Udang Rebus, Kepiting Saus Padang, Hidup Benar

Rabu, September 29, 2010

"Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian dan kebenaran" (1 Kor. 5:8)

Kami, saya dan dua orang bapak, sedang menyantap sepiring besar udang rebus dan kepiting saus padang yang lezat ketika percakapan ini terjadi:

Bapak A: "Susah banget ya ngurus perkawinan. Pusing gue".

Bapak B: "Masalahnya loe mau jadi orang benar bos, itu yang bikin susah. Loe bisa aja kan hidup sama-sama ama bini loe tanpa nikah greja. Tapi kan loe mau yang benar buat jadi pegangan. Jadi orang benar itu susah bos".

Selamat hidup benar. Hari ini.

Belajar dari Supir Taksi (2)

Senin, September 27, 2010

Keuntungan menjadi anonim adalah orang tidak menyensor apa yang akan dikatakannya kepada saya. Masih ingat?

Nah, termasuk yang tidak disensor oleh sang supir taksi adalah bagaimana ia dan istrinya bertemu (yang membuatnya menolak pilihan orang tuanya).

Ini cerita tentang pasangan hidup di depan mata. Dan Tuhan yang, seperti biasa, selalu punya cara mempertemukan dua anak manusia. Kali ini cara-Nya unik: melalui buah kelapa.

"Istri saya dulu di kampung adalah tetangga saya".

Oh, ok.

"Bapaknya bekerja di luar kampung dan jarang pulang. Jadi dia tinggal ama mamanya". Saban kali mereka membutuhkan sebutir kelapa buat memasak, dia selalu dimintai bantuan. Rupanya ada sebatang pohon kelapa di samping rumah mereka.

Awalnya, katanya, tidak ada yang terjadi. Ia hanya ingin menjadi tetangga yang baik. "Tapi lama-lama saya perhatikan kok anaknya suka nungguin di bawah pohon kelapa. Makin ke sini sebelum nungguin kok pake dandan segala".

Sebelum bertemu dengan supir taksi ini saya baru saja membaca kisah (nyata) putri kerajaan yang menemukan cintanya di tempat fitness. Kali ini saya mendengar cerita yang lebih eksotis: cinta ditemukan di atas pohon kelapa!

Keuntungan pacaran jarak dekat, katanya, menghemat keuangan. Jendela kamar mereka berhadap-hadapan. "Dia tahu saya punya uang apa gak".

Selain itu, "Gak bisa bohong. Kalo sakit ya bilang sakit". Memang susah untuk membohongi pacar jika jendela kamar berhadap-hadapan. Apa yang bisa disembunyikan?

Bagaimana kisah cinta Anda, eksotis jugakah?

P.S: Bagi Anda yang masih mencari, bisa jadi ia berada persis di depan mata Anda selama ini. Mungkin ia yang di tempat fitness, mungkin juga ia yang di atas pohon kelapa. Siapa tahu? Cinta 'kan aneh, kadang-kadang.

Ayat Favorit Hari Ini

Minggu, September 26, 2010

"Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kau buat dan jiwaku benar-benar menyadarinya" (Mzm. 139:13-14)

Belajar dari Supir Taksi (1)

"Nanti mudik juga, pak?"

"Oh gak. Saya Katolik".

Begitulah percakapan itu dimulai. Pada suatu malam, seminggu sebelum Lebaran tiba. Antara saya dan seorang pengemudi taksi. Dia seorang Katolik berusia 60-an tahun.

Oh ya, saya tidak memberitahu beliau kalau penumpangnya seorang frater. Saya belajar dari pengalaman, identitas saya sebagai frater, ada kalanya, membuat orang menyensor sendiri apa yang akan diceritakan. Alhasil, percakapan kami berjalan seperti seorang guru yang sedang mengajari muridnya. Hanya kali ini pelajarannya adalah pelajaran tentang hidup itu sendiri. (Dan saya akan menuliskan percakapan kami dalam beberapa bagian. Anggap ini bagian pertama.)

Tentang menjadi Katolik itu sendiri, ia punya cerita. Ia terlahir sebagai seorang Muslim di tengah keluarga Muslim yang taat.

"Trus kenapa masuk Katolik, pak?".

