Tahun Rahmat Tuhan

Senin, Agustus 31, 2009

Kabar gembira.

Kabar gembira.

Kabar gembira.

"Aku diutus-Nya untuk memberitakan bahwa tahun rahmat Tuhan telah datang" (Luk. 4:19).

Semoga hari ini rahmat mengalir melimpah dalam hidup Anda.

Semoga minggu ini berkat-Nya tercurah untuk Anda.

Semoga bulan baru di depan mata ini banyak pintu, banyak kesempatan terbuka untuk Anda.

Semoga tahun ini menjadi tahun rahmat Tuhan.

Jika yang terbaik belum juga datang menghampiri Anda, percayalah. Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Percayalah.

Awas Virus WITA

Apa itu 'terlambat'? Lazimnya, terlambat berarti datang tidak tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Mengapa kita bisa terlambat? Macam-macam alasan. Bangun tidur kesiangan, macet, ban mobil pecah, mobil mogok, anak tiba-tiba rewel dan tak mau dibujuk, ketinggalan dompet atau handphone, mendadak ada urusan. Kalau ingat masa-masa SMA, sakit perut juga bisa dimasukan (walaupun kita sama-sama tahu sakit perut memang hanyalah 'alasan').

Semua alasan di atas bisa dimengerti dan dimaafkan. Siapa yang belum pernah mengalaminya? Tapi ini soalnya. Jika bangun tidur kesiangan, macet, ban pecah, mobil mogok, anak rewel, lupa dompet dan handphone, mendadak sibuk dan sakit perut terjadi hanya satu kali atau dua kali atau tiga kali, itu namanya terlambat. Wajar. Tetapi jika terjadi berulang kali, itu bukan lagi terlambat. Itu kebiasaan buruk.

Jika terjadi satu kali atau dua kali atau tiga kali, Anda bisa menyalahkan weker yang kurang nyaring bunyinya. Pemerintah yang tidak menanggulangi masalah kemacetan. Bedebah yang menaruh paku di jalan. Tempat servis mobil yang tidak becus. Anak yang karena dimanja jadi ngelunjak. Dompet dan handphone yang terselip entah di mana. Pembantu yang menabur terlalu banyak bumbu di makanan Anda. Tetapi jika itu terjadi berulang kali, berhentilah menyalahkan pemerintah dan lain sebagainya itu. Masalahnya bukan mereka.

Yesus bersabda, "Apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya" (Mrk. 7:20). Masalahnya ada pada hati Anda. Periksalah, ada apa sebenarnya yang sedang bergejolak di dalam hati Anda. Macet dan lain sebagainya itu hanya menguatkan saja gejolak itu.

Di Manado, ada olok-olok tentang waktu. Manado, karena berada di Indonesia bagian tengah, status waktunya WITA (Waktu Indonesia Tengah) yang berbeda satu jam dengan Jakarta yang status waktunya WIB (Waktu Indonesia Barat). Kembali ke soal olok-olok tadi. Saking seringnya acara-acara di kota ini molor waktu mulainya, WITA lalu diolok-olok menjadi Waktu Itu Terserah Anda.

Bagaimana jika virus WITA juga menyerang Anda terutama menjelang berangkat mengikuti perayaan ekaristi? Pemicunya ada di dalam hati Anda. Apa itu? Malas-kah, bosan-kah, terpaksa-kah, sekedar melaksanakan kewajiban-kah, merasa tidak memperoleh sesuatu-kah, belum bisa menghayati kehadiran Tuhan-kah, tidak cocok dengan romo-kah. Apa?

Saran saya: bicaralah dengan seseorang atau ikutlah kegiatan atau bacalah tulisan-tulisan tentang perayaan ekaristi yang membuka mata dan hati Anda. Kebiasaan buruk kok dipelihara? Gak capek ya?

Jadilah Lebih ...

Jumat, Agustus 28, 2009

Apa maksud Yesus dalam perumpaan tentang lima gadis bodoh (yang tidak membawa minyak cadangan buat obornya) dan lima gadis bijaksana (yang membawa minyak cadangan) dalam Mat. 25:1-13?

Saya suka kotbah romo tadi pagi dalam perayaan ekaristi. Ia berusaha menjawab pertanyaan di atas. Penjelasannya hanya lima menit saja! Rasanya kurang dari itu. Tiba-tiba saja sudah berakhir. Tetapi sangat menggerakkan.

