Ada Waktu Untuk Menyimpan, Ada Waktu Untuk Membuang

Rabu, Desember 31, 2008 0 komentar

Manado, 10 jam menuju tahun baru 2009. Tidak seperti biasanya mobil-mobil berdesakan di jalan-jalan. Pusat perbelanjaan dipenuhi orang. Di beberapa titik tertentu muncul pasar dadakan di pinggir-pinggir jalan. Efeknya jelas, mobil-mobil harus bergerak merayap. Di pasar dadakan itu, penjual terompet dan petasan terhimpit di antara dominasi para penjual bahan makanan mulai dari cabe rawit sampai daging kiloan. Di Manado, sama seperti Natal, Tahun baru berarti makan besar. Nyam… nyam…nyam.

 

Sementara kita merayakan pergantian tahun dengan tenang dan damai, Israel-Palestina bergolak. Kemarin diberitakan, 7000 ribuan pemuda Iran melawar untuk maju perang melawan Israel. Jangan salah, ribuan pemuda ini bukanlah para preman pasar, bukan pula tenaga-tenaga terlatih dari kamp-kamp militer. Mereka adalah para mahasiswa dari berbagai universitas yang di pundak mereka seharusnya harapan akan masa depan bangsa yang cerah diletakkan.

 

Kita menutup tahun 2008 dengan damai sambil menyambut tahun baru dengan sejumlah harapan, tetapi untuk ribuan pemuda itu pergantian tahun tidak banyak artinya selain perang. Tidak banyak harapan di sana. Mungkin juga tidak secuilpun tersisa harapan akan masa depan yang damai.

 

Di belahan dunia lain di Amerika, pemilik sebuah blog berita paling populer di sana kemarin menerbitkan sebuah tulisan bagus, judulnya "Hal-hal yang ingin saya lupakan dari tahun 2008". Kebanyakan berbau politik dan terkait dengan urusan dalam negeri Negara itu. Hanya dalam tempo singkat, 600-an orang meresponnya dengan menyertakan pula hal-hal yang ingin mereka lupakan.

 

Malam ini, kami di biara Skolastikat MSC akan merayakan pergantian tahun dengan cara yang khas: dibuka dengan perayaan Ekaristi dan ditutup dengan api unggun dan bakar jagung muda. Tema perayaan kali meminjam kata-kata Pengkhotbah, "ADA WAKTU UNTUK MENYIMPAN, ADA WAKTU UNTUK MEMBUANG".

 

Apa yang bisa dikatakan pada akhir tahun ini? Mari kita mulai dari diri kita, keluarga kita, lingkungan kerja dan atau pelayanan kita.

 

Bagian mana dari hidup Anda yang ingin Anda buang? Peristiwa-peristiwa apa dari tahun 2008 yang hendak Anda lupakan: dalam relasi dengan orang-orang yang Anda cintai, dalam relasi di tempat kerja, dalam relasi pertemanan, dalam relasi di wilayah pelayanan Anda? Bagian mana dalam relasi-relasi itu yang hendak Anda lupakan? Konflik, sakit hati, dendam, ketidakpuasan, dikecewakan, dikhianati-ditusuk dari belakang, tidak didengarkan, tidak dimengerti, tidak dicintai, dibiarkan tertinggal, kesepian, bergumul sendirian?

 

Anda pasti punya bagian-bagian dalam relasi-relasi itu yang ingin Anda lupakan. Ada yang berhasil. Tetapi mungkin beberapa terlalu sakit untuk dilupakan. Tidak apa-apa, yang terlampau sakit tidak harus dilupakan. Hanya saja maafkanlah mereka dan lanjutkanlah hidup. Semoga Tuhan membantu Anda.

 

Sebaliknya, apa yang harus Anda simpan? Apa yang harus Anda pertahankan sebagai bekal dan modal memasuki tahun baru 2009? Banyak, tentu saja. Anda bias menyebutkan sendiri. Dari banyak itu, beberapa bias diungkapkan. Di antaranyam pelajaran-pelajaran yang Anda petik dari pengalaman-pengalaman sakit tersebut. Ini supaya Anda tidak jatuh lagi dalam peristiwa yang sama untuk kesekian kali. Juga perasaan berharga sebagai pribadi, dukungan, perhatian dan pengertian orang-orang yang kita cintai, keberhasilan-keberhasilan dalam studi dan karir. Dan di atas semuanya itu, kita menyimpan dan membawa masuk ke tahun 2009 harapan dan iman yang kokoh-kuat bahwa Tuhan mencintai Anda; cinta mana akan membasuh luka-luka Anda dan menyembuhkannya; cinta mana sudah, masih dan akan menopang hidup Anda di tahun yang baru.

 

Sementara itu, mari kita berdoa agar Tuhan membuang dendam dan kebencian dari hati pihak-pihak yang sementara bertikai di Timur Tengah. Kita berdoa semoga Tuhan menempatkan damai dalam hati ribuan pemuda yang siap mati itu. Bumi yang semakin renta ini pantas mendapatkan kedamaian.

 

SELAMAT MEMASUKI TAHUN BARU 2009. TUHAN MENCINTAI KITA SEMUA.

Remember Our Saints: St. Stefanus

Selasa, Desember 30, 2008 0 komentar

Tanggal 26 Desember, empat hari yang lalu, Gereja memperingati Santo Stefanus, martir pertama dalam Gereja Katolik. Ini kisahnya.

Satu hari sesudah kelahiran Kristus, kita kenangkan santo Stefanus, martir pertama. Namanya berarti "mahkota", dan ia murid Kristus yang pertama yang menerima mahkota kemenangan karena mati demi Kristus. Stefanus satu dari ketujuh diakon yang dipilih untuk menolong para rasul dalam pelayanan, diakonia, terhadap orang miskin. Mereka terkenal baik, penuh Roh Kudus dan hikmat. Stefanus penuh rahmat dan kuasa mengadakan mukjizat dan tanda-tanda di antara orang banyak. Penuh semangat ia memberi kesaksian tentang Kristus, sehingga menggemparkan orang Yahudi. Sebab itu mereka timbulkan suatu gerakan melawan dia, menyergap dia dan menyeretnya ke hadapan mahkamah agama. Di muka para penguasa itu ia memberi kesaksian yang jelas. Tetapi mereka menutup telinga dan merajam dia. Stefanus meninggal sambil mendoakan orang yang membunuh dia.

Stefanus melaksanakan sabda Kristus, "Cintailah orang yang membenci kamu dan berdoalah bagi orang yang mencaci kamu". Apakah kita bersedia mengampuni orang yang menyakiti hati kita?

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Apa Beda Tuhan dan Seorang Selebriti?

Senin, Desember 29, 2008 0 komentar

Apa beda antara Tuhan dan seorang selebriti di penghujung konser musiknya?

"Selamat Natal". Tentu saja itu yang sebenarnya ingin saya sampaikan pertama kali kepada Anda semua.

Bagaimana Natal Anda?

Saya melewatkan malam Natal dengan 17 umat di sebuah stasi kecil di pesisir danau Tondano. "Besok pasti lebih banyak lagi yang datang ke Gereja, frater. Biasanya juga begitu," kata ketua stasi sehabis ibadah. Jumlah umat di stasi itu, katanya, 22 kepala keluarga.

