Remember Our Saints: St. Ignatius dari Loyola, Imam

Kamis, Juli 31, 2008 0 komentar

Tanggal 31 Juli, hari ini, peringatan wajib Santo Ignatius dari Loyola, seorang imam.

Ignatius lahir di Loyola, Spanyol Utara, pada tahun 1491. Ia seorang serdadu yang berani dan suka bertempur. Dalam pengepungan benteng Pamplona kakinya luka, sehingga ia cukup lama terkurung di rumah sakit. Sebab tak ada buku lain, ia mulai membaca riwayat hidup Yesus dan orang-orang kudus. Maka ia mengambil keputusan untuk mengubah hidupnya dan membaktikan diri kepada Kristus. Ia lalu menyendiri beberapa bulan di gua Manresa dekat biara Montserrat. Pengalamannya dalam doa dan renungan selama itu dicatatnya dalam buku 'Latihan Rohani', suatu buku yang masih tetap banyak orang [sampai saat ini]. Sesudah mengunjungi Tanah Suci, Ignatius belajar di Paris dan ditahbiskan menjadi imam. Di situ juga ia bersama enam temannya mendirikan Serikat Yesus (SJ). Mereka lalu pergi ke Roma untuk menawarkan jasa mereka kepada Paus. Ignatius meninggal dunia di Roma pada tanggal 31 Juli 1556.

Kehidupan Ignatius berubah karena ia di rumah sakit mendapat banyak waktu untuk berpikir tentang hidupnya. Kitapun kadang-kadang harus mengambil waktu untuk melihat dan menilai hidup kita sendiri.

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

 

P.S: Romo yang mempersembahkan misa pagi ini bercerita tentang sisi lain hidup Santo ini. Katanya, "sebelum masa Ignatius, orang mengenal kesucian sebagai kata sifat. Seperti juga cantik dan tampan. (Memang selalu ada yang terlahir dengan raut wajah seperti orang kudus). Ignatius memberi arti baru. Menurutnya, kesucian itu bukan kata sifat melainkan kata kerja. Kesucian itu perbuatan baik yang dilakukan terus-menerus dalam hidup sehari-hari".

Dengan kata lain, dalam hidup sehari-hari, ada saatnya kita menjadi orang suci dan ada saatnya bukan. Tinggal mana yang lebih banyak: sucinya atau bukannya?
Ehmmmmm.....

CLiGspiration: Seperti Menyingkirkan Batu

Rabu, Juli 30, 2008 0 komentar

Cobalah untuk mengawali suatu hari Anda dengan niat untuk memberi. Mulailah dengan sesuatu yang kecil yang tak berharga di mata Anda. Mulailah dengan uang recehan. Kumpulkan beberapa recehan yang tercecer di sana-sini hanya dengan satu tujuan: diberikan. Apakah Anda sedang berada dalam bis kota yang panas, lalu datang pengamen bernyanyi memekakan telinga. Atau, Anda sedang berada di dalam mobil ber-AC yang sejuk, lalu sepasang tangan kecil mengetuk meminta-minta. Tak peduli bagaimana pendapat Anda tentang kemalasan, kemiskinan dan lain sebagainya. Tak perlu banyak berpikir dan menganalisa, berikan saja recehan itu kepada mereka.

Barangkali ada rasa enggan dan kesal. Tekanlah perasaan itu seiring dengan pemberian Anda. Bukankah tak seorangpun ingin memurukan diri menjadi seorang pengemis? Ingat, kali ini Anda hanya sedang "berlatih" memberi; mengulurkan tangan dengan jumlah yang tiada berarti. Rasakan saja. Kini sesuatu mengalir dari telapak tangan Anda. Sesuatu itu bernama kasih sayang.

Memberi tanpa pertimbangan bagai menyingkirkan batu penghambat arus sungai. Arus sungai itulah rasa kasih dalam diri. Sedangkan batu adalah kepentingan yang berpusat pada diri sendiri. Sesungguhnya, bukan receh atau berlian yang Anda berikan. Kemurahan itu tidak terletak di tangan, melainkan di hati. Itulah sebabnya orang menyebut pemberian sebagai kemurahan hati.

Mari berlatih. Hari ini?

(Dari: N.N)

Remember Our Saints: Sta. Marta

Selasa, Juli 29, 2008 0 komentar

Tanggal 29 Juli, hari ini, peringatan wajib Santa Marta. Marta, saudari Maria dan Lazarus. Yesus berulangkali menginap di rumah mereka di Betania, dan Marta dengan senang hati melayani Dia. Waktu Lazarus sakit keras Marta dan Maria memanggil Yesus. Namun Lazarus sudah empat hari dikubur ketika Yesus tiba. Tetapi atas permintaan Marta, Yesus menghidupkan Lazarus kembali.

Marta menyambut Yesus dalam rumahnya dan melayani Dia. Apakah kita bersedia menyambut Yesus dalam rumah kita dan melayani-Nya? Baiklah kita bahwa Yesus kita layani dalam diri orang lain. Melayani sesama, sama dengan melayani Yesus. Tidak peduli pada sesama, sama dengan tidaqk peduli pada Yesus.

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

Brutus

0 komentar

Umurnya kurang lebih 6-7 bulan (tidak ada yang ingat persis kapan dia lahir) dengan tinggi baru 22 cm dan panjang 16 cm (ini bukan angka-angka tebakan, saya mengukurnya sendiri, beberapa jam yang lalu). Bulunya coklat tua, agak tebal, dengan lingkaran di hidung berwarna hitam. Tidak terlalu besar. Terlalu kecil, juga tidak. Namanya Brutus. Seekor anjing biasa, salah satu penjaga rumah kami.

Dua bulan yang lalu ketika saya bertemu dengannya pertama kali, dia sama sekali jauh dari anjing kecil rumahan yang standar: berlari riang menyongsong sambil mengibaskan ekornya. Manja. Centil. Minta dibelai, paling tidak dielus sebentar. Tidak. Dia menunjukkan ekspresi marah, dan terus menggonggong jika didekati. Dengan suaranya yang kecil, tidak meyakinkan itu. Sangat tidak ramah. "Ok, saya orang asing untuk dia. Nanti juga jinak sendiri". Seminggu berlalu, saya salah. Apa masalahnya?

""Dia memang pemarah. Entah siapa yang bikin dia trauma dengan manusia?!". Begitu keterangan yang saya peroleh. Saya bertekad untuk menaklukannya.

Suatu siang saya mendekatinya. Seperti biasa dengan tampang tidak bersahabat dan gonggongan tidak meyakinkan itu, ia berhadapan dengan saya. Setelah diperhatikan benar, tampangnya lebih ke takut daripada marah. Benar, dia trauma. Tanpa menghiraukan gonggongannya saya meraihnya dan memeluknya. Meronta sebentar ingin lari. Tapi lalu diam. Dan… menikmati. "hmmmm, Brutus, Brustus, dasar anjing manja…" Dia akrab dengan saya sampai sekarang. Ia sudah menjadi anjing kecil rumahan yang standar.

Teman saya yang baru pulang dari paroki bercerita tentang seorang ibu berumur 45 tahun. Ibu itu meninggalkan kesan di hatinya. Ia menggambarkan sosok itu pada pertemuan pertama mereka sebagai "cerewet minta ampun, tukang gosip, luar biasa menyebalkannya". Beberapa bulan kemudian tidak ada yang lebih akrab dengan ibu itu daripada teman saya. Semua orang terheran-heran dengan fakta itu. (Teman saya ini sudah diperingatkan oleh banyak umat untuk menjauhi ibu itu karena kelakuannya yang demikian). Faktanya,menurut teman saya, ibu itu kesepian dan hanya ingin didengarkan. Itu saja. Dan teman saya ada di sana untuk dia dengan telinga dan hatinya.