Begini menurut beliau.  Jika Anda bisa berbuat lebih dalam hidup ini, buatlah lebih. Dan dengan maksimal. Dengan segenap hati, kemampuan, kekuatan, pikiran dan apapun yang Anda miliki. Dalam apapun yang Anda lakukan sekarang ini, buatlah lebih. Sama seperti gadis-gadis yang bijaksana yang sekalipun tidak diminta mengantisipasi apa yang terjadi kemudian dengan membawa minyak cadangan. Mereka menyiapkan diri. Mereka mengantisipasi masa depan. Mereka tidak setengah-setengah menanggapi kesempatan. Mereka memilih berbuat lebih. Dan, lihat, ganjaran yang mereka peroleh: mereka diperbolehkan masuk dalam perjamuan.

Jadilah lebih sabar. Jadilah lebih murah hati. Jadilah lebih pemaaf. Jadilah lebih mencintai biarpun terluka. Jadilah lebih rajin. Jadilah lebih fokus. Jadilah lebih disiplin. Jadilah lebih pendoa. Jadilah lebih giat bekerja. Jadilah lebih mendengarkan. Jadilah lebih mengontrol diri. Jadilah lebih pengertian. Jadilah lebih…

Anda akan memperoleh ganjaran yang setimpal. Bahkan lebih dari yang Anda harapkan.

Amin.

Ayat Favorit Hari Ini



“Lakukan segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia”

Menukar Malu dengan Sepuluh Ribu Perak

Minggu, Agustus 23, 2009

"Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu?" (Yoh. 6:61)

Beberapa hal dalam hidup ini sanggup menggoncangkan iman. Beberapa godaan tak sanggup kita tundukkan. Karena kita hanyalah manusia biasa yang, kadang-kadang, lebih kuat keinginan dagingnya daripada roh. Ini contoh salah satu dari beberapa godaan itu.

Bulan lalu, suatu siang, saya duduk dengan seorang anak SD kelas 6 yang baru saja pulang dari sekolah.

"Ngana tau senam chaka chaka?" tanya saya padanya. (Kamu tahu senam Chaka Chaka?). Senam ini sedang nge-tren di Manado.

"Tau" jawabnya cepat. Tentu saja. Ibu-ibu berumur 60 tahun saja tahu.

"Kalo kita kase seribu, ngana mo senam?" (Kalo saya ngasih seribu perak, kamu mau senam gak?)

"Nimau!" (Gak mau)

"Kiapa?" (Kenapa?).

"Malu kita" (Saya malu). Tentu saja. Kami sedang duduk di pelataran mall. Orang-orang datang dan pergi, lumayan ramai. Dan seorang anak kelas 6 SD pastilah sudah punya rasa malu.

"Kalo dua ribu?"

"Nimau!!!!"  Ia berdiri, jengkel, kelihatan hendak berlalu meninggalkan saya, pria aneh, yang memancingnya untuk bersenam. Mungkin pikirnya, "Sendirian, tanpa lagu dan di tengah keramaian? Gila aja…"

Tetapi bukan saya kalau menyerah begitu cepat.

"Sepuluh ribu?"

"Boleh" sambarnya. Cepat sekali. Seolah-olah dia takut saya akan menarik kembali ucapan saya. Saya tertawa, keras sekali. Anak-anak…

Sekarang saya tahu nilai sebenarnya dari sepuluh ribu perak? Ternyata bisa dipakai untuk menukar perasaan malu seorang anak. Mungkin Anda pikir ini lucu. Mungkin juga "frater yang aneh". Tetapi ada saatnya, kita sama saja dengan anak kecil itu. Hanya jumlah nominal uangnya saja yang membedakan. Uang bisa menukar rasa malu. Uang bisa menukar harga diri. Uang bisa menukar hati nurani.

Beberapa hal memang bisa menggoncangkan iman: uang, jabatan, gengsi, harga diri, nafsu seks, kesepian. Tetapi semoga dalam kegoncangan itu Anda bisa seperti Petrus yang berseru kepada Yesus, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi?". Dalam kegoncangan, jangan lupa, untuk datang kepada Yesus. Anda akan selamat!

"Tau senam Chaka Chaka?"

Penyelamat Berprofesi Supir dan Satpam

Selasa, Agustus 18, 2009

Jangan pernah memandang sebelah mata orang-orang kecil di sekeliling Anda. Anda akan terkejut mendapati betapa penting dan berartinya kehadiran mereka. Pada saat tak terduga merekalah penyelamat yang sesungguhnya.