Ibadah yang seharusnya dimulai jam 20.00 WITA bergeser satu jam kemudian. Yaaaa, semua orang sibuk menyiapkan kue-kue dan lauk-pauk untuk besok hari. Asal tahu saja, pesta Natal di Manado benar-benar pesta dalam arti harafiah: semua orang mengenakan pakaian pesta ke Gereja, ibu-ibu menyiapkan makanan istimewa dan kue-kue yang tersedia hanya pada waktu Natal saja. Ibu yang rumahnya saya tinggali tidak tidur semalaman, masak ini dan itu.

Persiapan mereka sedemikian rupa sehingga waktu ibadah 25 Desember bergeser pula satu jam, dari rencananya 10.00 WITA. Yang hadir dalam ibadah hampir 30 umat.

Sehabis ibadah, saya ditemani beberapa umat berkeliling ke rumah-rumah umat: saling mengucapkan selamat (sekali lagi, yang pertama sehabis ibadah) dan tentu saja menyantap hidangan yang sudah dipersiapkan. Pukul 23.00 saya baru pulang ke rumah di mana saya menginap. Capek: capek fisik, capek makan. Tapi puas dan bahagia.

Keesokan harinya, seorang teman mengirim pesan pendek "May the miracle of Christmas renew your faith, refresh your spirit and touch your heart".

Saya teringat 2 kejadian kecil yang saya alami dalam kunjungan ke rumah-rumah hari kemarin. Kejadiannya sama persis: dua orang anak yang menangis yang satu berusia 1 tahunan dan yang lain 3 tahunan. Yang satu tahunan ini menangis ketika mamanya meletakannya di kursi yang khusus untuk bayi. "Dia lapar kayaknya," tebak saya dengan percaya diri. "Bukan frater. Dia nangis karena tahu kalo udah duduk di situ gak bisa bergerak ke mana-mana lagi," kata mamanya. Mamanya lalu mengeluarkan dia dari kursi. Benar saja. Tangisnya terhenti. Dan dengan segenap rasa penasaran yang mengebu-gebu, ia bergerak ke sana ke mari, menyentuh apapun yang bisa ia sentuh. Papanya harus cepat-cepat memindahkan barang pecah belah dari jangkauannya.

Di rumah lain, bocah 3 tahun menangis. Saya masih bertahan dengan tebakan yang sama. "Dia ngantuk frater, emang ini jam tidurnya," kata ibunya. Benar lagi. Sebentar saja dalam pelukan ibunya, ia sudah terlelap.

"Bagaimana nasib dua bocah ini kalo saya jadi orang tuanya? Nangisnya apa, saya ngasihnya apa," batin saya.

Tetapi setelah direnung-renung, bukankah demikianlah cara Tuhan mencintai kita? Teman saya pernah bilang, "Tuhan bukannya mencintai SEMUA orang, Dia mencintai SETIAP orang". Cinta-Nya tidak pernah bersifat massal.

Tuhan kita bukanlah seorang selebriti yang berteriak kepada para penggemarnya sehabis konser "Love you all" tapi tidak pernah benar-benar mengenal seorang pun, apalagi mencintainya.

Tuhan mencintai orang per orang. Ia mengenal saya dan Anda dan mencintai kita luar-dalam.

Orang lain bisa tidak mengenal kita, tidak segera menangkap kebutuhan kita dan tidak cepat-cepat memahami kita. Tuhan sebaliknya. Ia mengenal kita satu persatu. Ia memperlakukan kita dengan unik pula. seperti ibu-ibu yang mengenal tangis bayinya dan dengan cepat mendeteksi penyebabnya. Sementara saya selalu salah menebak. Dia menjawab doa kita dengan caranya yang unik pula, yang bisa jadi pas untuk saya tetapi tidak pas untuk Anda, pas untuk Anda belum tentu pas untuk saya. Tuhan sangat memahami kalau Anda seorang pendoa tulen, pembaca Kitab Suci yang aktif dan rasanya berdosa kalau seharipun terlewatkan tanpa Rosario. Tetapi Tuhan juga mengerti kalau Anda jenis yang sedikit alergi dengan pembicaraan yang sedikit-sedikit merujuk Kitab Suci. Sama

Begitulah cara Tuhan mencintai kita: sangat personal.

Dua kejadian itu benar-benar membuat harapan teman saya menjadi kenyataan: Natal kali ini membaharui iman saya, menyegarkan jiwa saya dan menyentuh hati saya.

Bagaimana dengan Anda?

Chinese Tea

Senin, Desember 22, 2008 0 komentar

Bali, suatu malam. Saya duduk bersama seorang teman. Kami berbagi cerita sambil menikmati sepoci Chinese tea yang, seperti biasa, panas dengan rasa yang khas. Ketika itu teman saya mengatakan ini, "Life is just like a cup of Chinese tea: bitter".

Saya langsung mengangguk setuju.

Hidup memang pahit. Walau tidak seluruhnya, saya tahu. Untuk beberapa dari kita lebih sedikit pahitnya dari pada manisnya. Untuk beberapa lagi dari kita hidup ini setengah manis dan setengahnya lagi pahit. Untuk beberapa yang lain dari kita hidup ini lebih banyak pahitnya daripada manisnya.

Pahit tidak selalu soal materi, soal banyak atau sedikit. Pahit juga soal cinta, keluarga, pasangan hidup, pekerjaan, pelayanan dan pertemanan.

Ngomong-ngomong soal Chinese tea, seingat saya, saya mengenalnya belum lama. Januari 2007 persisnya, kalau tidak salah. Orang yang memperkenalkan saya kepada Chinese tea ini memberi keterangan, "frater, Chinese tea ini bagus untuk kesehatan. Orang Tionghoa suka makan daging babi. Nah, Chinese tea ini fungsinya menetralisir lemak babi dalam tubuh supaya jangan berubah menjadi penyakit".

Begitu tahu manfaatnya saya dengan senang hati meminumnya. Walau pahit rasanya kalau minus gula.

Jadi, teh yang pahit ini ternyata sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh.

Oscar Wilde, seorang penulis, pernah mengatakan, "What seems to us as bitter trials are often blessings in disguise". Setuju. Banyak pengalaman menunjukkan itu. Pahit pada awalnya tetapi belakangan ternyata malah menjadi berkat. Tak jarang, seperti disebut Wilde, apa yang kelihatannya pahit sebenarnya berkat.

Hanya saja memang, kalau bisa dapat es teh manis kenapa mesti Chinese tea? Teh yang pertama jelas-jelas murah, manis dan menyegarkan. Pokoknya enak. Enak? Apa yang kelihatan enak dan sempurna, ternyata, bisa berbahaya. Es batunya, katanya, dari air kotor dan gulanya tentu saja bisa mengakibatkan diabetes.

(Barangkali saya mulai harus mempertimbangkan secara serius untuk berhenti minum es teh manis).

Pic of the Day

Selasa, Desember 16, 2008 0 komentar

Orang Eropa atau Kita: Yang Masuk Surga Lebih Dulu?

0 komentar

Dosen saya, seorang Belanda yang sudah menetap di Indonesia selama hampir 40-an tahun, pernah mengatakan ini di salah satu kuliahnya, "Kamu orang Indonesia selalu bangga bahwa kamu orang-orang yang ramah dan murah senyum, suka tolong-menolong dan sangat kuat agamanya."

