Detil dari Manager Pewarna Rambut

Minggu, Mei 30, 2010

Sabtu (29/05), saya mengikuti seminar sehari yang menghadirkan James Gwee sebagai pembicara utama.

"So, who should attend: business owners, top managers, sales people... Everybody will learn something". Begitu janji pak James dalam iklan radio yang saya dengar.

Jadi, biarpun saya bukan sales people, bukan pula top managers apalagi business owners, saya tetap menghadiri seminar public speaking itu. Bagian "Everybody will learn something" itulah yang membuat saya memutuskan mendaftar.

Maka jadilah, kemarin, saya berada sendirian di antara 300-an orang (kebanyakan sales people) yang mengurusi bermacam ragam bisnis di Manado dan Gorontalo.

Saya benar-benar sendirian. Saya berharap akan bertemu dengan orang-orang yang saya kenal atau yang mengenal saya, ternyata tidak. Tetapi peduli amat. Ini bukan sesi curhat. Ini seminar. Saya sedang menambah ilmu cuap-cuap di depan orang banyak. Kadang-kadang, mencari pengetahuan (dan pengalaman) sama seperti meninggal: sendirian.

Di sebelah saya duduk seorang manager produk pewarna rambut. Seorang pria gagah di usia 30-an. "Saya belum lama pindah. Baru setahun setengah. Sebelumnya di farmasi" begitu akunya.

Tetapi sekalipun "belum lama pindah", dia membukukan prestasi yang tidak main-main: best selling product se-Indonesia.

"Rahasianya apa?" tanya saya, penasaran.

"Tetapkan dulu tujuan. Maunya apa dengan bisnis itu. Setelah itu ambil tindakan-tindakan supaya tujuan itu tercapai. Perhatikan detil-detilnya. Satu saja detilnya tidak jalan, tujuan pasti tidak tercapai" jelasnya.

Benar kata orang, the devil is in the details. Iblis itu adanya di detil-detil. Agak mirip dengan tujuan besar hidup kita: masuk surga. Kelakuan harian kita adalah detil-detilnya. Mengutip manager handal itu, "Satu saja detilnya tidak jalan, tujuan pasti tidak tercapai".

Agak mirip pula dengan tujuan perkawinan: kebahagiaan. Tindak-tanduk suami-istri setiap hari terhadap satu sama lain adalah detil-detilnya. Mengutip manager handal itu …

Agak mirip pula dengan … (Anda bisa mengisinya sendiri). Mengutip manager handal itu …

Seminar sehari itu benar-benar memuaskan. Ilmu cuap-cuap bertambah. Pelajaran hidup pun datang. Pembicaranya utamanya hebat. (Kenapa saya kedengaran seperti orang-orang sales ya?).

Malaikat Pelindung


Manado, Kamis (27/05), pukul 16.45 WITA. Saya tengah duduk di dalam angkutan umum ketika hujan tiba-tiba saja turun mengguyur. Padahal cuaca sebetulnya tidak memperlihatkan tanda-tanda barang setitik pun. Hujan, kadang-kadang, memang turun begitu saja. Tanpa isyarat. Tanpa tanda. Serba tiba-tiba.

Lalu, di tengah guyuran hujan itu, melintaslah, di sisi kiri saya, ibu yang mendorong seseorang di atas kursi roda, berusaha mencari tempat berteduh. Tidak begitu jelas, adakah mereka ibu dan anak. Yang pasti, saya menyebut mereka: malaikat pelindung dan dia yang harus dilindungi.

Saya membawa kamera. Payung tidak. Andai saya membawa payung…

P.S: Selamat Hari Raya Tritunggal Maha Kudus, Satu Allah Tiga Pribadi yang mencintai dan melindungi kita sekalian.

Ternate: Seri Ketujuhbelas

Senin, Mei 24, 2010

Seri ketujuhbelas: Di balik layar

Sejak menginjakkan kaki di Ternate, Maluku Utara sana, saya sudah berencana akan menuliskan pengalaman-pengalaman rohani yang saya peroleh dan hal-hal remeh-temeh lainnya. Tetapi saya tidak berencana akan menulis sepanjang ini, sampai seri keenambelas dan masih bergenit-genit ria pula dengan seri ketujuhbelas.