Sederhana saja ternyata jawabannya. Sebagai anak kecil ia sangat menikmati cerita-cerita Alkitab (Daud melawan Goliath dan sebagainya) yang diceritakan oleh katekis yang bertugas di kampungnya. Bagaimana bisa ia mengikuti cerita sang katekis? Di kampungnya di Lampung sana ada sekelompok kecil umat Katolik. Tiap minggu, sebagaimana lazimnya, selalu ada sekolah minggu. Beberapa temannya adalah anggotanya. Dan ia cukup penasaran untuk mengintip dari jendela dan pintu apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Sang katekis yang jeli akhirnya mempersilahkan bocah penasaran itu masuk dan bergabung bersama teman-temannya.

Ia bukan hanya dipersilahkan masuk. Ia diperlakukan sama dengan anak-anak sekolah minggu yang lain: ia diperhatikan dan dikasihi olehnya.

Keputusan paling penting yang akan diambilnya kemudian berawal dari guru sekolah minggu yang baik hati itu.

Ketika kemudian ia mantap menjadi Katolik, kata-kata yang keluar dari ayahnya adalah saya tidak mau suatu saat kamu datang lagi kepada saya dan ingin pindah lagi ke agama lain atau masuk Islam lagi. Agama, katanya, bukan seperti ganti baju.

Beliau tetap menjadi Katolik sampai pada malam ia bercerita kepada saya. Dan ia menceritakan ini kepada saya dengan suka cita. Nampaknya ia bahagia dengan pilihannya.

Masih tentang pilihan. Ia bercerita tentang langkah orang tuanya memilihkan seorang gadis untuk dinikahinya. Ia dijodohkan.

"Saya gak mau. Saya udah punya pacar waktu itu" katanya berapi-api. Jadi, dia menolak jodoh yang disodorkan orang tuanya dan menikahi pacarnya yang juga beragama Katolik.

Kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya kala itu adalah saya tidak mau suatu saat kamu datang lagi kepada saya dan ingin menceraikan istrimu.

Pernikahan itu sudah bertahan selama 30-an tahun ("Udah ilang setrum-nya sih" katanya bercanda sambil terkekeh-kekeh). Mereka dikaruniai dua orang anak. "Ini bentar lagi mantu anak yang pertama".

Malam itu, supir taksi ini mengajari saya tentang mempertanggungjawabkan setiap pilihan yang sudah dibuat.

Komunitas Penikmat Coklat Panas

Sabtu, September 25, 2010

Semalam, hampir jauh malam, saya diajak menikmati secangkir coklat panas yang lezat. Jika Anda tidak bisa tidur, secangkir coklat panas adalah tawaran yang susah ditolak.

"Di daerah ini terkenal tempat ngumpulnya gay" kata teman yang mengajak.

Tidak masalah. Tokh yang kami cari secangkir coklat panas.

Dan benar saja. Di kafe itu, saya melihat 90 % pengunjungnya pria-pria pesolek dan gemulai. Tidak terlalu pasti berapa persen dari 90 itu yang gay. Coklat panas yang masih mengepul itu lebih menarik perhatian (itu coklat panas terenak sedunia).

"Bagus juga ada tempat seperti itu buat gay" kata saya ketika akhirnya kami kembali lagi ke mobil, setelah coklat panas itu tandas.

Maksud saya, menjadi gay di Indonesia sudah cukup sulit. Pastilah nyaman untuk mereka menemukan tempat atau komunitas di mana mereka bisa menjadi diri sendiri.

Pagi ini saya memikirkan kembali soal komunitas tersebut. Sebenarnya bukan hanya gay yang membutuhkan komunitas.

Faktanya, setiap kita membutuhkan komunitas: tempat di mana kita bisa menjadi diri sendiri dan orang-orang yang dari mereka kita mendapatkan pengertian, kepedulian dan dukungan.

Tetapi komunitas bisa jadi bagian penuh jebakan.

Ada komunitas yang menguatkan dan mendorong kita merangkak keluar dari jurang. Dan ada komunitas yang memegang tangan kita ke bibir jurang dan meyakinkan kita terjun ke dalamnya.

Jadi, bergabunglah dalam komunitas (hey, hidup ini sudah cukup sulit untuk dihadapi sendirian, bukan?)

Tetapi waspadalah terhadap hasil yang Anda capai: Anda semakin menjadi seseorang yang lebih baik? Atau sebaliknya?

P.S: Dalam perjalanan pulang, kami dicegat oleh polisi yang setelah melihat kami, dengan tenangnya bertanya, "Keluarga ya?" Saya berkulit hitam dengan mata lebar dan rambut keriting. Sementara teman-teman saya, dua gadis cantik dengan mata sipit, kulit putih dan rambut lurus. Menurut bapak? (Mungkin kami komunitas penikmat coklat panas, pak).