"Sementara kamu mencap kami orang Eropa individualistis, egois, terlalu kaku dan dingin, terlalu mengejar materi, ateis dan tidak beragama."

"Tetapi coba lihat jalan-jalan di Indonesia: mobil-mobil tidak tertib sehingga macet luar biasa, sopir-sopir yang marah dan memaki sembarang di dalam mobil padahal jelas-jelas tidak taat aturan lalu lintas, tidak ada penghargaan terhadap pejalan kaki. Sampah dibuang sembarang tempat. Belum terhitung tindak kekerasan, pengrusakan dan pembunuhan atas nama agama."

"Sementara kami orang Eropa yang kamu cap sebagai individualistis dan ateis itu lebih tertib di jalan-jalan, taat aturan lalu lintas, sampah dikelola dengan baik, suka memberi mengulurkan tangan kepada sesama yang susah atau tertimpa musibah; Indonesia ketika bencana alam, misalnya di Aceh, mendapat banyak bantuan dari kami".

Apa yang dikatakan beliau tidak seluruhnya benar tetapi harus diakui kebanyakan memang demikianlah adanya.

Sikap kita dan masyarakat Eropa kurang lebih sama seperti "perumpaan tentang dua orang anak" (Mat. 21:28-32) yang diminta ayahnya untuk pergi ke ladang. Yang sulung bersedia pergi ke ladang tetapi ternyata tidak pergi; sementara yang bungsu menolak (mungkin malas) tetapi akhirnya berangkat juga.

Kita bilang kita beragama tetapi serampangan di jalanan, menyerobot jalan orang lain, menyebar sampah di sepanjang jalan dan selokan. Sementara orang Eropa, kita sebut, ateis dan tidak beragama, tetapi kelakuannya jauh lebih sopan dan taat aturan dan suka membantu.

Yesus bersabda "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya". (ay. 31-32).

Antara kita dan orang Eropa, siapakah yang akan masuk Kerajaan Surga terlebih dahulu?

Berbahagialah Anda yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.

Ngomong-ngomong, biasanya Anda bertingkah seperti anak yang sulung atau yang bungsu?

Mereka yang Tidak Mau Berubah

Senin, Desember 15, 2008 0 komentar

"Karena Yohanes datang, ia tidak makan dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa" (Mat. 11:18-19a).

Anda pasti pernah bertemu dengan para romo atau frater (suster/bruder) atau pengkothbah atau motivator. Gayanya bisa bermacam-macam: lembut—dalam, pelan—membosankan, bersemangat—penuh humor, kering—terlalu serius, blak-blakan—keras, asal-asalan—agresif.

Tetapi apa kesamaan dari orang-orang ini? Gampang: mereka sudah, sedang dan akan dibanding-bandingkan oleh para pendengarnya, ya Anda.

Setelah dibanding-bandingkan, mulailah ditetapkan: romo favorit, frater favorit, suster favorit, pengkothbah favorit dan motivator favorit. Alamiah. Ada yang difavoritkan oleh begitu banyak orang, ada juga yang hanya satu-dua orang.

Setahu saya, dari sisi mendengarkan kothbah, kita memfavoritkan seorang romo (dst), karena beberapa alasan. Pertama, kothbahnya selalu menyentuh pengalaman hidup kita ("kothbahnya kok gue banget ya?"). Kedua, kalaupun tidak menyentuh, kita suka caranya dia membawakan kotbah: orang keras akan menyukai kothbah yang keras dan tegas, dst (maksudnya kepribadian kita bisa sangat menentukan kita memasukan dalam hati atau tidak suatu kothbah). Ketiga, kothbahnya selalu nyambung dengan kepentingan kita (tidak persis menunjukkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga kita nyaman-nyaman saja, misalnya untuk tetap berbuat dosa).

Romo kami menambahkan satu lagi hal penting dan baru. Ini keempat. Katanya, kalau orang suka membanding-bandingkan dan ternyata tidak pas dengan siapapun, bisa jadi dia memang enggan berubah. Persis seperti para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang membanding-bandingkan Yesus dengan Yohanes pembaptis. Mereka membandingkan tetapi tidak mengikuti satupun dari keduanya. Masalahnya di mana? Mereka menolak bertobat, mereka tidak mau berubah.

Nah, Anda tipe yang mana? Salah satu dari tiga alasan di atas. Atau termasuk dalam kalangan yang disebutkan romo kami.

Kalau dibaca lebih teliti, sesungguhnya alasan yang ketiga itu bisa digabungkan dengan yang keempat.

Saya yakin Anda pasti selalu ingin berubah ke arah yang lebih baik. Begitu?

Di Panti Asuhan Itu ...

Kamis, Desember 11, 2008 0 komentar

Beberapa hari yang lalu seorang teman baik saya mengirim surat elektronik untuk saya. Isinya tentang kunjungannya ke sebuah panti asuhan. Sehabis membacanya, saya pikir "mengapa tidak dibagikan kepada yang lainnya?". Ternyata ia memberi izin (thanks ya). Jadi inilah sepotong suratnya. Selamat membaca.

 

hi, frath...

I went to the orphange yesterday.

The kids are so adorable...

You can see the pics in my facebook when you have good connection hehehe...

I like the 1 I put as the main pic, so adorable...

Somehow I wonder how lonely their life is maybe since they r still kids, they dun really feel it but as they grow, they might have questions about their life n parents tho they dun look lack of love. But 1 way or another, the love they has experienced is not as much as that given by parent n family.

They were very happy getting x'mas gifts from us.

We played with them...chit-chat...

When we went home, a boy said... "datang lagi ya, kak..."

Honestly speaking, I almost cried, indeed, I did cry.

When I was in the baby room they are so small...so not easy to reject them, so pure, cute and innocent... Lots of smile when around them being selfish, I wanna blame the parents who left them but in the other side, after listening to the stories why they left their babies (i heard from the nurses who take care of the babies), I understand the parents maybe dun have other choices if they are capable in term of financial and psychological (there are babies caused by rapist).

I believe the parents want them. When i think i feel lonely (which i still feel sometimes), how about those little babies when they grow up and realize they dun have parents or family they might get used to it....

Anyhow...I believe the LORD is taking care of them

frath....

those babies and toddlers are amazing. Yes...few is very active but they are kids. The house is very clean... The kids, as much as I see, are being taken care so well... If only I were rich...had lots of money...I would have adopted few of them hehehe....

Konfirmasi dari Yesus

Rabu, Desember 10, 2008 0 komentar

"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu" (Mat 11:28)

Anda pasti sudah mendengar ayat itu berulang kali. Mungkin saking seringnya, sudah dihafal.

Tapi mari jujur.

Setiap kali Anda membawa beban Anda, apapun itu, kepada Tuhan, apakah Anda memperoleh kelegaan?

Selalu?

Sering?

Kadang-kadang?

Hampir tidak pernah?

Kelegaan muncul karena beberapa sebab: (1) seseorang mendengarkan apa yang kita pendam—masalah belum teratasi sama sekali tetapi paling tidak, kita merasa tidak lagi menanggung beban itu sendirian; (2) merasa ada jaminan dan kepastian bahwa masalah kita akan teratasi; (3) masalah kita teratasi pada saat itu juga—termasuk kita memperoleh petunjuk atau titik terang bagaimana menyelesaikan masalah kita.