Awalnya saya hanya ingin menulis paling tidak 3 tulisan saja. Tetapi begitulah. Ternyata bukan hanya gosip yang bisa ditambah-tambahkan di tengah-tengah.

Tanggapan-tanggapan dari Anda, baik melalui email maupun blog, adalah salah satu faktor yang membuat saya bersemangat untuk berpanjang-panjang. Terima kasih banyak.

Dari semua tanggapan itu, ada yang sama sekali tidak saya duga, bahkan membayangkannya saja pun tidak!

Tulisan saya di 'Seri ketujuh: 40 tahun yang tidak sia-sia' menerbitkan tanggapan tak terduga dan tak terbayangkan itu.

Beberapa pembaca, di Jakarta dan Manado, langsung menghubungi saya dengan niat hendak membantu saudara-saudari seiman di Fritu dan Trans yang membutuhkan benda-benda rohani.

Sekarang dalam perjalanan menuju Ternate (untuk selanjutnya disalurkan kepada mereka) sejumlah besar (baca: ratusan) benda-benda rohani: Rosario, Puji Syukur, Kitab Suci dan (beberapa) salib duduk. Jumlah itu masih akan bertambah lagi.

Terima kasih banyak.

Suatu malam, setelah bantuan-bantuan yang berdatangan itu, saya terduduk dan tersadar: Tuhan sudah bekerja, Tuhan sementara bekerja dan Tuhan masih akan tetap bekerja. Dengan tangan-tangan Anda yang terulur untuk mereka yang sungguh membutuhkan, Tuhan bekerja.

Terima kasih banyak.

Saya membayangkan umat di Fritu dan di daerah transmigrasi, ketika menerima rahmat yang berlimpah itu, akan tersadar pula mereka tidak sendirian.

Kata-kata Santo Paulus, "Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus" (Gal. 6:2) menjadi kenyataan.

Betapa indahnya, saudara seiman menolong menanggung beban saudara seiman lain.

Akhirnya, saya berharap seri perjalanan di Ternate ini membawa sesuatu untuk Anda semua: berkat, inspirasi, penyemangat, teguran, peringatan, hiburan.

Sebentar lagi musim liburan tiba, luangkan waktu, liburlah. Pergilah ke tempat-tempat yang belum pernah Anda kunjungi. Inspirasi dan berkat menunggu Anda.

Cobalah Ternate… atau Manado (ada bonus tour guide amatiran dari Pineleng, hehehe).

Ayat Favorit Hari Ini

Ternate: Seri Keenambelas

Seri keenambelas: Pelajaran dari kamar kotor

Setelah beristirahat sehari di Ternate, pukul 15.35 WITA kami (saya dan teman frater seperjalanan dan seperutusan) tiba kembali di bandara Sam Ratulangi Manado. Syukurlah, tidak ada penundaan keberangkatan (padahal saya sudah membeli koran dan majalah kalau-kalau pesawat ditunda lagi).

Sejam kemudian, dengan menumpang taksi, kami tiba kembali di Pineleng, di rumah kami.

Saya meninggalkan kamar saya selama kurang lebih dua minggu. Juga meninggalkan beberapa potong pakaian kotor yang belum sempat dicuci, tertumpuk di dalam ember di dalam kamar yang sama.

Alhasil, debu di mana-mana. Laba-laba tidak mau ketinggalan. Entah mengapa saya merasa jumlah laba-laba yang bersarang di kamar saya bertambah. Ditambah lagi dengan aroma pakaian kotor. Sekarang pakaian kotor itu bertambah, hasil dari perjalanan dua minggu di Ternate.

Saya ingin sekali langsung membersihkannya. Saya ingin sekali menyapu dan mengepel lantai kamar. Mengelap debu dari meja, rak buku dan kaca-kaca jendela. Saya ingin sekali menyingkirkan tumpukan pakaian kotor itu, bila perlu langsung mencucinya.

Hanya saja badan saya tidak mengizinkannya. Capek sekali, walaupun sudah beristirahat sehari di Ternate.

Jadi, biarlah. Saya membuat kompromi.

Malam itu saya lewatkan dengan tidur yang pulas. Besoknya saya tidak ingin melakukan apapun selain mandi, makan dan tidur. Tidak apa-apa juga ternyata hidup dalam kamar kotor itu.