Kadang-kadang begitulah kita. Marah, ngambek, cerewet, gosip, gak mau kerja ini dan itu lagi, berhenti bertanggung jawab, tidak mau terlibat, dst, dst. Bukan karena ada sesuatu yang salah dan karena itu kita berhak marah. Tidak. Ada saatnya kita hanya ingin lebih didengarkan, lebih dihargai dan lebih dimengerti. Ada saatnya kita hanya butuh dipuji. Itu saja.

Sialnya, tidak semua orang peka dengan kebutuhan kita. Lebih sial lagi, kita sudah melukai hati orang padahal itu bukan maksud kita. Yang paling sial dari semua itu, tidak banyak di antara kita yang menyadari alasan (kebutuhan) di balik marah-marah (dst) yang heboh itu.

Berita baiknya adalah bukan cuma kita saja yang marah-marah gak jelas padahal lagi butuh, Brutus juga. Berita buruknya adalah sebaiknya kita sudah mulai harus menyadari kapan kita marah-marah padahal sebenarnya butuh ini-itu. Kalau tidak, kita sama saja dengan Brutus.

Ada yang mau dipanggil Brutus?

Salahkan Gay?

Senin, Juli 28, 2008 0 komentar

Malam minggu yang sempurna? Saya punya kriteria sendiri. Sederhana saja: duduk menyeruput segelas ice cappuccino sambil membaca beberapa terbitan (majalah dan koran) di tempat yang tenang dengan musik mengalun santai. Tidak terburu-buru. Tidak perlu melirik jam di pergelangan tangan setiap beberapa menit sekali. Dunia milik sendiri.

Malam minggu kemarin, karena libur, saya pergi ke Manado (jarak dari rumah kami di Pineleng ke Manado kira-kira sama dengan dari Pluit ke Grogol plus macet-macet dikit). Tujuannya hanya satu: menikmati malam minggu yang (mudah-mudahan) sempurna. Dan memang skenarionya berjalan lancar. Sampai mata saya tertumbuk pada salah satu berita, "Gay rights groups slam media over bias".

Tahukan kasus pembunuh berantai yang sekarang lagi rame diberitakan? Yang pelakunya bernama Very Idam Henyansyah alias Ryan? Yang kebetulan gay?

Nah, berita itu tentang rekan-rekannya yang sama-sama berbeda orientasi seksualnya yang protes kepada media karena pemberitaannya yang bias. Katanya bahwa Ryan adalah pembunuh berantai itu tidak ada hubungan sebab-akibatnya dengan orientasi seksualnya. Menjadi pembunuh itu satu soal, menjadi gay itu soal lain. Sebetulnya protes itu bukan hanya kepada media tetapi juga kepada sejumlah pakar psikologis. Merekalah yang mengemukakan analisis tentang kaitan orientasi seksual dengan tindak pembunuhan itu. Katanya, "gay identik dengan kekerasan" atau begitulah kira-kiranya.

Saya tercenung. Dan lalu marah. Bukan karena protes itu (saya pribadi mendukungnya). Tetapi karena analisa itu. Itu analisa paling payah! Sekaligus paling brutal yang pernah saya dengar! Saya punya beberapa teman dengan orientasi seksual gay dan lesbian. Belum ada masalah kekerasan sejauh ini. Di antara mereka ada pencinta anjing sejati. Nah loh. Gay… pembunuh…. Payah!

Malam minggu yang seharusnya sempurna itu selesai sudah. Dalam perjalanan pulang, dengan kepala yang lebih dingin, saya memikirkan kembali analisa itu. Aha… Sesungguhnya pola pikir para pakar itu tidak jauh berbeda dengan saya. Mungkin juga dengan Anda. Polanya adalah di dalam otak saya sudah tersimpan keyakinan tertentu, dugaan tertentu atau sentimen tertentu terhadap sesuatu atau seseorang. Sehingga kalau ada kejadian, asal vonis saja dulu sama orangnya, sebab dan buktinya dicari belakangan. Mau salah, mau benar, itu nanti. Dengan kata lain, saya sendiripun sudah pernah bikin analisa paling payah dan paling brutal terhadap orang lain. (Mungkin masih sampai sekarang, kadang-kadang). Dan hasilnya: malu! Mau mengaku salah, gengsi. Pilihan paling gampang, ngeles.

Di dalam mobil yang saya tumpangi pulang, terdengar suara Mike Tramp, "when it's time to say goodbye my friend". White Lion, favorit saya. Mungkin memang saya harus mulai mengatakan selamat tinggal pada keyakinan, dugaan dan sentimen tertentu dalam otak saya. Kalau tidak, orang lain jadi korban. Dan saya, jelas, tambah dosa lagi…

CLiGspiration: Bersepeda Bersama Yesus

0 komentar

Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati. Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya.

 

Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda.

 

Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi … biasanya, hal itu tak berlangsung lama. Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya! Terkadang rasanya seperti sesuatu yang 'gila', tetapi Ia berkata, "Ayo, kayuh terus pedalnya!"

 

Aku takut, khawatir dan bertanya, "Aku mau dibawa ke mana?" Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya. Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, "Aku takut!" Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku.

 

Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan … orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan … perjalananku bersama Tuhanku. Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami.

 

Kemudian, Yesus berkata, "Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita." Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.

 

Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh … menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus.

 

Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata … "Mengayuhlah terus, Aku bersamamu."

 

(Dari: Santi Ratna)

Bisa... Tidak Bisa... Bisa... Tidak Bisa...

Jumat, Juli 25, 2008 0 komentar

Saya pernah menghadapi situasi yang rumit. Pusing. Seperti tidak ada jalan keluar. Serba menyakitkan. Bikin stress. Pokoknya, gabungan semua perasaan itulah. Di saat-saat seperti itu, spontan saja, saya berdoa. "Tuhan, tolong saya. Saya tahu bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagimu. Amin."

Akhirnya memang situasi rumit itu terpecahkan. Tidak seketika. Tapi selesai juga, Syukurlah.

Tapi tahukah Anda bagaimana perasaan saya pasca doa spontan itu? Diam-diam, jauh di dalam pikiran, yang entah di mana, saya tidak begitu yakin dengan doa saya. Tidak yakin bahwa Allah bisa menolong saya. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Bahwa problem serumit ini bisa terpecahkan. Tidak yakin saja. Keyakinan saya seperti setrika: bisa… tidak bisa… bisa… tidak bisa… (Pada saat itu saya bingung dengan teman-teman yang (sok) yakin Allah bisa mengatasi semuanya).

Tandanya apa? Sehabis berdoa, perasaan saya biasa saja. Padahal, katanya, sehabis berdoa yang demikian akan muncul perasaan yang optimis sekaligus pasrah: sekarang giliran Allah melakukan bagian-Nya, dan karena Dia Allah, tentu saja, Dia bisa. Habis berdoa itu saya tidak lebih tenang dari sebelumnya. Kayaknya doa yang tadi bukanlah tindakan iman, bukan karena percaya bahwa kepada Allah-lah saya bisa bersandar. Tapi karena memang sudah kebiasaan. Jadi spontan saja, refleks, seperti menarik tangan dari api.

Ternyata itu bukan pengalaman pertama. Pernah seperti itu juga, beberapa kali: diam-diam, tanpa sadar, tidak terlalu yakin itu tadi.

Masalahnya di mana? Belakangan saya baru tahu ada yang namanya self-limiting belief. Terjemahan bebasnya kira-kira: kita sendirilah yang membatasi kepercayaan kita terhadap diri sendiri. Dengan kata lain, sebenarnya kita bisa menyanyi, misalnya, tapi kita terlanjur percaya kalo bakat kita bukan di situ. (Pelampiasannya di tempat karaoke, tapi kalo diminta menyanyi di depan umum, nanti dulu). Dalam kasus saya di atas, saya sendiri yang membatasi kepercayaan saya kepada Allah. Bukan Allah yang tidak bisa dan tidak mau. Faktanya, saya sudah ditolong-Nya dari berbagai peristiwa nyaris. Percaya bahwa di hadapan Allah "impossible is nothing" dibatasi oleh saya sendiri.