Kembali pada pertanyaan di atas, saya yakin, kalau Anda tidak selalu lega, minimal sekali-dua kali pasti pernah.

Nah, pertanyaan berikut, manakah dari tiga sebab di atas cocok dengan pengalaman Anda? Maksudnya, kalau Anda lega setelah berdoa kepada Tuhan, apa yang membuat Anda merasa lega? Sebab pertama? kedua? atau ketiga? (Lihat dan baca lagi yang di atas, ingat-ingat sebentar, baru dipilih)

Saya berani bertaruh, kalau kebanyakan Anda lega karena sebab pertama dan ketiga: Anda merasa didengarkan atau masalahnya teratasi.

Sebab kedua? Ini soalnya. Kita berdoa tetapi tidak pernah pasti kapan Tuhan menjawabnya. Dan sudah menjadi sifat alamiah kita manusia kalau semua yang tidak pasti itu menimbulkan perasaan tidak nyaman. Tidak pernah yang tidak pasti itu bikin lega. Itulah sebabnya kita suka sekali konfirmasi.

(Well, kalau diingat-ingat, selama di tempat pastoral saya sering sekali menerima telpon seperti ini, "frat, mau confirm neh…. Jadi kan?". Atau "frat, bisa bawain renungan minggu depan gak?" kalau saya jawab bisa, maka balasan selanjutnya adalah "confirm ya frat".)

Padahal sebab yang kedua inilah iman. Iman menyediakan jaminan dan kepastian kalau Tuhan mendengar doa Anda dan menjawabnya pada waktu-Nya.

Ketika Yesus mengatakan, "Datanglah… Aku akan memberi kelegaan kepadamu" itulah janji, jaminan dan konfirmasi kalau Dia mendengarkan keluh kesah Anda dan akan bertindak.

Jadi, ketika selepas berdoa dan Anda tidak lega juga, bisa jadi iman Anda bermasalah; bisa jadi iman Anda kepada-Nya belum kokoh kuat.

Atau, Anda pikir Yesus akan mengingkari janji-Nya?

Asal tahu saja, DIA udah confirm loh! Dari jauh-jauh hari pula.

Mencari Rumah di Warung Tak Bernama

0 komentar

Apakah setiap yang hilang harus dicari?

Saya membaca banyak artikel tentang situs pertemanan macam friendster atau facebook. Dalam beberapa kasus, situs-situs ini dipakai secara sengaja untuk melacak keberadaan beberapa orang teman masa kecil atau seangkatan ketika duduk di bangku sekolah. Orang-orang bisa sungguh-sungguh mencari mereka yang hilang karena kenangan; juga karena ingin membangun kembali relasi yang terputus. Orang mencari ketika mereka menganggap serius sebuah hubungan. Seorang teman saya girang bukan main ketika menemukan mantan cinta pertamanya. Menemukan karena ia memang sengaja mencarinya.

Di pusat kota Manado, ada sebuah warung kecil tak bernama. Saya suka makan di sana bukan karena makanannya yang murah meriah. Oke, ini faktor kedua. Rasa makanannya persis seperti masakan mama saya di rumah. Saya mencari suasana rumah yang hilang.

Banyak orang ke sana ke mari mencari perasaan tertentu yang hilang dari dirinya, berharap di tempat yang didatanginya perasaan itu didapatinya kembali. Ada yang berhasil, ada yang tidak. Yang tidak, terus mencari. Perasaan yang hilang itu bisa rasa aman, kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, dicintai, dibutuhkan… silahkan tambahkan sendiri sesuai pengalaman. Ada yang mencari sosok yang tak jelas benar, seperti pasangan hidup.

Kita mencari hanya ketika kita merasa sesuatu itu penting dan berharga.

Itulah sebabnya ketika kita "hilang" entah karena hilang beneran atau sengaja menghilangkan diri, Tuhan pun sibuk mencari kita. Dan tentu saja, betapa girang-Nya dia ketika Ia menemukan kita (Mat. 18:12-14, "Perumpamaan tentang domba yang hilang"). Tuhan memang selalu menganggap serius hubungan-Nya dengan kita.

Kita yang kadang-kadang tidak serius membangun hubungan dengan-Nya sehingga kadang-kadang (atau sering?) menghilang.

Konon katanya, "when it comes to relationship, it's always better if you have some space between".

Mungkin sesekali "menghilang" dari Tuhan juga baik. Ketika kita kembali, ketika Dia menemukan kita, kita sudah lebih bisa menghargai relasi dengan-Nya: kita jadi lebih sadar betapa tergantungnya kita kepada Dia.

CLiGspiration: Secercah Kebahagiaan Manusia

Jumat, Desember 05, 2008 0 komentar

"Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang tak kusukai," kata Will Rogers. Si koboi jenaka Amerika yang hebat itu bisa berkata demikian mungkin karena hanya sedikit, kalaupun ada, orang yang tidak menyukainya. Peristiwa yang terjadi ketika Rogers masih remaja di Oklahoma bisa menjelaskan hal ini.

Pada musim dingin 1898, Will mewarisi sebuah peternakan di dekat Claremore. Suatu hari, seorang petani yang tinggal di dekat situ membunuh seekor sapi milik Will yang merusak pagarnya dan memakan jagungnya yang masih muda. Menurut kebiasaan, si petani harus memberitahu Will apa yang telah dilakukannya dan mengapa. Dia tidak melakukannya, dan ketika Will mengetahui kejadian itu, dia menjadi berang. Dengan amarah yang meluap-luap, dia memanggil tenaga pembantu untuk menemaninya dan mengendarai kuda hendak menemui si petani untuk menyelesaikan urusan itu.

Dalam perjalanan menuju rumah si petani, angin kencang datang menerpa, dan menyelimuti kedua koboi dan kuda mereka dengan es. Ketika mereka tiba di rumah si petani, orangnya sedang pergi. Tetapi, istrinya bersikeras agar kedua orang yang kedinginan itu masuk ke dalam rumah dan berdiang di dekat perapian sambil menunggu suaminya pulang. Sambil berdiang, Will mengamati betapa kurus dan lelahnya wanita itu. Dia juga melihat lima orang anak kurus kering mengintipnya dari balik kursi.

Ketika si petani pulang, istrinya bercerita bahwa Will dan temannya telah diserang angin dingin. Will sudah akan mulai memakin si petani, tetapi tiba-tiba menutup mulutnya dan justru mengulurkan tangannya. Si petani yang tidak tahu maksud kedatangan Will, menerima tangan yang diulurkan itu dan mengundang keduanya untuk makan malam. "Tapi, hanya ada sayur kacang," katanya minta maaf, "karena badai telah mengacaukan penjagalan ternakku." Kedua tamu itu menerima undangan makan malam yang ditawarkan.

Selama acara makan itu, teman Will menunggunya untuk mengatakan sesuatu tentang sapinya yang disembelih si petani itu, tapi Will malah terus saja tertawa dan bercanda dengan keluarga itu. Diamati mata anak-anak yang berbinar setiap kali mereka menyebut-nyebut daging sapi yang akan mereka santap besok dan beberapa pekan yang akan datang.