Baru pada hari keempat sejak saya tiba, kamar kotor itu mulai mengganggu. Malam harinya, ketika saya menghadap laptop, siap-siap bekerja, saya gelisah. Bukan hanya itu. Debu dan bau pakaian kotor yang menyengat mulai membangkitkan alergi pernapasan saya. Dimulai dengan bersin-bersin. Dan ditutup dengan nyaris serangan asma.

Cukup sudah!

Malam itu juga, pukul 22.00 WITA, saya melakukan apa yang seharusnya sudah saya lakukan empat hari yang lalu. Menyapu, mengepel, mengelap dan menyingkirkan pakaian-pakaian kotor itu.

Empat puluh lima menit kemudian, saya sudah kembali menghadap laptop. Kali ini dengan hati senang, lega, tak berbeban dan tanpa bersin-bersin.

Dengar, saya beritahu rahasia kecil: kalau Anda ingin bahagia dan sehat walafiat, bersihkan kamar hati Anda dari nafsu tidak teratur, pikiran-pikiran jahat dan kotor dan tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki Tuhan.

Kalau Anda terus gelisah dan sakit tanpa sebab yang jelas, itu karena Anda hidup di dalam kamar hati yang kotor.

Selamat bersih-bersih.

TAMAT

Ternate: Seri Kelimabelas

Rabu, Mei 19, 2010

Seri kelimabelas: Anak-anak selalu punya cara

Dini hari, pukul 04.00 WIT, di tengah dingin dan gerimis saya kembali ke Ternate. Awalnya saya mengira jalan yang akan kami lewati lengang, sunyi senyap. Ternyata tidak. Aktivitas masyarakat sudah berlangsung, memang belum ramai. Mobil-mobil angkutan lain sudah beroperasi.

Entah karena jalanan belum ramai diisi mobil-mobil atau saya yang tertidur sepanjang perjalanan atau mungkin juga kombinasi keduanya, kami tiba lebih cepat di Sofifi. Dengan menumpang speedboat yang sesak oleh manusia, pukul 09.35 WIT saya tiba kembali di Ternate.

Sebetulnya di dalam speedboat, saya ingin tidur lagi. Tetapi seorang bocah, mungkin lima atau enam tahun usianya, tidak membiarkan saya, juga penumpang lain yang masih kelihatan menahan kantuk tertidur. Dia menangis keras-keras sepanjang perjalanan. Entah apa sebabnya.

Tidak ada yang berusaha membujuknya. Tidak ibunya. Tidak pula opa dan omanya yang bersama-sama dengan dia.

Mendapati kenyataan bahwa tiga orang terdekatnya tidak menggubrisnya, tangisannya semakin menjadi-jadi.

Kami yang lain gelisah. Semua mata berganti-gantian menatap si bocah, ibu, oma dan opanya. Tatapan itu perpaduan antara iba, kesal, jengkel dan tidak percaya. Bukannya takut dan diam, bocah gembul itu tetap saja menangis. Lebih keras kali ini. Dan ketiga orang terdekatnya itu tetap saja tidak peduli.

Jika Anda berada dalam ruangan yang disesaki manusia dan asap rokok, tangisan seorang anak yang melengking bisa membuat Anda berpikir ulang tentang seberapa sabar sesungguhnya Anda.

Anak-anak, mungkin, ditakdirkan untuk membuat kita belajar sabar.

Dan setiap orang tua pastilah punya cara untuk mengatasi kerewelan anaknya. Rupanya tidak peduli adalah cara si ibu mengatasi bocah gembul yang rewel minta ampun itu.

Ternyata efektif juga cara itu. Karena tidak ditanggapi, tangisannya mengecil menjadi sesunggukan dan lalu diam total. Kami semua lega. Dan speedboat yang kami tumpangi merapat di dermaga tak lama kemudian.

Konon katanya, anak-anak adalah pembelajar tercepat dan terkreatif sedunia. Dia akan cepat belajar: tangisannya sudah tidak lagi menggugah hati ibunya. Akan ada lagi aksi baru demi menarik perhatian—semoga saja melompat dari speedboat bukanlah aksi berikutnya.

Anak-anak selalu punya cara.

P.S: Semoga Anda, para orang tua, dianugerahi kesabaran (ekstra), kepekaan, pengampunan dan kebijaksanaan. Kadang-kadang, anak-anak hanya ingin diperhatikan.