Anda punya pengalaman serupa? Menyadari dan mengakuinya saja, itu sudah langkah awal yang baik.

Remember Our Saints: St. Yakobus, Rasul

0 komentar

Hari ini dalam liturgi Katolik ada pesta; Pesta Santo Yakobus, salah satu dari ke-12 rasul, murid-murid pertama Yesus. Siapakah dia?

Yakobus, Putera Zebedeus, seorang nelayan yang berasal dari Betsaida di Galilea. Yesus memanggil Yakobus bersama saudaranya, Yohanes, dan menyebut mereka "anak-anak guruh" karena sifat mereka yang keras dan semangatnya yang berapi-api (Mrk 3:17). Namun Yesus amat menyukai mereka, dan mengistimewakan mereka bersama Petrus di atas rasul-rasul lain. Mereka bertiga itu hadir ketika Yesus menghidupkan Puteri Yairus (Mrk 5:22-43). Mereka bertiga saja yang menyaksikan kemuliaan Yesus di gunung, dan yang paling dekat pada Yesus waktu Ia berdoa di kebun Zaitun. Setelah wafat dan bangkitnya Yesus, Yakobus melanjutkan pewartaan Injil ke mana-mana. Akhirnya, sekitar tahun 42, Yakobus dibunuh dengan pedang atas perintah Herodes Agripa. Rasul Yakobus secara istimewa dihormati di Kompostela di Spanyol.

Berita baik dari kisah Rasul Yakobus ini adalah Tuhan memanggil kita, tidak peduli, bagaimanapun sifat dan kepribadian kita: mau lemah lembut atau kasar, sabar atau emosional, pendiam atau cerewet, asal-asalan atau perfeksionis. Faktanya dengan kepribadian kita yang unik itu Ia menyalurkan kasih-Nya kepada orang-orang lain. Tinggal kitanya sendiri mau jawab "ya" atau "tidak". Selamat berbuat baik hari ini.

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

Belajar Dari Justin Rose

Kamis, Juli 24, 2008 0 komentar

Pernah dengar nama Justin Rose? Hehehehe, saya berani bertaruh jawabannya pasti, tidak! Tidak apa-apa. Saya juga baru tahu ada orang dengan nama seperti ini. Kalau Justin Timberlake, lain ceritanya. Anyway, perkenalkan: Justin Rose, pegolf pro dari Inggris. Jadi, tema kita hari ini golf. Sekalipun saya tidak tahu apa-apa tentang golf. Bukan apa-apa, tidak suka saja. Lagipula mana bisalah saya main golf.

Kalau begitu, apa menariknya si Rose ini (mungkin dia lebih senang dipanggil Justin)? Majalah TIME, 21 Juli 2008, menyajikan kisahnya. (Kalau tadi saya bilang "baru tahu" ya dari TIME ini).

Pada kejuaraan British Open tahun 1998, Justin Rose, yang kala itu baru berusia 17 tahun, mengakhiri kejuaran itu di posisi ke empat. (Itu pencapaian yang gemilang mengingat usianya). Para pengamat, penonton dan pemain lain segera memprediksikan bahwa dia akan menjadi pegolf yang hebat di kemudian hari. Benar? Salah!

Prediksi itu tidak pernah menjadi kenyataan. Setelah Bristish Open yang gemilang itu karirnya terjun bebas: selalu kalah dalam setiap pertandingan yang dimainkan. Dia kemudian menyewa salah seorang ahli teknik golf untuk membantunya melatih ayunan stik golfnya. Cukup? Belum. Pada tahun 2006, dia menempuh langkah yang tidak biasa: menyewa lagi seorang guru spiritual, seorang Buddha. Mengapa? Belajar dari pengalaman, untuk memenangkan suatu pertandingan, teknik yang sempurna saja tidak cukup. Menang juga soal mental. Terlalu banyak tekanan dalam suatu pertandingan: penonton, kamera TV dan para kuli tinta yang mengawasi dengan tatapan tajam. Sudah pasti akibatnya bisa stress, susah konsentrasi, gugup dan cemas. Teknik, sehebat apapun, pada titik itu, lalu tidak lagi berarti apa-apa.

Selidik punya selidik, langkah yang ditempuh Rose dengan guru spiritualnya bukanlah hal baru dalam dunia golf. Beberapa juara dari generasi sebelumnya menempuh cara yang sama. Bahkan juara dekade ini, Tiger Woods. Para pemain besar itu menoleh pada sisi spiritual untuk mendapatkan ketenangan, keyakinan dan kemantapan menghadapi tensi pertandingan.

Sekarang, pada usia 27 tahun, Rose kembali difavoritkan memenangi British Open yang sudah digelar di Birkdale, mulai 17 Juli lalu. Semoga ia menang, saya harap.

Nah, apa pelajarannya untuk kita? Sederhana dan jelas. Soal pekerjaan, kantor dan karir, tingkat stresnya pun tidak main-main. Sudah begitu banyak kali situasi dalam keluarga juga turut menyumbang menaikan tensi. Belum lagi di tempat lain. Macet berjam-jam di jalan, dst, dst.

Harap Anda menoleh ke sisi spiritual untuk mencari ketenangan, keyakinan dan kemantapan dalam menghadapi semua itu. Doa teratur di pagi hari, salah satunya. Cobalah…

Dulu sekali, waktu masih baru sebagai frater, saya memulai hari dengan doa dan Ekaristi hanya karena kewajiban. Sekarang, doa dan Ekaristi pagi sungguh-sungguh menjadi bekal yang cukup untuk memulai hari itu. Tidak berarti tidak ada lagi stress. Hanya saja saya sudah lebih tenang menghadapinya.

Tekanan bisa datang dari berbagai penjuru, tetapi kondisi batin kitalah yang menentukan. Dari mana kita mendapatkan batin yang tenang dan mantap?

Coba deh…

'CLiG-spiration: Alasan di Balik Kegagalan

Rabu, Juli 23, 2008 1 komentar

Bila Anda mencari alasan untuk sebuah kegagalan yang baru dialami, Anda bisa menemukannya. Biasanya dengan mudah. Berjuta-juta pula, jika mau. Namun, alasan tetaplah alasan. Ia takkan merubah kegagalan menjadi keberhasilan. Kerapkali, alasan sama saja dengan pengingkaran. Semakin banyak menumpuk alasan, semakin banyak pengingkaran dalam diri kita. Ini menjauhkan Anda dari keberhasilan; sekaligus melemahkan kekuatan diri sendiri. Berhentilah mencari-cari alasan untuk menutupi kegagalan.

Belajarlah dari penambang yang tekun mencari emas. Ditimbanya berliter-liter tanah keruh dari sungai. Ia saring lumpur dari pasir. Ia sisir pasir dari logam. Tak jemu ia lakukan sampai menemukan butiran emas yang berkilauan. Begitulah semestinya Anda memperlakukan kegagalan. Kegagalan itu seperti pasir keruh yang menyembunyikan emas. Bila Anda terus berusaha, tekun mencari perbaikan di sela-sela kerumitan, serta berani menyingkirkan alasan-alasan, maka Anda akan menemukan cahaya kesempatan. Mencari-cari alasan, sama saja dengan membuang pasir berikut emas yang terkandung di dalamnya.

 

(From: N.N)

Hukum Tabur-Tuai

0 komentar

Dalam bacaan Injil hari ini Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang penabur yang menaburkan benih di berbagai macam lahan: mulai dari tanah subur sampai berbatu-batu dan penuh semak duri (Mat 13:1-9). Kebetulan sekali saya menemukan cerita tentang topik ini. (Kebetulan? Katanya tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, semuanya jalan-jalan Tuhan). Ini ceritanya. Tidak terlalu mengena dengan maksud yang hendak disampaikan Yesus tapi kalau agak dipaksakan dikit boleh jugalah. (Dasar tukang maksa, hehehe).