Waktu Tuhan

Jumat, September 24, 2010

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam; ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun; ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari; ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk; ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang; ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara; ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai (Pkh. 3:1-8)

Dan sesuatu yang terjadi silih berganti itu terjadi karena alasannya. Segala sesuatu terjadi untuk sebuah alasan.

Dan, ini yang paling penting, sesuatu yang terjadi silih berganti itu terjadi sesuai dengan waktu-Nya.

Perhatikan perbedaannya. Bukan "waktunya" (dengan 'n' kecil). Tetapi waktu-Nya (dengan 'N' kapital)

Segala sesuatu terjadi sesuai dengan waktu Tuhan. Bukan waktu kita. Segala seuatu yang terjadi dalam hidup kita berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Untuk segala sesuatu, ada waktu-Nya.

Menolong Orang Tenggelam

Rabu, September 22, 2010

"Selamatkan seseorang dari tenggelam, maka Anda akan bertanggung jawab terhadapnya seumur hidup" (Pepatah Cina)

Saya sudah pernah bercerita kepada Anda kebaikan-kebaikan acak yang pernah saya lakukan: mentraktir makan beberapa anak jalanan dan pengamen.

Ada yang belum saya ceritakan kepada Anda apa yang terjadi selanjutnya dan sesuatu yang saya sadari belakangan.

Anda mungkin tertarik membacanya.

Saya masih bertemu dengan mereka setelah itu. Beberapa kali. Karena mereka masih tetap ada di tempat di mana pertama kali kami bertemu. Dan saya selalu ada urusan di tempat di mana mereka berada.

Tetapi bukan bertemu yang bertukar sapa atau bertukar kabar. Bukan bertemu yang berarti chit-chat basa-basi tentang ini dan itu.

Bertemu maksudnya saya melihat mereka dan entahlah kalau mereka melihat saya berada di sana. Saya menduga mereka melihat saya. Tetapi saya tidak memberi mereka kesempatan untuk menegur saya.

Mengapa? Sederhana: saya menghindari mereka.

Mengapa? Karena saya berpikir menemui mereka sama dengan saya harus melakukan kebaikan yang kedua, ketiga dan seterusnya. Dan saya tidak punya uang sebanyak itu untuk selalu membelikan mereka makanan. (Belakangan saya berpikir, taruhlah saya punya banyak uang, apakah saya mau terus mentraktir mereka makan?)

Seorang ibu pernah mengatakan kepada saya, mengapa harus menolong seseorang sejak awal jika tidak ingin terlibat dengan hidupnya kemudian?

Benar.

Adakalanya kita memang ingin menolong seseorang. Tetapi kita tidak ingin terlibat terus menerus dalam hidupnya. Kita tidak ingin terikat padanya. Kita sudah cukup repot dengan hidup kita sendiri.

Mengapa harus menolong seseorang sejak awal jika tidak ingin terlibat dengan hidupnya kemudian?

Tuhan memberkati setiap usaha Anda menolong sesama yang membutuhkan.

Harga Tas LV Palsu

Kamis, September 16, 2010

Sekelompok besar wanita muda dikumpulkan dalam sebuah ruangan dan dibagi dalam dua kelompok untuk kepentingan penelitian. Mereka diminta menjalani sebuah tes. Tetapi dengan penuh gaya: sambil memakai sunglasses Chloé. Dan dibolehkan untuk berbohong dan menyontek. Setelah selesai mengerjakan tes tersebut, mereka diminta untuk memeriksa dan menilai hasil tesnya sendiri sesuai dengan lembar jawaban yang akan diberikan kemudian. Sesudah menilai hasil tesnya sendiri, mereka boleh mengambil uang yang disediakan sebagai hadiah untuk setiap jawaban yang benar. Itu tes matematika. Setelah semua peserta memahami instruksi yang diberikan, para peneliti meninggalkan ruangan tersebut.

Tanpa setahu para relawan, peneliti sebenarnya tetap memonitor baik apa yang mereka lakukan maupun (tentu saja) hasil tes mereka lewat kamera yang terpasang di berbagai sudut ruangan.