Badai masih terus menerjang di saat makan malam usai, sehingga si petani dan istrinya bersikeras agar kedua tamunya menginap. Dan mereka pun menginaplah.

Keesokan harinya, mereka berangkat setelah kenyang sarapan dengan kopi hitam, kacang panas, dan biskuit. Will masih tetap tidak mengemukakan alasan kedatangannya. Di saat mereka beranjak pergi, teman Will mulai mengomelinya, "Kukiran kau hendak memarahinya karena membunuh sapi kita,"katanya.

Will terdiam beberapa saat, kemudian menjawabnya, "Tadinya memang akan kumaki dia, tapi kemudian aku berpikir. Tahu gak, sebetulnya aku tidak kehilangan sapiku. Aku menukarnya dengan secercah kebahagiaan manusia. Ada jutaan sapi di dunia ini, tetapi kebahagiaan manusia itu barang yang langka."

Will tiba di rumah keluarga petani itu dengan menyiapkan bisa di lidahnya dan seorang berbadan kekar di sampingnya. Tetapi, keadaan keluarga itu dan sorot kelaparan yang dipancarkan mata anak-anak itu membuatnya tertegun dan menyadari bahwa ada kalanya dalam kehidupan ini ada pertempuran yang lebih baik tidak dilakukan—ada sapi yang lebih baik dibiarkan saja.

(Dari: David K. Hatch, Everyday Greatness, 2007)

Verse of the Day

0 komentar

Berdoa Supaya Jangan Menangis

Kamis, Desember 04, 2008 0 komentar

Suatu ketika ada seorang anak, Johan namanya, sedang mengikuti sebuah lomba balap mobil mainan. Suasana siang itu sungguh meriah karena hari itu adalah final. Hanya tersisa 4 orang dan semuanya sedang memamerkan mobil buatannya sendiri. Memang begitulah aturan perlombaan: harus mobil buatan sendiri.

Mobil Johan tak istimewa di bandingkan 3 peserta lainnya. Karena itu beberapa orang meragukan apakah mobilnya bisa bersaing dengan yang lainnya. Namun bangga dengan mobilnya karena buatannya sendiri.

Tibalah saat yang dinantikan: final kejuaraan mobil balap mainan dimulai. Setiap anak mulai bersiap di garis start untuk mendorong mobil mereka masing-masing sekencang-kencangnya. Di setiap jalur lintasan telah siap empat mobil dengan empat "pembalap" kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan empat jalur terpisah.

Namun sesaat kemudian Johan meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Mulutnya tampak berkomat-kamit seperti sedang berdoa. Semenit kemudian ia berkata, "ya, aku sudah siap".

Dor… Dengan satu hentakan kuat mereka mendorong mobil mereka masing-masing. Mobil-mobil itu melaju cepat di lintasannya masing-masing. Semua orang yang hadir berteriak menyoraki mobil jagoannya. Ini final dan pemenang harus ditentukan. Tali lintasan finish pun terlambai. Dan, tanpa diduga-duga sebelumnya, mobil Johan mencapai garis finish terlebih dahulu. Johan keluar sebagai pemenangnya.

Saat pembagian piala tiba, Johan tampil ke depan dengan bangga. Sebelum menyerahkan piala ketua panita bertanya kepadanya, "Hai jagoan, kamu pasti tadi berdoa kepada Tuhan supaya kamu menang, bukan?" Johan terdiam. ":Bukan pak. Bukan itu yang saya panjatkan."

Ketua panitia dan semua yang hadir mengernyitkan dahi. Johan melanjutkan, "Sepertinya tidak adil meminta Tuhan untuk menolong saya mengalahkan yang lain. Saya hanya mohon pada Tuhan supaya saya tidak menangis kalau kalah".

Semua hadirin terdiam mendengar itu. Beberapa saat kemudian bunyi tepuk tangan yang bergemuruh terdengar.

Nah, saudara-saudariku, supaya masuk surga, simak kata-kata Yesus pagi ini, "Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: 'Tuhan, Tuhan' akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga" (Mat. 7:21). Dan "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu" (Mat 7:24). Kehendak Bapa yang dimaksudkan Yesus jelas: mencintai Allah dan mencintai sesama seperti diri sendiri.

Maka tidak perlu susah berpikir: mana yang lebih penting, doa dulu atau tindakan dulu? Karena bahkan dalam doa pun Anda bisa melakukan tindakan cinta kepada sesama. Itu pesan dari cerita yang Anda baca di atas. Jangan hanya memikirkan kepentingan sendiri ketika berdoa. Ada kecenderungan, kita rajin berdoa tetapi hanya untuk memohon prestasi kita, kesehatan kita, kesuksesan usaha dan karir kita, kerukunan keluarga kita, masa depan anak-anak kita.

Kita, kita, kita dan kita lagi; semuanya tentang kita.

Egois amat.

Cobalah seperti Johan. Kalau belum bisa selalu, yaaa sekali-sekali juga oke. Paling tidak, pernah sekali dalam hidup.  

Suara Jangkrik atau Uang Logam

Rabu, Desember 03, 2008 1 komentar

Suatu hari seorang desa mengunjungi temannya di kota. Bunyi ribut mobil-mobil dan suara orang lalu lalang sangat menganggu orang desa itu. Pada suatu hari kedua orang itu sedang berjalan-jalan ketika tiba-tiba orang desa itu menepuk bahu temannya dan berbisik, "Berhentilah sebentar. Apakah kamu mendengar suara yang kudengar?"

Teman kota itu menoleh kepada orang desa itu dan sambil tersenyum berkata, "Yang saya dengar hanyalah suara klakson mobil dan suara orang yang lalu lalang. Apa yang kamu dengar?"

"Ada seekor jangkrik di sini dan saya bisa mendengar suara nyanyiannya," jawab orang desa itu.

Teman dari kota itu mendengar dengan penuh perhatian, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata, "Saya pikir kamu hanya bergurau. Tidak ada jangkrik di sini. Dan seandainya ada, bagaimana orang bisa mendengar suaranya di tengah kebisingan jalan ini? Jangan-jangan kamu mengira kamu mendengar suara seekor jangkrik?"

Kata orang desa itu, "Tidak,memang ada satu ekor jangkrik bernyanyi di sini sekarang".

Orang desa itu kemudian berjalan beberapa langkah dan berdiri di samping tembok sebuah rumah. Di situ ada tumbuhan merambat. Orang desa itu memetik beberapa daun dan di atas daun itu, seekor jangkrik sedang bernyanyi dengan nyaring. Ketika mereka kembali berjalan-jalan, orang kota berkata, "kamu secara alami mendengar lebih baik daripada kami".

Dikomentari demikian, orang desa itu hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Saya tidak setuju dengan pendapatmu. Orang desa mendengar tidak lebih baik daripada orang kota. Sekarang lihat, saya akan membuktikannya kepadamu".

Lalu orang desa itu mengambil uang logam dan menjatuhkannya di trotoar. Bunyi uang logam itu membuat banyak orang menoleh ke arahnya. Orang desa itu memungut kembali uang logam itu, menyimpannya dan keduanya melanjutkan perjalanan.