Pada suatu hari seorang pemuda sedang berjalan di tengah hutan, ketika tiba-tiba ia mendengar teriakan minta tolong. Ia berlari ke sumber suara itu. Ia mendapati seorang pemuda sedang bergumul dengan lumpur yang mengambang, semakin ia bergerak semakin dalam ia terperosok. Dengan sekuat tenaga pemuda pertama tadi menolong pemuda yang lain ini untuk keluar dari hisapan lumpur tersebut. Dan… berhasil. Ia akhirnya dipapah pulang ke rumahnya.

Ternyata rumah si pemuda yang baru ditolongnya ini besar, megah dan mewah. Ayah pemuda ini sangat berterima kasih dan karenanya hendak memberikan sejumlah uang sebagai tanda terima kasihnya. Tetapi sang penolong menolak. Ia berkata sudah selayaknya sesama manusia saling menolong. Sejak kejadian itu terjalinlah persahabatan di antara mereka

Si pemuda pertama adalah seorang yang miskin, sedangkan pemuda kedua adalah seorang bangsawan kaya raya. Seiring berjalannya waktu terungkaplah bahwa ternyata pemuda miskin ini bercita-cita menjadi seorang dokter tapi tidak punya uang untuk membiayai kuliahnya. Untunglah, ayah si pemuda bangsawan ini dengan senang hati member beasiswa kepadanya sampai ia mendapat gelar dokter.

Tebak siapa pemuda miskin yang menjadi dokter ini? Namanya ALEXANDER FLEMING yang kemudian hari menemukan obat Penisilin.

Sementara itu, pemuda bangsawan tadi masuk dinas militer. Dalam sebuah pertempuran di medan perang, ia terluka parah. Lukanya menyebabkan infeksi yang mengakibatkan demam yang sangat yang tinggi. Pada waktu itu belum ada obat untuk menyembuhkan infeksi serupa. Tetapi kemudian para dokter yang merawatnya mendengar tentang Penisilin yang baru saja ditemukan Dr. Fleming. Mereka menyuntiknya dengan obat tersebut. Apa yang terjadi? Berangsur-angsur demam karena infeksi itu reda dan si pemuda akhirnya sembuh.

Tebak lagi, siapa pemuda bangsawan tersebut? Namanya WINSTON CHURCHIL, Perdana Menteri Inggris yang masyur itu.

Jadi, selamat menabur kebaikan hari ini. Dan hari-hari selanjutnya. Kita tidak akan pernah tahu arti kebaikan kita kepada orang lain. Atau seberapa besar efek kebaikan kita itu kepadanya. Yang jelas hanyalah jika kita menabur kebaikan, kebaikan pulalah yang akan kita tuai. Mungkin masih dari orang yang sama yang hari ini kita tolong.

Siapa yang tahu masa depan? Hari ini kita senang, besok belum tentu.

Remember Our Saints: Sta. Maria Magdalena

Selasa, Juli 22, 2008 0 komentar

Ini wanita yang banyak dibicarakan akhir-akhir. Siapa sesungguhnya dia? Apa hubungannya dengan Yesus? Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan kontroversi.

Hari ini Gereja Katolik dalam liturginya memperingatinya sebagai seorang Santa. Ya, hari ini peringatan Santa Maria Magdalena. Sekelumit riwayat tentang sosok kudus ini.

Maria Magdalena dibebaskan oleh Yesus dari pengaruh roh jahat. Ia lalu menjadi murid dan pengikut Yesus, dan hadir ketika Yesus wafat di kayu salib (Mat 27:56). Pada hari Paskah, pagi-pagi buta, Maria Magdalena-lah yang pertama melihat penebus kita, Yesus, yang sudah bangkit dari alam maut (Mat 28:1-8).

Renungan singkat untuk peringatan ini: Kita seringkali mengeluh di bawah beban kelemahan dan kemiskinan kita. Jangan kita lupa bahwa cinta kasih akan Kristus dapat mengubah hidup kita. Kita semua, siapa saja, dipanggil untuk menjadi saksi Kristus yang telah bangkit.

 

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

 

p.s. Remember Our Saints ini akan diposting sesuai dengan hari-hari Orang Kudus dalam Gereja Katolik. Isinya riwayat hidup dan renungan singkat. Tujuannya: (1) menambah pengetahuan kita akan para Kudus tersebut; (2) kita belajar sesuatu dari kisah hidup mereka dan dijadikan pegangan dalam hidup sehari-hari; (3) siapa tahu ada yang sedang mencari nama, pakailah nama Santo-Santa sehingga menjadi pelindung pribadi yang mendoakanmu/nya di surga, daripada nama pemain bola yang kenal pun tidak.

Mengapa Kesepian?

0 komentar

Di Australia, di hadapan ratusan ribu anak muda yang hadir dalam acara akbar World Youth Day, Paus Benedictus XVI memperingatkan bahwa dunia sekarang ditandai konsumtivisme dan pemberhalaan materi di satu pihak dan kekeringan rohani di pihak lain. Dan kekeringan rohani ini semakin meluas. Tanda-tanda kekeringan rohani adalah kesepian yang berkepanjangan, jiwa yang kosong dan kecemasan yang berlebihan.

Mengapa beliau menyinggung dua hal ini (konsumtivisme/pemberhalaan materi dan kekeringan rohani) secara khusus? Tentu saja karena keduanya berkaitan erat. Ada hubungan sebab-akibat: kesibukan memenuhi kebutuhan materi bisa membuat kita mengalami kekeringan rohani. Sederhananya: terlalu sibuk dengan kerjaan, lupa berdoa. Lupa berdoa, jiwa menjadi kering, hidup tidak tahu mau dibawa kemana, gelisah yang aneh dan kesepian yang mendalam entah apa sebabnya. Walaupun saya mengenal banyak orang yang tetap memenuhi kebutuhan materinya tanpa melupakan hubungan dengan Tuhan (Anda salah satunya? Saya harap begitu)

Ngomong-ngomong tentang kesepian, saya yakin kita semua pernah mengalaminya. Tetapi tahukah Anda sebab kesepian itu sendiri? Jawaban standarnya adalah: karena kita sendirian, tidak ada orang lain bersama-sama dengan kita, sunyi senyap, tidak ada yang bisa dikerjakan. Sebetulnya bukan itu sebabnya.

Yang menyebabkan kita kesepian bukanlah tidak ada orang bersama-sama dengan kita (karena itu Ahmad Dhani bisa menyanyi, "di dalam keramaian aku masih merasa sepi). Kita kesepian karena tidak ada seseorang di dalam hati kita. Jadi bukan tidak ada seseorang bersama-sama dengan kita secara fisik, tetapi tidak ada seseorang dalam hati kita. Kita kesepian karena hati kita kosong.

Coba, ingat-ingat lagi saat Anda kesepian… Tidak ada dia di samping atau tidak ada dia di dalam hati?

Saudara-saudariku yang terkasih, ini menjelaskan kesepian rohani yang mendalam dan kegelisahan aneh yang bisa kita rasakan. Bukan karena tidak ada Tuhan di sisi kita—faktanya, kita sudah sama-sama tahu, Dia selalu ada untuk kita. Tetapi karena tidak ada DIA di hati kita. Kita gelisah karena yang ada di hati kita hanyalah kapan bisa beli ini dan itu, kapan bisa pergi ke sana dan ke situ, kapan bisa punya ini dan itu, dst, dst. Kita gelisah karena yang ada di hati kita hanyalah "buka internet dan pelototin situs-situs hemat suara dan pakaian". Kita gelisah karena semua kesenangan duniawi ada di dalam hati kita, kecuali Tuhan.