Cerita 1

Bulan Juli yang baru saja berlalu, untuk mengisi liburan semester, saya magang sebagai wartawan di salah satu koran lokal di Manado (itulah sebabnya blog ini sepi postingan bulan lalu). Sehari sebelum resmi terjun ke lapangan memburu berita, saya harus bertemu dengan pemimpin redaksi koran bersangkutan.

Banyak hal melintas di kepala saya dalam perjalanan menuju ke kantor redaksi. Banyak itu antara lain, apa saya bisa? Bagaimana kalau saya gagal? Dari mana saya harus memulai? Macam-macam pertanyaan itu membuat saya gelisah setengah mati dalam angkutan umum yang saya tumpangi. Awal yang buruk. Tetapi persis ketika saya sedang dalam krisis kepercayaan diri seperti itu, supirnya nyeletuk, "Hidup ini musti ada de pe tantangan katu. Kalo nda, nda sadap". (Hidup ini mesti ada tantangannya. Kalau tidak, hambar rasanya). Saya ingin memeluk supir itu. Dia baru saja mengembalikan rasa percaya diri saya. Kata-katanya biasa tetapi ketika diucapkan pada saat yang tepat sungguh menyelamatkan.

Cerita 2

Suatu siang, masih dalam bulan Juli, saya harus mewawancarai seorang ketua di lingkungan universitas. Saat tiba di sana, beliau sedang sibuk luar biasa. Dan tak satupun staf bawahannya berani mengganggunya. Bahkan hanya untuk memberi tahu ada wartawan yang menunggunya di luar. Saya hanya bisa menduga-duga seperti apa karakter sang ketua ini. Rencananya saya harus menemui narasumber lain di tempat lain yang jauh setelah wawancara yang harus terlaksana hari itu juga. Saya tidak bisa kembali besok karena beritanya harus terbit besok.

Dengan kecewa saya melangkah ke luar gedung kantor megah itu. Di depan pintu berdiri seorang satpam belia. Saya menyapanya dan bercerita sejenak dengannya: memperkenalkan diri dan memberitahu maksud kedatangannya.

"Yuk," ajaknya.

"Ke mana?"

Ternyata ke lantai 2 ke tempat bapak ketua itu. Di depan ruangan sang ketua, satpam ini dengan tenangnya mengetuk pintu, membukanya dan mempersilahkan saya masuk. "Wartawan, pak" katanya pada sang ketua.

Wow…

Kesimpulan:

Tuhan meminjam orang-orang tak terduga ini untuk menyatakan DIA tidak pernah meninggalkan saya sendirian. Terberkatilah mereka. Anda punya pengalaman yang mirip?

Inspirasi Hari Ini

Minggu, Agustus 16, 2009

Fatalistik atau Pesimistik atau Optimistik?

Kalau Anda punya waktu luang, bacalah renungan-renungan entah buku atau artikel-artikel pendek (yang banyak bertebaran di internet) tentang perayaan ekaristi. Isinya senada: perayaan ekaristi sangat penting bagi seorang beriman. Di sana Tuhan hadir dalam rupa roti dan anggur dan di sana pula Anda menimba kekuatan dan berkat-Nya untuk menjalani hidup.

Tidak ada yang salah. Tentu saja.

Tetapi, mari berbicara kenyataan. Anda biasa menghadiri perayaan ekaristi. Tetapi belum tentu setiap kali Anda menghadirinya Anda merasa memperoleh sesuatu: kekuatan, rahmat, inspirasi, berkat, atau apapun itu istilah yang Anda gunakan.

Dari soal merasa tidak memperoleh sesuatu dalam perayaan ekaristi ini, ada tiga tipe orang dengan tanggapannya masing-masing. Pertama, manusia fatalistik. "Kok gak pernah kelihatan lagi di gereja?" Jawaban mereka ini biasanya adalah, "Pergi juga gak bakalan dapet apa-apa to?". Tipe fatalistik ini yakin tidak ada gunanya lagi perayaan ekaristi. Bahkan romo dengan kotbah paling inspiratif (alias lucu) sekalipun tidak berpengaruh apa-apa. Mereka termakan keyakinannya sendiri. Kedua, tipe pesimistik. Tipe ini menghadiri perayaan ekaristi tetapi tidak berharap banyak. Prinsipnya, yang penting sudah hadir karena "Aneh aja kalo hari minggu gak ke gereja". Ketiga, tipe optimistik. Sesuai nama tipenya, mereka ini biasanya optimis. "Mungkin minggu ini gak dapet apa-apa. Siapa tahu minggu depan?" adalah reaksi khas mereka.