Kata orang desa itu, "Tahukah kamu sobat, suara uang logam itu tidak lebih keras dari suara nyanyian jangkrik tadi. Banyak orang kota lebih mendengar suara uang logam ketimbang suara jangkrik. Alasannya bukanlah orang desa mendengar lebih baik. Tidak. Alasannya, kita selalu mendengar dengan lebih baik hal-hal yang biasanya kita perhatikan".

Apa pesan cerita di atas? Seringkali ketika kita dalam masalah dan berdoa, Tuhan bukannya diam saja. Sesungguhnya Ia menjawab. Hanya saja kita lebih fokus pada diri kita sendiri dan permasalahan kita daripada fokus pada Tuhan dan pertolongan-Nya. Selesai berdoa, kita lebih suka memasang telinga untuk mendengar Tuhan menjawab sesuai dengan kemauan dan harapan kita. Kita ingin Tuhan menjawab sesuai dengan permintaan kita. Maka berulang kali Tuhan menjawabnya pun berulang kali pula kita berpikir Tuhan tidak peduli.

Padahal telinga dan mata kita saja yang selektif: hanya mendengar apa yang mau kita dengar dan melihat apa yang ingin kita lihat.

Jadi, apa yang paling sering Anda dengar?

(a). Suara jangkrik

(b). Suara uang logam jatuh

(c). Tergantung

Remember Our Saints: St. Fransiskus Xaverius

0 komentar

Hari ini, tanggal 03 Desember, peringatan Santo Fransiskus Xaverius, seorang imam dan oleh Gereja diangkat sebagai pelindung karya misi.

Fransiskus Xaverius lahir di Spanyol pada tahun 1506. Pada umur Sembilan belas tahun ia belajar di Paris dan bersahabat dengan Ignatius dari Loyola (seorang Santo). Maka pada tanggal 15 Agustus 1534 mereka dengan beberapa teman lain mempersembahkan diri kepada Allah. Terbentuklah inti yang kelak berkembang menjadi Serikat Yesus (SJ). Mereka lalu pergi ke Roma dan menawarkan jasa mereka kepada Paus. Di situ pada tahun 1537 Fransiskus Xaverius ditahbiskan menjadi imam. Empat tahun kemudian ia berangkat ke Asia sebagai misionaris. Sepuluh tahun lamanya ia bekerja di Goa, Sri Langka, Indonesia, dan Jepang. Waktu hendak masuk Tiongkok ia meninggal dunia di pulau Sancia, pada tanggal 3 Desember 1552. Paus Pius XI menyatakan dia sebagai pelindung karya misi bersama Santa Teresia dari Lisieux.

Fransiskus Xaverius mewartakan Injil di daerah-daerah baru dan merintis jalan bagi misionaris lain. Kita juga dipanggil untuk mewartakan Injil kepada orang lain. Tidak selalu perlu dicari daerah baru. Injil ini dapat kita wartakan juga di daerah kita sendiri, di dalam keluarga kita masing-masing.

(Sumber: Anggota keluarga Allah, Kanisius, 1974)

Sama Pengalaman, So What?

Senin, Desember 01, 2008 2 komentar

"Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Bla-bla-bla"

Kadang-kadang begitu kalimat pertama yang meluncur bebas dari mulut saya menanggapi curhat seorang teman.

Selanjutnya jelas, saya bisa bercerita panjang lebar tentang apa yang saya alami yang saya sebut "sama" itu. Atau saya tidak bercerita tentang pengalaman yang sama itu tetapi langsung ke "waktu itu saya gini-gini-gini". Maksud tak terucap dari cerita-cerita itu adalah "coba deh jalan keluar ini. Berhasil loh untuk saya".

Biasanya sampai di situ sesi curhat berakhir. Saya anggap nasehat saya ditangkap dengan baik. Saya mampu memecahkan masalahnya. Topik pembicaraan berpindah.

Belakangan ini saya sadar anggapan saya itu selama ini keliru 120 %: tidak ada masalah yang terpecahkan. Sesi curhat itu memang berakhir tetapi tidak menyelesaikan apa-apa.

Dari mana kesadaran ini muncul? Pengalaman pribadi.

Suatu kali, belum lama ini, saya menceritakan pengalaman yang benar-benar tidak mengenakan kepada seorang teman. Tebak ia memulai tanggapannya dengan kalimat apa? Anda benar.

Saya langsung ilfil.

"Erggggg, saya hanya ingin didengarkan".

"Situ emang pernah mengalami hal yang sama, so what? Tetap saja ada bedanya," begitu batin saya.

Sesi curhat kami berakhir. Pada saat yang sama, terbitlah rasa puas di wajahnya karena merasa bisa menyelesakan masalah saya.

Saya pernah baca di sebuah edisi majalah Reader's Digest kalimat ini, "Kita tidak selalu mengharapkan diberi jawaban atau nasehat. Kadang-kadang yang kita butuhkan hanyalah seorang teman".

Setuju banget. 200 %.

Demi Iman: Kita Belajar Apa dari Mereka?

0 komentar

Remember Our Saints: Beato Dionisius dan Redemptus

0 komentar

Hari ini, tanggal 01 Desember, Gereja memperingati martir Dionisius dan Redemptus. Siapakah mereka dan apa yang telah dilakukannya? Sedikit bocoran awal: mereka wafat sebagai martir di Negara kita.

Dionisius lahir tahun 1600 di Honfleur, sebuah kota di pantai utara Perancis. Ayahnya nahkoda, maka tidak heran bahwa Dionisius menjadi pelaut. Pada umur dua puluh tahun ia ikut berlayar ke Indonesia, di mana ia bekerja selama lima tahun sebagai penggambar peta dan jurumudi. Akhirnya ia pindah ke Goa, dan menjadi kapten armada Portugis. Pada umur 35 tahun ia memutuskan menjadi imam, dan masuk biara Karmel di goa.

Redemptus lahir sekitar tahun 1598 di Paredes, sebuah desa kecil di Portugal. Ia masuk tentara dan diutus ke daerah jajahan Portugis. Akhirnya ia ditempatkan di Goa. Redemptus lalu berubah haluan dan menjadi bruder Karmelit.

Pada tahun 1638, orang Portugis mengirim utusan ke Aceh. Atas permintaan kepala rombongan, Dionisius ikut sebagai pastor tentara dan jurubahasa. Ia ditemani Redemptus. Sesampai di Aceh mereka ditangkap dan dipenjara. Pada tanggal 29 November 1638, mereka mati sebagai martir.

Usaha Dionisius dan Redemptus untuk mewartakan Injil di tanah kita nampaknya gagal sama sekali. Tetapi bukankah biji gandum harus mati supaya dapat berbuah? Apakah kita mau berusaha demi Kristus, juga kalau hasilnya tak nampak?

(Dari: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

Ayolah... Bangkit Donk

Kamis, November 27, 2008 0 komentar

"Eh tau gak, semalam Mumbai diserang teroris?" tanya teman saya tadi di meja makan. Saya baru tahu saat itu.

Selesai makan, saya bergegas menyalakan televisi, menonton berita siang. Benar.

Bacaan Injil hari ini berkisah "Tentang runtuhnya Yerusalem" (Luk. 21:20-24): bahwa Yerusalem akan diinjak-injak bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah, penduduknya akan tewas oleh pedang dan sisanya akan dijadikan tawanan.