Tuhan ada di mana-mana, kecuali di dalam hati kita. Bukan DIA yang memilih untuk tidak ada di sana. Kita sendirilah yang memilih menyingkirkan-Nya dari sana.

Masih bingung mengapa Anda bisa kesepian dan gelisah?

'CLiG-spiration: "Who is our garbage truck?"

Senin, Juli 21, 2008 0 komentar

One day I hopped in a taxi and we took off for the airport. We were driving in the right lane when suddenly a black car jumped out of a parking space right in front of us. My taxi driver slammed on his brakes, skidded, and missed the other car by just inches! The driver of the other car whipped his head around and started yelling at us. My taxi driver just smiled and waved at the guy. And I mean, he was really friendly. So I asked, 'Why did you just do that? This guy almost ruined your car and sent us to the hospital!'

This is when my taxi driver taught me what I now call, 'The Law of the Garbage Truck.' He explained that many people are like garbage trucks. They run around full of garbage, full of frustration, full of anger, and full of disappointment. As their garbage piles up, they need a place to dump it and sometimes they'll dump it on you. Don't take it personally. Just smile, wave, wish them well, and move on. Don't take their garbage and spread it to other people at work, at home, or on the streets.

The bottom line is that successful people do not let garbage trucks take over their day. Life's too short to wake up in the morning with regrets, so.... 'Love the people who treat you right. Pray for the ones who don't.' Life is ten percent what you make it and ninety percent how you take it! Life might not be the party we hoped for but while we're here.. we might as well dance...

(From: Isabe Gomulya)

Malaikat Pelindung

0 komentar

Saya baru saja menemukan sebuah cerita sederhana nan menarik. Sebetulnya untuk ibu-ibu. Tetapi tidak apa-apa jika Anda juga membacanya. Karena Anda punya ibu atau akan menjadi ibu atau punya seseorang yang menjadi ibu untuk anak-anakmu atau akan punya seseorang yang akan menjadi ibu untuk anak-anakmu. Begini ceritanya.

Suatu ketika, ada seorang bayi yang siap dilahirkan ke dunia. Maka ia bertanya kepada Tuhan, "Ya Tuhan, Engkau akan mengirimku ke bumi. Tapi, aku takut, aku masih sangat kecil dan tak berdaya. Siapakah nanti yang akan melindungiku di sana?" Tuhan pun menjawab, "Di antara semua malaikat-Ku, Aku akan memilih seorang khusus untukmu. Dia akan merawatmu dan mengasihimu". Si kecil bertanya lagi, "Tapi di sini, di surga ini, aku tidak berbuat apa-apa kecuali menyanyi dan tersenyum. Semua itu sudah cukup membuatku bahagia". Tuhan menjawab, "Tak apa, malaikatmu itu akan selalu mendendangkan lagu untukmu dan dia akan membuatmu tersenyum setiap hari. Kamu akan merasakan cinta dan kasih sayang, dan itu pasti akan membuatmu bahagia". Namun si kecil bertanya lagi, "Bagaimana aku bisa mengerti bahasa mereka jika aku tak tahu bahasa yang mereka pakai?"

Tuhanpun menjawab, "Malaikatmu akan membisikkan kata-kata yang paling indah, dia akan selalu sabar ada di sampingmu, dan dengan kasihnya dia akan mengajarkanmu berbicara dengan bahasa manusia". Si kecil bertanya lagi, "Lalu bagaimana jika aku ingin berbicara dengan-Mu, ya Tuhan?" Tuhanpun menjawab, "Malaikatmu itu akan membimbingmu. Dia akan menengadahkan tangannya bersamamu dan mengajarimu berdoa". Lagi-lagi si kecil menyelidik, "Namun aku mendengar di sana ada banyak sekali orang jahat. Siapa nanti yang akan melindungiku?"

Tuhanpun menjawab, "Tenang, malaikatmu itu akan terus melindungimu walaupun nyawa yang menjadi taruhannya. Dia akan sering melupakan kepentingannya untuk keselamatanmu". Namun si kecil kini malah sedih, "Ya Tuhan tentu aku akan sedih jika tak melihat-Mu lagi." Tuhan menjawab lagi, "Malaikatmu akan selalu mengajarkan keagungan-Ku dan dia akan mendidikmu, bagaimana agar selalu patuh dan taat kepada-Ku. Dia akan membimbingmu untuk selalu mengingat-Ku. Walau begitu Aku akan selalu ada di sisimu".

Hening. Kedamaian pun menerpa surga. Namun, suara-suara panggilan dari bumi terdengar sayup-sayup. "Ya, Tuhan, aku akan pergi sekarang, tolong sebutkan nama malaikat pelindungku," pinta si kecil. Tuhan pun kembali menjawab, "Nama malaikat pelindungmu itu tidak begitu penting. Kamu akan memanggilnya dengan sebutan: Ibu…"

Sebetulnya saya ingin menutup tulisan ini dengan pertanyaan standar macam: sudahkah Anda menjadi malaikat pelindung bagi buah hati Anda? Tetapi itu tidak saya lakukan. Karena saya yakin Anda pasti sudah berusaha semaksimal mungkin.

Atau, jangan-jangan, saya salah?

Doa Tidak Terkabul?

Jumat, Juli 18, 2008 1 komentar

Beberapa bulan terakhir ini saya punya jawaban ampuh nan praktis kalau orang bertanya kepada saya, "mengapa doa saya tidak dikabulkan Tuhan?". Padahal, sambungnya, bla-bla-bla.

Begini biasanya saya menjawab, "diperkirakan bahwa jumlah penduduk dunia sekarang sudah menyentuh angka 6,5 milyar, kurang lebih. Menurut laporan terakhir 17,4 % di antaranya adalah kita umat Katolik. Jika semua umat Kristen diperhitungkan persentasenya adalah 33 %. Dalam hal doa, belum pernah dilaporkan dalam sehari berapa persen dari 6,5 milyar (atau minimal dari 17,4 % atau 33 %) itu yang berdoa memohon sesuatu kepada Tuhan. Yang pasti bukan hanya kita yang berdoa. Jadi kalau doa kita belum juga dikabulkan Tuhan, mungkin Dia sedang sibuk mengurusi kebutuhan orang lain yang sudah sangat mendesak. Mungkin kebutuhan kita tidaklah semendesak dia. Berbaik hatilah. Berikan kesempatan untuk orang lain yang lebih membutuhkan. Siapa tahu orang lain itu anggota keluarga kita sendiri".

Biasanya juga, orang yang saya beritahu suka senyum-senyum sendiri. Mungkin maksudnya "benar juga ya, kok saya gak pernah kepikiran kayak gitu ya".

In case kalau Anda bertanya menyelidik "masa sich begitu?", saya punya jawaban berikutnya, "penjelasan yang di atas itu murni karangan saya. (Saya berdosa, saya berdosa, saya sungguh berdosa). Tidak ada dasarnya dalam Kitab Suci".

Kalau begitu adakah Kitab Suci menyediakan jawaban untuk pertanyaan itu? Ada. Coba buka Kitab Suci. Lihat Surat Yakobus pasal 4 ayat 3, "Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu".

Maksud St. Yakobus kira-kira begini: berdoa mohon kelancaran usaha tetapi uang yang akan didapat akan dipakai untuk berjudi atau membiayai selingkuhan. Dengan kata lain, yang penting dalam berdoa bukan hanya kata-katanya dan teratur atau tidaknya kita berdoa. Tujuan dari doa kita juga penting. Kalau Tuhan mengabulkan doa kita, terus apa sesudahnya? Kalau usaha kita lancar, terus uangnya mau dipakai buat apa?