Saya tidak akan bertanya Anda tipe yang mana. Ini bukan psikotes atau sebangsanya.

Apa yang ingin saya katakan adalah sebuah pengakuan jujur. Saya juga tidak selalu memperoleh sesuatu ketika mengikuti perayaan ekaristi. Ada saatnya segala sesuatu menjadi kering dan membosankan. Begitu lagi begitu lagi.

Ketika tiba saat-saat seperti ini, kesetiaan menjadi faktor penentu. Setia. Setia untuk selalu hadir dalam perayaan ekaristi. Setia untuk datang, duduk, berdiri, berlutut dan berjalan menyambut komuni kudus. Setia, bahkan ketika tubuh Anda saja yang ada di dalam gereja tetapi tidak hati dan pikiran Anda. Setia. Karena Tuhan bekerja dalam cara-cara yang tidak kita mengerti. Ketika Anda setia, bahkan dalam saat-saat paling kering, percayalah, selalu ada satu-dua hal yang akan menguatkan Anda secara tak terduga. "Aneh aja kalo hari minggu gak ke gereja?" bisa jadi awal yang baik untuk setia.

Ngomong-ngomong, Anda tipe yang mana? Hehehe… Anda sedang berurusan dengan frater paling tidak konsisten sedunia, saudara-saudari.

Lebih Susah Mana: Jadi Tabib atau Orang Sakit?

Jumat, Agustus 14, 2009

"Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit" (Mat. 9:12)

Suatu malam, seorang teman menceritakan pada saya apa yang mengganjal di hatinya hari-hari itu.

Itu cerita yang panjang. Jadi saya akan mengulangi versi singkatnya saja. Begini. Uangnya yang sedianya akan dipakai untuk keperluan kuliah hilang. Uang itu ada di dalam dompetnya dan dompet itu tergeletak begitu saja di kamar kos sahabatnya. Ia menginap malam itu di sana bersama sahabatnya. Ketika terbangun dompetnya masih ada di tempatnya, kecuali uangnya. Ia menduga sahabatnya yang mengambilnya. Dugaan ini diperkuat lagi dengan kelakuan sahabatnya yang berubah sejak peristiwa itu. Sahabatnya sering gugup jika berbicara dengannya, selalu menghindar kontak mata dan marah-marah tidak jelas jika ia menyinggung peristiwa kehilangan itu.

"Sudah pernah konfirmasi ke dia tentang dugaan kamu?"

"Frater, kami sudah bersahabat selama 15 tahun. Saya tidak ingin merusak persahabatan kami hanya gara-gara Rp. 50.000" jawabnya. Usia persahabatan itu nyaris ¾ usianya. Bisa dimengerti.

Masalahnya adalah dugaan itu terus saja menghantuinya kemanapun ia pergi dan apapun yang ia lakukan. Bisa ditebak, persahabatan mereka tidak pernah sama lagi sejak peristiwa itu. Itu mengganggu pikirannya juga.

"Jadi, saya mesti bagaimana frater?"

Saya mengatakan kepadanya, ia berhak mengonfimasi dugaannya. Jika benar, maafkanlah dia. Jika ia menyangkal, masalah selesai.

"Tapi saya tidak mau menyinggung perasaannya. Bagaimana jika saya yang salah?"

Saya mengatakan kepadanya, yang harus kamu pikirkan sekarang adalah kenyataan bahwa hidupmu tidak tenang. Jika kamu ingin mendiamkan saja persoalan ini, kamu melindungi perasaannya tetapi bagaimana dengan perasaanmu. Lagipula lebih cepat diselesaikan lebih baik supaya persahabatan kalian bisa kembali seperti dulu lagi.

"Ok, frater. Saya akan bicara dengannya".

Sampai detik ini saya tidak tahu apakah ia benar-benar berbicara dengan sahabatnya. Kami sempat bertemu beberapa kali tetapi ia tidak menyinggungnya. Ia juga kelihatan berharap saya tidak menanyakannya. Jadi, asumsi saya adalah ia memilih mengubur perasaannya—zaman sekarang mencari teman saja susah, mengapa harus melepaskan seorang sahabat?