Para penduduk di Mumbai sedang mengalami keruntuhan juga akibat serangan teroris semalam (semoga Tuhan melindungi mereka yang masih bertahan dan menerima arwah mereka yang menjadi korban).

Anda sendiri mungkin sedang "runtuh" juga oleh penderitaan yang Anda alami: Ya runtuh fisik, emosi, mental atau spiritual. Ini beberapa ide menjalani penderitaan yang baik. Saya mengutipnya dari buku yang sama yang sudah saya sebutkan kemarin.

Ø      Menggunakan penderitaan untuk membantu dan memperkaya orang lain.

Ø      Menggunakan penderitaan untuk menjadi orang yang lebih baik—menunjukkan karakter dan kebaikan tertinggi Anda dalam menghadapi kesedihan.

Ø      Melihat ke dalam, dan secara pribadi memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan Anda dalam menghadapi kesulitan.

Ø      Menggunakan dan meneruskannya dengan ketetapan hati yang terus diperbaharui.

Ø      Menjadi manusia—mengakui ketika penderitaan itu berat atau menyakitkan—tidak berpura-pura hal itu tidak ada, merampas pelajaran-pelajaran penting dari diri Anda.

Ø      Meminta bantuan ketika Anda membutuhkannya.

Ø      Mengubah penderitaan menjadi alasan untuk bertindak.

Ø      Terbuka terhadap penderitaan itu—membiarkan orang lain belajar dari apa yang Anda jalani.

Selain itu, jangan lupa untuk menanyakan kepada diri sendiri: apa yang bisa saya lakukan untuk melangkah maju, membuat peningkatan sekecil apa pun dalam cara saya, dan orang lain, menjalani penderitaan saya? Apa yang bisa saya lakukan secepatnya untuk melewati situasi ini? Saya ingin mehidupan saya seperti apa bagi diri saya dan orang lain pada sisi lain?

Tahukah Anda ketika sedang menderita, kita bisa tanpa sadar melakukan identifikasi: kita mencap diri kita sesuai dengan apa yang sedang kita derita dan bertindak sesuai cap itu dengan tujuan memberi excuse kepada diri sendiri dan orang lain. Misalnya, "gak tahu apa orang lagi patah hati". Sah saja mengatakannya, lagipula memang faktanya sedang patah hati. Tetapi berbahaya kalau setiap saat kalimat itu terus yang kita ucapkan kepada diri sendiri dan orang di sekitar kita hanya supaya mendapat perhatian dan pengertian.

Ini yang sering memperlama penderitaan.

Ayolah… bangkit donk.

Fisik, Emosi, Mental atau Spiritual?

Rabu, November 26, 2008 0 komentar

Sesungguhnya saya ingin bertanya kepada Anda, "apa kabar hari ini?" Tapi itu tidak saya lakukan karena saya bisa menebak jawabannya, "baik frater". Kata teman saya, "pertanyaannya basa-basi, jadi jawabannya juga basa-basi". Belakangan kalau saya mengiriminya pesan pendek, sekalipun masih berisi pertanyaan di atas tetapi sudah dilengkapi dengan keterangan dalam kurung "ini gak basa-basi" yang, apa boleh buat, kedengaran hampir seperti tag line rokok.

Mengapa saya ingin tahu kabar Anda?

Well, bacaan Injil kemarin dan hari ini berasal dari satu perikop, "Permulaan Penderitaan" (Luk 21:7-19).

Saya tidak tahu persis Anda sedang menderita: Anda sedang bahagia; biasa-biasa saja; bosan dengan hidup yang sekarang Anda jalani tapi, untuk alasan yang masuk akal, Anda tidak bisa berbuat banyak.

Apapun keadaan Anda, mari melihat lebih kritis penderitaan itu sendiri—untuk Anda yang sedang tidak menderita, anggap saja ini persiapan ketika "waktunya menderita tiba" (jauhkan ya Tuhan). Maksudnya, minimal ketika orang dekat Anda bertanya "gimana kabar?" Anda tidak hanya asal menjawab "lagi menderita nih" tanpa ada keterangan lanjut.

Dari buku yang saya baca, Adversity Advantage (2008), ternyata ada empat jenis penderitaan.

1.      Penderitaan fisik

Ini penderitaan yang tidak perlu dijelaskan panjang lebar di sini. Kita semua tahu. Menurut para penulis buku tersebut, penderitaan ini adalah jenis yang paling nyata: tubuh kita memberitahu kapan sesuatu terasa menyakitkan. Penderitaan jenis ini paling sering kita bicarakan secara terbuka dan paling sering menimbulkan simpati yang besar dari orang lain. Obatnya juga jelas.

2.      Penderitaan emosional

Penderitaan jenis ini membuat hati kita sakit, anggota badan terasa berat dan nyali kita berubah sangat cepat. Tanda-tanda penderitaan ini adalah kekhawatiran, ketakutan, frustrasi, kemarahan, ketidakberdayaan, dendam, kegelisahan, iri, kesedihan mendalam, kebencian, kemuakan dan cinta yang tak terpecahkan. Keistimewaan penderitaan jenis ini adalah sifatnya menular ke orang lain. Anda sedang sedih dan frustrasi bisa membuat orang lain mengalami hal yang sama. Itulah sebabnya nasehat tua selalu menyebutkan kalau Anda sedang sedih bacalah buku humor atau nontonlah film komedi. Kalau Anda berteman dengan orang yang bisa mengubah kesedihan Anda menjadi sukacita, itu rahmat.

3.      Penderitaan mental

Penderitaan jenis ini timbul ketika kita tampaknya tidak bisa mengetahui dan memecahkan masalah yang sangat penting; juga sering kali datang dari kebingungan dan ketidakmampuan menemukan solusi yang terbaik dan tepat atas masalah penting; bisa juga ditimbulkan oleh kebingungan atau kurangnya informasi mengenai sesuatu yang kita anggap penting.

4.      Penderitaan spiritual

Penderitaan jenis ini, menurut para penulisnya, sering kali berasal dari sesuatu yang sangat pribadi dan tersembunyi. Penderitaan ini terjadi ketika kita merasa terkatung-katung tanpa iman, tak memiliki tujuan hidup dan putus asa; juga terjadi ketika jiwa Anda dalam keadaan kacau balau dan bergulat dengan masalah-masalah besar yang mungkin secara berurutan disebabkan oleh kehilangan orang tercinta, kematian yang amat dekat atau kejadian yang secara pribadi amat mengejutkan. Penderitaan ini juga bisa terjadi ketika Anda menderita krisis keyakinan atau ketika Anda merasa tidak bermakna atau kehidupan Anda tanpa makna sama sekali.

Masih menurut penulis buku ini, kebanyakan penderitaan yang Anda alamai terdiri dari beberapa penderitaan sekaligus. Misalnya, jika Anda dipecat dari pekerjaan, emosi Anda pasti akan kacau balau, mental Anda dengan sendirinya terpengaruh (gangguan tidur dan stress), pada akhirnya secara spiritual Anda mulai bertanya, "mengapa ini terjadi pada saya Tuhan?" atau merasa seolah-olah "Tuhan telah meninggalkan saya".