Jadi, kalau Anda berdoa dan tak kunjung dikabulkan juga, coba, periksa deh tujuannya. Bisa jadi doanya sudah bagus dan benar. Eh, niat dan tujuannya yang tidak benar.

Karena itu jangan heran kalau Tuhan lebih mendahulukan orang lain dari populasi 6,5 milyar atau 33 % itu. Hehehehe, tetep.

Seperti Minum Obat

Kamis, Juli 17, 2008 2 komentar

Obat itu tidak menarik. Saya tidak suka minum obat. Bahkan sudah seusia ini; usia di mana seharusnya melakukan sesuatu karena penting atau tidak penting, bukan suka atau tidak suka. Alasannya sederhana: pahit. Sebisa mungkin saya menghindari obat. Hanya kalau terpaksa dan tidak ada pilihan lain. Itupun belum pernah sampai habis. Lagi pula tidak semua sakit harus disembuhkan dengan obat, itu prinsip saya. Tubuh bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Dan saya keukeuh dengan prinsip itu. Padahal sebenarnya ya itu tadi, obatnya pahit. Akibatnya, waktu penyembuhan menjadi lama: satu hari menjadi seminggu. Terbuang sia-sialah banyak hal. Diam-diam saya selalu berharap agar orang-orang farmasi mengubah semua rasa obat menjadi lebih menarik di lidah: coklat kek misalnya, atau apalah.

Kalau dipikir-pikir, membaca Kitab Suci, sama kasusnya dengan saya dan obat. Hanya kalau mendesak dan tidak ada pilihan lagi, barulah Kitab Suci dibaca (syukurlah akhirnya dibaca). Katanya Kitab Suci itu susah dan tidak menarik sebagai bahan bacaan (coba kalo ditulis dengan gaya Cosmopolitan?).

Saya selalu suka mengatakan dalam banyak kesempatan kalau ciri orang Katolik "sejati" adalah yang memerlukan waktu 20-30 menit untuk menemukan satu perikop. Dan Kitab Sucinya tetap kelihatan baru, halaman-halamannya masih nempel satu sama lain, padahal dibeli 3 tahun lalu.

Saya ingin membentangkan fakta ini. Ada saat-saat di mana kita sungguh-sungguh sakit (baca: bermasalah dengan Tuhan). Tidak mengerti kehendak-Nya, tidak tahu apa mau-Nya, bingung dengan rencana-rencana-Nya untuk hidup kita, dst, dst. Ditambah lagi dengan bingung menjawab pertanyaan orang lain tentang ini dan itu sehubungan dengan Kitab Suci. Dan ada saatnya "sakit" kita di atas bisa begitu lama. Berhari-hari, berbulan-bulan. Bisa tahunan. Padahal sesungguhnya bisa lebih cepat dari itu penyembuhannya.

Caranya? Ya itu tadi, baca Kitab Suci. Bukan hanya ketika terpaksa dan mendesak. Tetapi teratur. Karena kita tidak mungkin bisa mengetahui siapa Dia dan kehendak-kehendak-Nya jika kita tidak membaca Kitab Suci. Dia dan rancangan-rancangan ada di dalam Kitab Suci.

Ayo, sisihkan waktu sehari, 10 menitlah minimal untuk membaca Kitab Suci. Pada akhirnya membaca Kitab Suci bukan soal suka atau tidak suka. Ini sudah soal penting atau tidak penting. Kitab Suci penting untuk jiwa kita.

Flash But (Maybe) Important

Rabu, Juli 16, 2008 0 komentar

Suatu malam di sebuah rumah sakit. Beberapa bulan yang lalu. Kebetulan saya sedang menjenguk seorang umat yang terbaring sakit ketika telpon saya berdering. Dari teman saya.

"Ter, mau tanya dunk?"

"Apa?"

"Kenapa sich kita mesti ngalamin kejadian pahit yang sama dua kali? Apa maksud Tuhan?"

Saya tidak ingat lagi jawaban saya malam itu. Yang saya ingat hanyalah jawaban itu tidak memuaskan hatinya. Seingat saya juga, saya berjanji untuk mencari jawaban yang lebih meyakinkan—janji yang tidak pernah saya tepati (sori ya).

Lima hari yang lalu, di siang hari, telpon saya berdering. Ketika itu saya di kamar. Sedang membaca. Dari teman saya. Tebak siapa? Siapa lagi?

"Ter, masih ingat gak saya pernah nanya ama frater kenapa Tuhan ngasih kejadian pahit yang sama ampe dua kali?"

"Masih". Saya baru ingat lagi janji saya kepadanya. Dan, sialnya, saya belum tahu jawabannya. "Kenapa?"

"Saya udah ketemu jawabannya!"

"O ya? Apa?

"Sebenarnya Tuhan ingin nyampein sesuatu ke kita di kejadian pertama. Tapi karena kita gak nangkep maksud-Nya, Dia ngasih lagi kedua kali kejadian yang sama".

Suaranya kedengaran puas dan yakin. Saya tahu saya tidak perlu lagi menepati janji saya.

Verse of the day

0 komentar

Menunggu Terluka

Selasa, Juli 15, 2008 0 komentar

Dia terbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit. Kurus kering. Saya menjenguknya persis ketika ia baru saja mendengar vonis dokter. "Kamu mengidap kanker paru-paru". Dia, teman saya, seorang konsumen rokok kelas berat.

"Kamu gak baca peringatan yang tertulis di samping bungkusnya?" tanya saya. Kendati saya tahu pertanyaan ini sudah sangat terlambat. Juga bodoh. Tapi tidak ada bahan percakapan waktu itu. Apa boleh buat.

"Baca sih. Cuman…"

"Cuman?"

"Saya udah lama sekali memutuskan untuk berhenti membaca dan meneruskan merokok". Matanya menerawang. "Tapi sekarang saya mau berhenti merokok".

"Kenapa mesti menunggu sampai separah ini ya?"

Tidak ada jawaban. Kami berdua terdiam. Lama. Sampai saya mengalihkan pembicaraan. Tidak ada gunanya menghakiminya (lagi) dengan banyak pertanyaan bernada menyalahkan, sejumlah nasehat dan khotbah. Vonis itu hakimnya.

Konon katanya, kita berubah ke arah yang lebih baik ketika terjadi satu dari 3 hal ini: kita cukup terluka sehingga terpaksa berubah, kita cukup belajar sehingga mau berubah, atau kita cukup menerima sehingga dapat berubah. Sampai sekarang belum ada survei yang menunjukkan alasan mana (cukup terluka, cukup belajar, cukup menerima) yang lebih dominan yang melatari kita untuk berubah. Tetapi dari banyak pengalaman pribadi dan cerita orang lain (salah satunya teman saya di atas), alasan pertamalah yang sering membuat kita berubah. Bahwa kita berubah karena cukup terluka. Terluka bisa berarti sakit, bercerai, kecelakaan, dipecat, bangkrut, dan seterusnya, dan seterusnya.

Yang saya tidak habis pikir adalah mengapa kita, kadang-kadang, mesti sampai terluka dulu baru mau berubah ya? Heran. Masih lumayan kalau lukanya ringan. Kalau lukanya berat atau malah keburu meninggal? Paling tidak selalu ada sisi positifnya yang bisa disyukuri, "syukurlah ada pengalaman pahit seperti itu sehingga kita berubah".

Oh ya, tahukah Anda apa yang lebih mengherankan lagi? Ini: ada orang yang sudah terluka sedemikian rupa tetapi tetap keras kepala dan tidak mau berubah. Masih petantang-petenteng. Hmmmmm….. harap itu bukan Anda.

The Pursuit of Happiness

Senin, Juli 14, 2008 2 komentar

Pada halaman dalam The Jakarta Post kemarin (13/07) tertera judul besar yang menarik perhatian, The world is becoming a happier place: Study. Kepala beritanya demikian:

The world is becoming a happier place, a study published in this month's Perspectives of Psychological Science shows.

