ibu ketika seorang remaja putri berusia17 tahun datang menghampiri kami.

Saya mengenal baik remaja ini. Karena itu saya memperkenalkannya kepada ibu tersebut.

Tak disangka, remaja putri ini pengamat yang tajam.

Saya mengagumi ibu sejak pertama kali saya melihat ibu” katanya.

Pengamat yang tajam. Dan berani mengatakan apa yang dipikirkannya.

Ibu ini, dengan ramah bercampur senang mendengar pujian itu bertanya balik sambil tersenyum lebar, “Kenapa?”

You know, you age so gracefully. I hope I will be just like you when I’m at your age”.

Saya bisa mengerti dan menerjemahkan apa yang dikatakan remaja putri ini. Tetapi saya tidak bisa mengerti apa yang dilihat remaja putri ini pada diri ibu tersebut sehingga ia menyebutnya, “you age so gracefully”.

Tetapi rupanya ibu ini mengerti apa yang dimaksudkan remaja putri ini. Mereka lalu terlibat percakapan intens sampai lupa saya ada di sana.

Rasa-rasanya memang ada hal-hal tertentu yang hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh sesama wanita. Dan dipercakapkan dalam bahasa yang juga dimengerti hanya oleh wanita.

Oh, usia ibu ini setahu saya diambang 60 tahun.

II

Malam hari, di jalanan, hari yang sama.

Tanpa pikir panjang saya mengambil gambar seorang tua dan orang di belakangnya yang, karena tidak terlalu terang benar, saya pikir sedang menatap orang tua itu (ternyata tidak).

Ketika hendak mengedit foto di atas saya baru memperhatikan, sandal yang dikenakannya tidak serasi satu sama lain. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, tentu saja.

Efek usia, mungkin, salah satu penyebabnya.

III

Seseorang yang saya hormati karena kebijaksanaannya, pernah mengatakan kepada saya di meja makan, “Jangan pernah menertawakan kesalahan yang dilakukan orang tua. Kamu akan tua juga”.

Usia orang bijaksana ini 62 tahun.

IV

Hari Minggu nanti, saya akan bertanya kepada remaja putri itu, “Bagaimana mungkin di usia 17 tahun, kamu sudah berpikir tentang menjadi tua dengan anggung?”.

Saya malah belum kepikiran.

Usia saya 28 tahun.