Ternate: Seri Keempatbelas

Selasa, Mei 04, 2010

Seri keempatbelas: Golgota di tepi jalan

Kembali dari desa Duma, dalam perjalanan kembali ke Tobelo, saya menemukan apa yang saya sebut 'Golgota di tepi jalan'. Rupanya beginilah ekspresi umat Kristen di sana menyambut perayaan Paskah. Kita memang selalu membutuhkan simbol dan tanda untuk membantu penghayatan iman kita. Kreatif. 

Ternate: Seri Ketigabelas

Sabtu, Mei 01, 2010

Seri Ketigabelas: Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

Berangkat dari daerah transmigrasi pukul 06.30 WIT, saya tiba di kota Sofifi pukul 12.30 WIT pada hari yang sama, Senin (05/04). Sudah ada speedboat yang menunggu untuk penyeberangan ke Ternate. Tetapi saya mengambil haluan lain. Dengan menumpang angkutan umum (kali ini Toyota Yaris yang dari baunya masih baru, dan saya masih belum habis pikir mobil sebagus ini bisa dijadikan angkutan umum) saya menuju ke Tobelo. Saya ingin berlibur di sana barang sehari dua. Ngomong-ngomong, Tobelo itu ibukota kabupaten Halmahera Utara di Maluku Utara sana.

Pukul 16.30 WIT saya tiba di Tobelo. Di sana ada beberapa karya tarekat kami MSC yang diurus juga oleh romo-romo MSC. Karya-karya itu terdiri dari radio Suara Paksi Buana (biasa disingkat SPB, ini stasiun radio pertama yang mengudara di Tobelo). Ada juga wisma Hati Kudus yang masih dalam pembangunan (kendati sudah bisa dipergunakan) yang dimaksudkan sebagai tempat pembinaan iman umat; juga bisa dimanfaatkan untuk pertemuan-pertemuan semacam seminar, lokakarya, sarasehan, rapat. Selain itu ada juga budidaya ikan mujair dan mas dengan keramba yang berlokasi di luar kota. Di desa Duma, tepatnya. Usaha budidaya ini lebih untuk pemberdayaan masyarakat di Duma tersebut.

Keesokan harinya dengan diantar oleh seorang karyawan dari wisma Hati Kudus saya berkunjung ke Duma. Di Duma sebuah pemandangan membetot perhatian saya.

Di samping kanan sebuah Gereja Protestan yang megah berdiri sebuah bangunan lain, bekas gereja yang kelihatannya sedang direnovasi. Para tukang bangunan sedang bekerja. Tetapi bukan itu yang membetot perhatian saya. Melainkan ini: di sisi sebelah lagi dari bekas gereja itu terlihat mungkin 100-an lebih batu nisan yang seragam bentuknya. Di depan semua batu nisan itu ada papan kecil semacam papan pengumumam yang sengaja ditancapkan disana bertuliskan: 'Martir-Martir Iman Duma'.

"Itu akibat kerusuhan tahun 2000, frater" kata sang pengantar.

"Huh?"

Lalu mulailah dia bercerita. Pada tahun 2000, konflik agama meletus di Maluku Utara. Tak terkecuali di desa Duma yang semua penduduknya beragama Kristen. Suatu hari, secara tak terduga, penduduk Duma diserang oleh pihak non-Kristen. Sekitar 100-an penduduknya memilih bersembunyi di dalam gereja itu. Naas, mereka dikepung dan terperangkap di sana. Lalu terjadilah hal yang berikut ini: gereja itu dibakar bersama-sama dengan umat di dalamnya.

Mendengar kekejaman tak masuk akal itu saya hanya bisa bertanya dalam hati, "Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?".

Saya tahu, dalam saat-saat tertentu, orang bisa mengambil tindakan yang mengejutkan. Tetapi kekejaman seperti itu jauh di atas taraf 'mengejutkan'. Bagaimana bisa ada manusia sekejam itu?

Maka-makam itu sekarang dijadikan tempat peziarahan sekaligus tugu peringatan supaya tak pernah boleh terjadi lagi kebiadaban seperti itu.

"Situasinya sudah jauh berbeda, frater. Tidak ada konflik lagi. Masyarakat di Halmahera Utara sudah sadar kalau mereka diadu domba saja oleh pihak luar. Sekarang sudah aman dan damai". Syukurlah.