Saya menyingkat saja berita yang panjang itu. Penelitian yang dilakukan di sejumlah besar negara menunjukkan adanya peningkatan kebahagiaan. Apa sebab peningkatan itu?

Economic growth, democratization and tolerance are strongly linked with happiness… Democracies are significantly happier than non-democratic countries; prosperous countries tend to be happier than poor countries; and tolerant people—even intolerant people living in tolerant society—tend to be happier.

Paragraf terakhir dari berita itu menyajikan kesimpulan sekaligus pesan tersembunyi dari penelitian:

The result clearly show that the happiest societies are those that allow people the freedom to choose how to live their lives…

Saya berharap Indonesia juga termasuk yang diteliti, ternyata tidak! Jadi, tidak jelas bagaimana tingkat kebahagiaan Indonesia. Tapi tidak perlulah kita memikirkan tingkat kebahagiaan 200-an juta orang. Saya tahu memikirkan pekerjaan hari ini saja, barangkali, sudah pusing. Jadi, mari memeriksa diri sendiri saja.

Bahagiakah Anda? Bahagiakah pasangan Anda? Bahagiakah anak-anak Anda? Bahagiakah orang tua Anda?

Saya ketemu dengan banyak orang yang kelihatannya bahagia, dan karena itu saya kira bahagia, ternyata tidak! Saya salah menebak. Benar, tampang bisa menipu. Saya ketemu dengan banyak anak yang riang gembira, pasti bahagia? Tidak juga. Sebagian menderita tekanan batin yang luar biasa; tekanan dari keluarganya, dari orang tuanya. Apa sebabnya? Persis kebalikan dari kesimpulan di atas: mereka yang tidak bahagia, paling tidak yang saya temui, adalah mereka yang tidak diijinkan memilih sendiri bagaimana ia hidup, bersekolah, kuliah, menjalani karir dan memilih pasangan hidup. Mereka tidak bebas memilih! Padahal kebebasan, jika diberikan, akan menimbulkan tanggung jawab.

Pernah nonton The Pursuit of Happyness? Itu film yang dibintangi oleh Will Smith dan anaknya. Film favorit saya. Salah satu adegan yang paling saya sukai (saya memutar adegan ini berulang-ulang) adalah ketika Will Smith menasehati anaknya demikian, "Jangan biarkan seseorang mengatakan kau tidak bisa melakukan sesuatu. Bahkan saya, ok? Jika ingin sesuatu, kejarlah".

Orang mengejar kebahagiaan. Anda mengejar kebahagiaan. Anak-anak Anda juga mengejar kebahagiaan. Soalnya tinggal, apakah kita bebas mengejarnya? Apakah mereka bebas mengejarnya?

Bahagiakah Anda?

Berdoalah

Jumat, Juli 11, 2008 0 komentar


"Berdoalah saudaraku, sekarang, untuk maksud apapun yang ada di dalam pikiran dan hatimu ... Semoga Ia mengabulkannya".

Keledai

Kamis, Juli 10, 2008 0 komentar

Ini cerita favorit saya. Alkisah, seorang ayah dan anaknya sedang menuju kota dari sebuah desa kecil. Perjalanannya cukup panjang, dan butuh waktu tiga jam, dengan berjalan kaki. Sayang, mereka hanya punya seekor keledai.

Mulanya, ayah dan anak naik keledai bersama-sama. Ketika melewati sebuah kampung, mereka diejek penduduk kampung. Mereka dianggap kejam, tak berperasaan, tega menyiksa keledai. Terpaksa sang ayah turun, berjalan kaki sambil menuntun keledai. Ketika melewati kampung kedua, kembali mereka diejek warga kampung. Sang anak dikatakan sungguh durhaka dan tak tahu sopan santun, karena membiarkan ayahnya yang sudah tua berjalan kaki. Sementara ia sendiri enak-enak naik keledai.

Sang anak yang merasa tak enak hati akhirnya turun dari keledai dan bertukar posisi dengan ayahnya. Begitu melewati kampung ketiga, mereka diejek lagi. Giliran sang ayah dikatakan kejam, tak memiliki perasaan dan egois karena tega membiarkan anaknya yang masih kecil, kelelahan berjalan.

Ayah dan anak menjadi serba salah. Setelah berunding di tepi jalan, mereka berdua memutuskan akan jalan kaki saja sambil menuntun keledai. Ternyata tak manjur juga. Di kampung berikutnya, mereka malah ditertawakan dan dianggap bodoh. Punya keledai tapi tidak dimanfaatkan.

Silahkan memetik pelajaran dari cerita di atas. Saya menawarkan salah satunya. Dalam tiap bagian hidup kita, keluarga, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pelayanan, di mana saja selalu saja ada apa yang saya sebut (berdasarkan cerita itu) "keledai".

"Keledai" berarti situasi/peristiwa/benda/orang yang awalnya kelihatan akan sangat membantu. Tetapi seiring waktu malah berubah menjadi kerikil. Belakangan, batu sandungan. Ujung-ujungnya hujan batu yang menghancurkan kehidupan pribadi, karir dan relasi Anda. Soalnya memang, susah melacak sejak awal: ini/itu, dia/mereka ini akan menjadi "keledai" atau bukan? Hmmmm…..

Ngomong-ngomong, adakah "keledai" dalam hidup Anda? Sekarang?

High Heels

Rabu, Juli 09, 2008 3 komentar
Sewaktu mengatakan kepada seorang teman kalau saya ingin menulis tentang high heels, komentarnya singkat, "frat, frater itu frater, bukan penulis mode". Menyebalkan. Tapi dia 100 % benar. Hanya saja saya benar-benar ingin menulis tentang perlengkapan wanita yang satu ini yang katanya, "bisa membuat wanita merasa lebih cantik, seksi dan percaya diri".

Mengapa? Saya tinggal di Manado. (Well, bukan di Manado pusat kota, agak di pinggiran tepatnya). Seingat saya dua tahun yang lalu sepatu model ini hanya dikenakan dalam acara-acara besar semacam resepsi perkawinan. Jarang sekali dipakai ketika jalan-jalan di mall atau di pusat-pusat perbelanjaan sejenisnya. High heels, 2 tahun lalu di Manado, bukanlah pelengkap dandanan harian seorang wanita. Sekarang? Anda pasti bisa menebak. Wanita dengan high heels adalah pemandangan biasa. Saya tidak tahu pasti kapan tren ini mulai. Karena sejak akhir 2006 sampai pertengahan 2008 saya bertugas di luar Manado.


"Frat, desain untuk iklan itu mestilah kreatif, out of the box. Contoh, untuk menerangkan bahaya high heels pada tubuh seorang wanita gak usah berpanjang-panjang dengan kata-kata kayak peringatan bahaya merokok di bungkus rokok. Pasang aja gambar high heels tapi alasnya tu paku-paku tajam yang bermunculan bagian runcingnya," begitu kata teman saya suatu malam di tengah diskusi kami tentang tugas akhir kuliahnya.


O ok. Jadi high heels itu sebenarnya berbahaya bagi tubuh wanita. Beberapa artikel di majalah wanita, yang saya temukan, membenarkan hal itu: high heels berbahaya untuk wanita!


Nah, sampai di sini saya mulai heran. Jelas-jelas sepatu model ini berbahaya tapi sampai sejauh ini, minimal sejauh yang saya tahu, belum ada laporan yang menyebutkan bahwa angka penjualan high heels merosot tajam. Belum pernah. (Kalau anda pernah membacanya tolong forward ke alamat email saya: arismsc@gmail.com). Di Manado jadi tren. Kok bisa? Beberapa teman saya berkilah, "cantik 'kan ada harganya frater. Badan korban dikit gak papalah".