Apakah Anda pernah atau malah sering menjadi tempat curhat bagi orang-orang di sekitar Anda? Tahukah Anda keuntungan menjadi 'tabib' bagi masalah orang lain?

Ini: Anda tidak memikul beban emosional yang harus dipikulnya. Saya jelas-jelas tidak perlu merasa tidak enak hati: yang diduga mencuri itu bukan sahabat saya dan jelas-jelas bukan saya yang akan mengonfirmasinya. Saya hanya memberi nasehat yang rasa-rasanya cukup simpatik dan logis. Sampai di situ saja. Teman saya ini yang akan memikul beban emosional itu: tidak enak hati, malu, takut, tidak percaya diri, trauma, luka batin...

 Jadi, kapan saja Anda mendengarkan curhat yang itu-itu lagi, bijaksana jika Anda tidak mulai dengan "Kan gue udah bilang dari dulu…"

Ada saatnya menjadi 'tabib' berarti percaya bahwa 'si sakit' ini bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupnya. Ini susah minta ampun jika Anda mengukur keberhasilan Anda sebagai seorang 'tabib' dengan seberapa sering nasehat Anda diterima dan diterapkan 'si sakit'. Ego… Ego… Yahhh, 'tabib' juga manusia.

Inspirasi Hari Ini

Jika Joy Tobing ke Pantai Nusu

Kamis, Agustus 13, 2009

Hari minggu (09/08) pukul 13.30 WITA seorang karyawan kami menerima kabar duka: adiknya meninggal dunia. Dia diizinkan untuk pulang siang itu juga ke kampungnya. Dan pulang ke kampung berarti harus menyeberangi pulau dengan menggunakan perahu motor.

Besoknya, hari senin kemarin, saya dan beberapa karyawan lain berencana melayat ke sana. Di rumah kami, Skolastikat MSC Pineleng, saya bertugas sebagai seksi karyawan, semacam bagian HRD kalau di kantor Anda. Paginya sebelum berangkat kami sempat menikmati video klip Joy Tobing yang menyanyikan lagu rohani Ombak dan Arus.

Di tengah ombak dan arus pencobaan… Hampir terhilang tujuan arah hidupku… Bagaikan kapal s'lalu diombang-ambingkan…

Siangnya kami bertolak dari pelabuhan menuju Pantai Nusu, kampung tujuan kami melayat. Saya menghitung, ada 32 orang di dalam perahu, kebanyakan anak kecil dan ibu-ibu yang duduk berdesak-desakan.

Hanya 20 menit saja dari lepas pantai yang tenang dan sedikit membosankan. Siapa sangka lagu itu menjadi kenyataan. Kami benar-benar dihadang oleh ombak dan arus dalam arti sebenarnya: ombak laut yang mengombang-ambingkan perahu motor kami. Nyaris menenggelamkannya.

Harapan saya hanyalah semoga juri mudi perahu ini benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi tebak bagaimana kondisi juri mudi kami? Setengah mabuk! Bagus sekali. Bukan mabuk laut. Mabuk alkohol.

Ketika akhirnya kami berhasil melewati ombak dan arus gila itu, komentar seorang penumpang adalah "Itu belum seberapa". "Adakah jalan darat yang bisa kita tempuh?" adalah pertanyaan, tepatnya permintaan mengiba, salah satu karyawan kami yang masih pucat pasi karena itu pengalaman pertamanya. Dia trauma. Karena permintaan mengiba itu berkembang menjadi harapan, "Mudah-mudahan saya tidak mendapat jodoh dari kampung ini".

Memang lebih mudah mendengarkan lagu daripada mengalaminya sendiri dalam kenyataan. Sama dengan lebih mudah menasehati orang daripada menjalaninya sendiri.

Seandainya Joy Tobing ikut dalam perjalanan kami siang itu, dia tentu akan menghibur kami dengan lagunya. Atau mungkin juga tidak…


 

  

 

 

 

Lebih Baik Berdua Saja di Kamar

Rabu, Agustus 12, 2009

"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata" (Mat. 18:15)

Ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Setelah berakhir saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Beberapa bulan yang lalu, karena kesalahpahaman, saya memarahi habis-habisan seorang teman saya. Senior saya sebenarnya. Dia di atas saya satu tahun.