Untuk Anda yang sedang menderita, apapun jenisnya, pagi ini Yesus berjanji, "Tetapi tidak sehelai pun dari rambutmu kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu" (ayat 18-19).

Berita-Berita "Seram" di Inbox Email

Selasa, November 25, 2008 0 komentar

Saya punya dua alamat e-mail. Tidak ada maksud untuk gaya-gayaan. Yang satu berusia 4 tahun—waktu itu saya masih buta teknologi, tapi murid-murid saya mendesak "frater mesti punya email" dengan alasan "biar curhatnya bisa panjang lebar". (Sebenarnya ada dua desakan: pertama email, kedua friendster. Yang email, "okelah" pikir saya, kalo friendster, saya pikir itu genit).

Email yang lain belum genap dua tahun. Dua email ini untuk kepentingan yang berbeda: yang satu untuk teman, kenalan, keluarga, sementara yang lain untuk urusan dengan pihak luar yang resmi sifatnya, semisal mengirim tulisan ke surat kabar lokal.

Sekalipun untuk kepentingan yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan: kotak masuknya (inbox) terisi kebanyakan oleh email terusan (forward). Email terusan ini macam-macam pula jenisnya: yang inspiratif ada, yang lucu ada, yang nakal-agak jorok juga ada, yang curhat ada, yang sekadar basa-basi ada, dan berita-berita seram (hati-hati dengan ini dan itu, waspadai ini dan itu, jangan ini dan itu, lengkap dengan permintaan/perintah "tolong sebarkan ini…" di bawahnya).

Biasanya jika punya waktu cukup dan tentu saja kalau internetnya tidak ngadat, saya menikmati email-email terusan itu. Kecuali, berita-berita seram. Mengapa saya tidak menikmati jenis yang ini? Di kepala saya selalu muncul keprihatinan, "kok bisa ya? kok tega ya?". Kadang-kadang, penasaran, "masak sih?" Karena tidak menikmati, saya selalu menghapusnya dari kotak masuk.

Harian Kompas dua hari yang lalu (23/11) menyajikan tulisan tentang "berita-berita seram" itu. Katanya, berita-berita demikian tidak selalu benar. Kalau isinya sensasional dan dibumbuhi dengan "tolong sebarkan," harus diragukan kebenarannya. Nah loh, padahal "berita-berita seram" itu 'kan sensasional semua?

Yesus dalam Injil pagi ini (Luk 21:5-11) mewanti-wanti, "Waspadalah, supaya kamu jangan disesatkan". Karena akan tampil banyak nabi palsu.

"Berita-berita seram" itu bisa jadi penyesatan model baru. Dan yang menulis berita-berita itu bisa jadi adalah nabi-nabi palsu zaman ini yang gemar bikin sensasi padahal isinya kebohongan. Karena itu, tidak ada sikap yang lebih tepat lagi selain waspada; waspada terhadap apa yang Anda baca. Jangan sekali baca, langsung percaya dan mulai mengarahkan mouse ke menu forward.  

Barang-Barang Bawaan dalam Hidup

Senin, November 24, 2008 0 komentar

Konon katanya laki-laki lebih praktis, gak ribet, simple, cepat. Benar? Tidak juga. Saya salah satu contoh dari yang "tidak juga" itu, terutama ketika hendak bepergian.

Pertanyaan pertama yang selalu saya hadapi adalah apa yang mau dibawa?

Nah, masalah biasanya muncul di sini. Sewaktu masih bertugas di Jakarta, di lemari pakaian saya tersimpan beberapa jenis tas bepergian sekaligus. Ukurannya besar, sedang dan kecil. Tas-tas berbagai ukuran itu difungsikan tergantung saya pergi ke mana dan berapa lama.

Masalahnya di mana? Saat packing: ya itu tadi, barang apa yang mau dibawa?

Setelah saya hitung-hitung, banyak waktu habis hanya untuk memikirkan barang apa yang akan saya bawa. Ok, akhirnya packing selesai juga. Tetapi setelah saya ingat-ingat sekarang, ada tiga jenis barang yang biasanya ada di dalam tas saya. Pertama, barang yang benar-benar dibutuhkan dan terpakai selama perjalanan. Kedua, barang yang memang terpakai tetapi setelah dipikir-pikir kalau tidak dibawa juga tidak apa-apa, tidak akan mengurangi kualitas perjalanan. Ketiga, barang yang ternyata benar-benar tidak terpakai sampai kembali ke rumah dan disimpan kembali masih dalam keadaan utuh atau bersih. Dan sialnya, ketiga barang itulah yang selalu ada dalam tas saya kalau saya bepergian.

Alhasil, banyak energi (tenaga, pikiran, konsentrasi, waktu, uang) juga habis hanya untuk mengurusi tas-tas itu. Padahal energi itu bisa disalurkan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, semisal sungguh-sungguh menikmati perjalanan.

Semalam saya membaca sebuah buku bagus, Adversity Advantage. Ini buku tentang bagaimana menghadapi kesulitan. Salah satu bagian dalam buku ini berbicara tentang masalah yang saya hadapi: packing.

Menurut penulisnya, Paul G. Stoltz dan Erik Weihenmayer, sama seperti kesulitan lam perjalanan yang ditimbulkan oleh kekurangcermatan dalam packing, begitu pulalah hidup. Hidup kita bisa kacau balau, emosi kita naik turun gak karuan dan hidup rohani kita kosong karena "barang" yang kita bawa terlalu banyak melebihi kebutuhan kita.

Saya kutipkan untuk Anda salah satu paragrap: "Periksa pengepakan Anda sendiri—apa yang sekarang ini Anda bawa dalam kehidupan? Berapa banyak dari apa yang Anda miliki, dan apa yang Anda lakukan yang benar-benar penting? Berapa banyak dari milik Anda yang hanya merupakan konsumsi dari sumber daya? Akhirnya, apakah barang-barang yang Anda pak dalam kehidupan—barang-barang yang Anda kumpulkan, keputusan-keputusan yang Anda buat, pekerjaan yang Anda lakukan, cara Anda menginvestasikan waktu dan uang, cara Anda mengelola kesehatan—membebani Anda atau mengangkat Anda?"

Tahukah Anda mengapa janda miskin dalam bacaan Injil pagi ini (Luk 21:1-4) mau memberi dari kekurangannya dan dipuji Yesus?

Bukan karena "cuma itu yang dimilikinya". Bukan. Lebih daripada itu,  ia mengepak hidupnya sedemikian rupa sehingga memberi tidak lagi menjadi beban baginya. Memberi sudah menjadi panggilan hatinya.

Saya mengutip kata-kata penulis buku yang luar biasa ini, "lebih" tidak selalu berarti lebih. Jika salah mengepak, lebih akan terasa kurang. Lebih banyak materi yang kita miliki bisa menambah keruwetan sehingga kita akan merasa kekurangan waktu, kekurangan kedamaian pikiran…

Maka prinsipnya bukanlah sedikit atau banyak "barang" dalam hidup tetapi apakah barang itu tepat atau tidak—tepat berarti semakin membuat Anda bertumbuh dewasa, hidup dalam kedamaian, emosi yang stabil, dan rohani yang kuat.

Ayo, mari periksa "barang-barang bawaan" kita.