Saya sering dicurhati tentang betapa tidak adilnya Tuhan, mengapa Dia berbuat begini dan begitu, mengapa Dia mengijinkan penderitaan atau membiarkan penderitaan terjadi, dst, dst. Pokoknya saya sering mendengar orang mengeluh tentang Tuhan dan niat mereka untuk berhenti berharap kepada Tuhan.


Tahukah anda apa yang ada dalam pikiran saya demi melihat tren high heels di satu sisi dan ingat curhat orang tentang Tuhan di sisi lain? Ini: mengapa orang tidak gampang mengeluh ketika menderita karena high heels? Tetapi mengapa orang suka mengeluh dan mengecam Tuhan ketika menderita karena sebab-sebab lain?


Mungkin jawabannya: karena penderitaan yang katanya "diijinkan atau dibiarkan" Tuhan itu tidak membuat orang tambah cantik atau tambah ganteng. Padahal bukan hanya cantik atau ganteng saja yang ada harganya, beriman juga. Serius!

Opa Palit

Selasa, Juli 08, 2008 1 komentar

Nama lengkapnya Romo Julius Palit MSC. Tetapi para frater di Skolastikat MSC (baca: tempat pembinaan calon imam MSC) di Pineleng, Manado, biasa memanggilnya dengan sebutan "Opa Palit". Bukan hanya karena usianya (60-an tahun) yang membuatnya layak menyandang sebutan itu. Bukan pula karena rambutnya yang mulai didominasi oleh warna putih keperakan (saya belum pernah melihatnya mencoba produk penghitam rambut).

Ia disapa "opa" karena cintanya kepada frater-frater. Persis seperti seorang opa yang peduli pada cucu-cucunya. Beliau ekonom kami (bendahara, istilah populernya). "Opa tidak pelit soal keuangan," begitu kesaksian banyak frater. Baru beberapa hari yang lalu dekan (pemimpin para frater) mengumumkan ini di meja makan, "setiap frater wajib membuat daftar inventaris barang-barang pribadi. Tujuannya jika ada frater yang kekurangan, semisal baju atau celana, akan dilengkapi". Saya tahu pastilah dilengkapi. Tiga tahun yang lalu ketika kekurangan celana panjang, saya mengeluh kepada Opa di kamar kerjanya. "Saya butuh satu potong celana panjang". Beliau membuka laci mejanya, mengeluarkan uang, memberikan pada saya dan "belilah dua potong". Ahh, opa, opa…

Cerita lain lagi tentang beliau: kebijaksanaannya. Suatu sore pada hari sabtu, 4 tahun yang lalu. Beliau rupanya tidak sengaja mendengar percakapan satu-dua frater, "Ntar malam minggu mau ngapain ya….?"

Beberapa hari kemudian, ketika memimpin misa pagi beliau menyinggung ini dalam kotbahnya. "Saya heran sama frater-frater. Jelas-jelas statusnya frater, tidak boleh pacaran, tapi masih juga bingung kalo malam minggu tiba". Seingat saya kami semua yang mendengarnya tersenyum. Malu, sebenarnya. Merasa tersindir. Tapi tidak tersinggung dan lalu defensif. Begitulah Opa. Nasehat dan tegurannya kena tanpa harus menyingggung perasaan orang.

Saya pribadi menangkap tegurannya itu sebagai peringatan, "tidak usah pusing dengan apa yang seharusnya tidak perlu dipusingkan". Opa benar. Dalam banyak hal dan kejadian yang memusingkan dan bikin stress, kalau dipikir-pikir, ternyata kita sendiri yang ingin dipusingkan dan ingin dibikin stress. Kita sendiri yang memilih untuk pusing, sakit kepala dan stress. Padahal itu sama sekali bukan urusan kita, karena pilihan hidup kita.

Kemarin sore (07/07), sekitar pukul 17.15 WITA, beredar kabar "Opa Palit meninggal". Requiescat In Pace. Beristirahatlah dalam damai, Opa…

Malpraktik

Senin, Juli 07, 2008 0 komentar

"Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu" (Mat 20:25-26a)


Pernah baca Blink? Itu buku karangan Malcolm Gladwell. Bestseller internasional. Anda bisa menemukan di toko buku, di counter bestseller. Saya yakin Anda pernah membacanya sepintas (paling tidak judulnya). Banyak hal menarik (baik fakta maupun buah pikirnya sendiri) di dalamnya. Ya, ya, ya, bukankah itulah artinya bestseller internasional?


Salah satu fakta, yang saya bilang menarik tadi, yaitu penelitian kasus-kasus malpratik kedokteran di Amerika Serikat. Pertanyaan kuncinya adalah jika terjadi malpraktik apakah akan diikuti dengan tuntutan oleh pihak korban terhadap dokter bersalah? Data yang ditemukan menyajikan jawaban aneh: TIDAK!!! (Aneh karena ini Amerika Serikat, negara di mana tuntut menuntut di pengadilan itu hal biasa. Karena itu, konon katanya, jumlah lawyer berlimpah di sana).


Gugatan pengadilan terhadap malpraktik ada memang. Hanya saja gugatan yang didaftarkan itu hampir tidak ada kaitannya dengan malpraktik. Analisis terhadap berkas perkara menunjukkan ada dokter yang sangat terampil sering diperkarakan, sementara ada dokter yang sering melakukan kesalahan justru tidak pernah digugat. Dengan kata lain, jika ada gugatan maka itu bukan karena mereka telah dirugikan oleh pelayanan medik yang buruk. Pasien memerkarakan dokter karena sesuatu yang lain. Apakah sesuatu yang lain itu?


Sepele sebenarnya: cara mereka dilayani oleh sang dokter di tingkat pribadi. Simak penuturan Alice Burkin, pengacara terkemuka bidang malpraktik kedokteran, yang diwawancarai si Gladwell. "Orang cenderung tidak menuntut dokter yang mereka sukai. Selama sekian tahun dalam bisnis ini, saya tidak pernah didatangi seseorang yang berkata, 'saya suka sekali dokter ini, dan saya merasa berat melakukannya, tapi saya terpaksa menuntutnya'. Tapi yang berikut ini sungguh terjadi, yakin orang datang mengatakan ingin menggugat seorang spesialis. Dalam hal ini kami mengatakan, 'Menurut kami bukan dokter ini yang ceroboh. Dokter umum yang pertama kali memeriksa Anda-lah yang salah'. Dan klien kami ini akan berkata, 'Saya tidak peduli kalaupun ia salah. Saya suka kepadanya, dan saya tidak akan menuntutnya".


Dokter yang salah tetapi tidak pernah dituntut adalah mereka yang memberi perhatian lebih dan menghargai pasien sebagai manusia. Pokoknya mereka yang punya hati untuk pasien. Sampai di sini Gladwell melanjutkan dengan kajiannya. Sementara saya ingin menarik pelajaran berharga dari hasil penelitian ini. (Anda pun silahkan saja jika ingin mengambil maknanya).


Pelajaran apa? Kita berurusan dengan banyak orang. Itu pasti. Taruhlah di kantor. Mungkin Anda pemimpin perusahaan. Jika tidak, sekurang-kurangnya ada posisi yang lebih rendah daripada kita. Anda punya bawahan. Soalnya lalu bagaimana relasi Anda dengan mereka? Pelajaran yang bisa ditarik dari fakta malpraktik itu adalah perhatian dan penghargaan yang Anda berikan selama ini kepada mereka tidak akan berakhir sia-sia. Cinta mereka akan menyelamatkan Anda di saat-saat sulit. Itu kalau selama ini relasi jenis itulah (perhatian, penghargaan dan perlakuan sebagai manusia) yang Anda bangun. Coba, bayangkan kebalikannya! Kita tidak selalu berada di atas, bukan?


Lagi pula love don't come easily. Setuju. Karena itu mesti di"datang"kan melalui perhatian dan penghargaan.