Saya memarahinya di depan junior-junior kami yang hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat apa-apa. Maklum, junior. Rasanya saya memarahinya 15 menit saja waktu itu. Setelah itu saya meninggalkannya. Dia dengan tenang masuk ke kamarnya. Setengah jam kemudian, setelah reda rasa marah, saya mengetuk pintu kamarnya. Dia membukanya.

Saya meminta maaf padanya atas kekasaran saya.

Ia memaafkan saya.

Kami berpelukan.

Setelah itu ia membuat pengakuan yang rasanya seperti sebuah tinju keras di ulu hati.

Katanya, ia terluka. Memang dia bisa memahami alasan saya marah besar. Tapi yang membuat dia terluka adalah kenyataan bahwa saya memarahinya di depan junior-junior kami. "Kalau kamu memarahi saya di dalam kamar, dan hanya kita berdua yang tahu, saya akan menerimanya". Luka sudah menganga. Butuh waktu untuk menyembuhkannya walaupun saya sudah minta maaf.

Sejak saat itu saya berjanji kepada diri sendiri, saya akan berjuang untuk tidak akan pernah lagi memarahi seseorang di depan orang lain. Membuka kesalahan dan aib seseorang di depan umum sama dengan mengiris-iris harga diri dan kehormatannya sebagai seorang pribadi. Yang tersisa hanyalah luka yang menganga. Apa yang paling penting bagi seseorang jika bukan harga diri dan kehormatannya?

Saya pun akan terluka jika ada orang yang mengiris-iris harga diri dan kehormatan saya. Mengapa harus melakukannya untuk orang lain?


 

Inspirasi Hari Ini

Pendekatan ala Maria

Untuk mengisi liburan semester pada bulan Juli kemarin (yup, saya sedang kuliah), saya menjalani magang sebagai wartawan di salah satu koran lokal di Manado. Saya menjadi wartawan selama sebulan penuh. Wartawan dalam arti sebenarnya: harus mencari berita (saya diharuskan menyetor 2 berita sehari), menemui narasumber, stress dengan deadline, dan, tentu saja, sesekali dimarahi redaktur. Ini kerja yang lumayan berat (mengingat ritme hidup kami yang hanya berputar-putar dari satu ibadah ke ibadah lain, satu pendampingan ke pendampingan lain) dan menantang (semacam keluar dari comfort zone alias terbiasa diperlakukan dengan hormat oleh umat berganti ke dicuekin orang, dipelototin, dicurigai, dimarahi dan seterusnya) tetapi menyenangkan (kapan lagi dihargai orang pertama-tama karena kerja keras, bukan karena status yang melekat?).

Ngomong-ngomong tentang narasumber, lama-lama saya menyadari ada beberapa jenis narasumber. Pertama, mereka yang langsung senang bukan kepalang karena akan dimuat di koran (tetapi sok cool). Untuk tipe ini, kalau tidak dihentikan mereka akan nyerocos terus. Kadang-kadang saya merasa orang-orang ini lebih membutuhkan teman. Kedua, mereka yang karena alasan hirarki tidak bisa buka mulut. Untuk tipe ini, biasanya, mereka akan buka mulut juga pada akhirnya. Asal dipancing dengan pertanyaan yang tepat plus sedikit bujukan. Ketiga, mereka yang dingin, cuek atau meladeni dengan asal-asalan. Untuk tipe ini, penyebabnya sederhana: mereka sudah ditipu banyak kali oleh wartawan gadungan. Untuk tipe ini, perlakuannya harus benar-benar khusus, tiap orang beda perlakuan. Keempat, mereka yang menolak sama sekali untuk diwawancarai. Untuk tipe ini, rayuan yang gencar akan meluluhkan hati mereka. Lama-lama juga saya menyadari pendekatan sama pentingnya dengan maksud baik.

Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kisah kunjungan Maria kepada Elisabeth, saudarinya (Luk. 1:39-56)? Sederhana saja, keduanya saling mewartakan kabar baik: sama-sama sedang mengandung karena kehendak Allah. Tetapi yang sederhana itu menjadi istimewa ketika dari mulut Elisabeth keluar kata-kata yang sebagian, dengan sedikit modifikasi, kini kita gunakan dalam doa Rosario dan dari mulut Maria melantunlah Kidung Agung. Apa yang memicu keistimewaan itu sampai terjadi? Pendekatan. Ceritanya tentu akan berbeda sama sekali jika Maria hanya berkirim surat kepada Elisabeth. Atau mengirim utusan untuk memberi tahu. Dengan datang sendiri menemui Elisabeth, kata-kata agung keluar dari mulut keduanya. Kabar baik itu berkembang menjadi doa-doa yang sangat istimewa.

Maka, jangan anggap enteng pendekatan. Kabar Baik, sebaik apapun, yang Anda wartakan kepada orang lain bisa jadi mati sebelum berkembang menjadi sesuatu yang istimewa jika Anda mengabaikan pendekatan.

Perempuan Kanaan Itu

Rabu, Agustus 05, 2009

Perempuan Kanaan itu datang kepada Yesus memohon penyembuhan anaknya yang kerasukan setan dan sangat menderita. Ia, barangkali, sudah pergi ke mana-mana mencari pengobatan. Dan tidak ada satupun yang berhasil. Kalau kamu mencintai anakmu, mau apa? Tentu saja apapun akan Anda lakukan.

Ia nyaris diusir para murid yang terganggu karena teriakannya. "Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak" (Mat. 15:23).

Tetapi ia tidak menyerah. Ia memohon, memohon dan memohon.

Akhirnya… buah dari kegigihan itu adalah kesembuhan anaknya. "Hai ibu, besarlah imanmu, maka jadilah seperti yang engkau kehendaki" (Mat. Mat. 15:28).

Pesan dari kisah ini bukan hanya soal besarnya iman sang ibu yang membuat Yesus tergerak hati-Nya untuk menolongnya. Ada pesan lain. Masalah apapun yang sedang Anda hadapi, jangan hadapi sendirian. Bukalah hatimu untuk Tuhan. Ia akan menolong dengan berbagai cara. Bukalah hatimu untuk orang yang kau percayai. Tuhan bekerja melalui mereka.

Apapun yang sedang Anda hadapi, jangan hadapi sendirian.

Doa saya untuk Anda yang sedang berkesusahan. Tuhan memberkati segala usaha dan niat baik Anda.

Jangan hadapi sendirian.


 

Di"fitnah" Anak-Anak

Senin, Agustus 03, 2009

Baru-baru ini saya di"fitnah".

Oleh bocah kecil berumur 3 tahun. Mungkin 4.

Jangan tanya bagaimana rasanya.

Saya sedang berdiri membolak-balik sebuah majalah di counter majalah dan koran di mall di Manado ketika bocah ini datang menghampiri dari samping, nyaris mau memeluk.

Saya melihatnya. Bocah laki-laki dengan pipi yang chubby. Ia sedang menatap saya dengan serius. Saya tersenyum. Dia tidak. Dan saya bukan tipe pencinta anak-anak yang dengan segera akan mencandainya, berusaha membuat dia tertawa atau sejenisnya. Jadi, sebuah senyum saja rasanya cukup (teman saya pernah bilang, "Dasar cold"). Lalu saya menoleh lagi pada majalah yang saya pegang. Dia masih menatap saya, kali ini dengan lekat-lekat.

Sedetik kemudian suara yang keluar dari mulutnya yang mungil adalah, "Papa, papa, papa".

Saya bingung. Apa salah saya sampai dia harus memanggil papanya? Cuek terhadapnya? Tidak bersahabat? Tidak menyapanya?

Saya menoleh sekeliling. Tidak ada siapa-siapa yang datang.

Jadi?

My God, bocah kecil ini sedang memanggil saya.

Dia mulai menarik perhatian orang-orang sekeliling yang mulai melirik dan menatap kami berdua. Dan mata-mata yang menatap kami itu seperti mau mengatakan, "Dasar laki-laki… Ayo tanggung jawab".

Paniklah saya. Sementara bocah ini terus saja memanggil saya "Papa" seperti yakin sekali kalau saya memang papanya.

Otak saya bergerak cepat. Seingat saya, saya sudah tidak berpacaran selama 7 tahun ini. Selingkuh pun tidak. One night stand, apalagi. Jadi, mustahil bocah ini anak saya.

Tapi tetap saja saya panik setengah mati. Adakah umat di antara orang-orang yang menatap kami? Dan apa yang harus saya lakukan: membekap mulutnya? Menariknya pergi? Membujuknya diam? Bagaimana caranya?

Tiba-tiba datang tergopoh-gopoh seorang pria, "Ade, papa di sini" katanya pada bocah kecil ini. Dia meraih si bocah dalam pelukannya. Mereka berlalu pergi.

Fiuhhhh…

Peraturan pertama dalam dunia fitnah memfitnah adalah jangan pernah difitnah oleh seorang anak kecil: Anda tidak akan pernah tahu bagaimana cara menghadapinya.

Ok, mungkin bocah itu sedang ingin menjaili saya saja. Kalau benar begitu, dia sukses luar biasa. Kalau benar begitu, saya berani bertaruh dia akan menjadi pria terjail sedunia.

Saya ingin sekali bertemu dengan bocah itu lagi, hanya ingin mengatakan, "Nak, bagaimana mungkin saya papa kamu". Perbedaan fisik kami seperti langit dan bumi: kulitnya putih bersih, rambutnya lurus seperti mistar dan halus seperti sutra sementara saya, ya gitu deh.


Inspirasi Hari Ini

Hosti atau Ayam Goreng KFC?

Suatu malam di Manado. Belum lama ini. Saya sedang berjalan menuju tempat pemberhentian angkutan umum melalui emperan pertokoan ketika suara lirih khas seorang bocah menghentikan langkah saya. Bocah pengemis rupanya. Saya meraih selembar seribuan, menyerahkan padanya dan berjalan lagi.

Setelah kurang lebih 10 meter jauhnya, saya melirik arloji, pukul 21.30 WITA. "Mungkin dia belum makan," pikir saya. Ketika mengangkat muka lagi, bangunan KFC persis berada di depan mata saya. Saya tersenyum, "Mengapa tidak?". Saya kembali lagi pada bocah tadi. Ia masih dalam posisi yang sama. Duduk sambil menadahkan tangannya.

"Ngana pe nama sapa kote?" (Nama kamu siapa?)

"Nando," jawabnya tak bertenaga.

"So makan?" (Udah makan?)

"Blum".

"Mari jo dang" (Ayo)

Dia bangkit berdiri dengan kecepatan mengagumkan. Lalu ia berlari memanggil tiga temannya yang lain, bocah-bocah bernasib sama dengan penampilan yang khas (Anda pasti tahu seperti apa). Nando, Utu, Betyu dan Nando (lagi). Berlima kami memasuki KFC dengan iringan tatapan mata aneh dari yang melihatnya. Berhubung biasanya saya lebih banyak ditraktir (sebagian karena umat mau dapat pahala di surga, sebagian karena umat sayang sama fraternya, sebagian lagi karena tidak tega, sebagian lagi karena umat tahu fraternya tidak punya banyak uang, mungkin sebagian lagi karena kasihan, hehehe), maka mentraktir 4 bocah ini rasanya semacam kehormatan. Kebetulan pula saya baru dapat rejeki lumayan, pemberian umat.

Karena sedari pagi perut mereka belum terisi, makannya lahap sekali. "Baru ini kali kong kita dapa makang sadap" celutuk Utu. Katanya, baru saat itu ia mencicipi makanan enak. Astaga… Ketika mereka menyelesaikan makannya dan menyeruput tandas minuman bersoda itu, saya terkesima dengan apa yang saya lihat di wajah mereka dan bahasa tubuh yang mereka tampilkan. Keempat bocah ini bergairah lagi, semangat mereka muncul, ada cahaya di mata mereka. Mereka seperti siap menghadapi kerasnya jalanan. Bocah-bocah ini hidup lagi.

Yesus berbicara tentang Diri-Nya sebagai Roti yang menghidupkan. "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku ia tidak akan haus lagi" (Yoh. 6:35).

Jadi, mari merenungkan, apakah setiap kali sehabis menerima Hosti Kudus saya bersemangat lagi, siap menghadapi kerasnya dunia, optimis kembali sekalipun banyak persoalan? Apakah saya merasa hidup lagi? Apakah iman saya hidup lagi? Atau semua sudah menjadi sedemikian rutin sehingga diam-diam Roti Hidup itu tidak lebih dari secuil roti renyah yang tawar?

Hosti yang kita sambut adalah sungguh Tubuh Kristus yang membuat kita hidup, penuh harapan dan optimis. Yang penting modal awalnya adalah 'Hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah' (Yoh. 6:29). Apakah Anda sungguh percaya Hosti itu Tubuh Kristus sendiri yang menghidupkan?

Jangan sampai ayam goreng KFC bikin Anda merasa lebih hidup.