Hasilnya adalah 70 % peserta dalam kelompok pertama menyontek, berbohong tentang hasil tesnya dan mengambil sejumlah uang tidak sesuai dengan hasil tesnya. Sementara itu, di kelompok kedua, hanya 30 % peserta yang menyontek saja.

Untuk memastikan apa yang ditemukan, para peneliti meminta para relawan yang sama (dan masih dalam kelompok yang sama) menjalani tes berikutnya.

Mereka dihadapkan pada sebuah layar yang berisi titik-titik. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah titik-titik tersebut lebih banyak terdapat di lajur kiri atau kanan. Menyebut lebih banyak titik di lajur kiri akan dihadiahi setengah sen. Lima sen jika mereka menyebut di lajur kanan. Jawaban yang diberikan relawan tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Sebut saja. Terserah.

Hasilnya tidak jauh berbeda dengan tes pertama.

Oh, saya lupa memberikan informasi ini kepada Anda. Sebelum tes-tes itu berlangsung, kepada kelompok pertama (yang terbanyak menyontek, berbohong dan mencuri) diberitahu, Chloé keren dan mahal di wajah mereka itu palsu. Kepada kelompok kedua (yang sedikit menyontek saja), diberitahu Chloé keren dan mahal itu asli.

Kembali ke penelitian itu. Menyaksikan hasil tes-tes itu yang diikuti dengan sejumlah wawancara dengan para relawan, para peneliti mengeluarkan kesimpulan. Memakai barang branded tetapi palsu tidak memuaskan ego dan menaikan harga diri seseorang sebagaimana yang diharapkan. Tidak. Yang terjadi justru, barang branded yang palsu itu memicu masalah moral serius: orang cenderung gampang berbohong dan menipu.

Dengan kata lain, sadar atau tidak, memakai barang branded yang palsu sebenarnya berbahaya bagi perkembangan kepribadian pemakainya.

Dengan kata lain lagi, tas LV yang palsu itu mirip pupuk bagi benih ketidakjujuran yang sudah ada dalam diri kita.

P.S: Saya membaca penelitian dan kesimpulan di atas di majalah Scientific American Mind September/Oktober 2010. Dan karena penelitian itu berlangsung di Amerika, tentu saja itulah pengaruh barang branded palsu untuk orang Amerika. Kita, di Indonesia, belum tentu demikian. Iya gak?

Menunggu "Komentar"

Selasa, September 07, 2010

Seorang teman, pernah, setengah mengeluh setengah lagi heran, bercerita kepada saya.

"Saya udah lama perhatikan. Kalo saya nulis status jarang dikomentarin orang. Tapi kalo cewek yang nulis status, komentarnya banyak. Dan dari cowok-cowok pula" ceritanya.

Teman saya ini seorang cowok. Dan, ya, ini soal Facebook.

"Padahal status si cewek juga gak jauh-jauh dari 'lagi di mall neh' atau 'baru pulang mall, capek tapi senang'" lanjutnya.

Dengan kata lain, menurut teman saya ini, status yang remeh-temeh seperti itu tidak penting untuk dikomentari. Ok, dikomentari boleh tapi tidak perlu sebanyak itu.

Waktu itu, saya mengatakan kepadanya beberapa kemungkinan hal itu bisa terjadi. Statusnya terlalu rumit untuk dikomentari. Sementara teman-temannya hanya ingin bersenang-senang. Itu pertama.

Dan ia langsung mengiyakan kemungkinan pertama ini sebagai alasan. (Katanya, status banyak kali berisi kutipan-kutipan canggih tentang hidup, cinta karir).

Tentu saja semangat saya langsung mengendur.

Padahal saya sudah bersiap-siap dengan penjelasan panjang lebar alias pamer pengetahuan. (Penjelasan panjang lebar itu, kalau diperas jadi versi singkat bunyinya demikian, bukankah secara alamiah wanita lebih mudah menarik perhatian daripada pria? Bukankah lebih mudah pula pria memberi perhatian kepada wanita ketimbang kepada sesama pria?)

Pernahkah Anda begitu bergairah untuk bercerita dan baru saja memulai dengan pengantar seseorang sudah langsung memotong pembicaraan Anda dengan "Udah tau kok"? Begitulah perasaan saya.

Seharusnya hari itu percakapan kami adalah tentang dia dan keluh kesahnya. Tetapi karena saya gagal pamer pengetahuan, pembicaraan itu cepat berakhir. Lucu juga. Dan egois, menyadari bagaimana pembicaraan harus berakhir karena tidak memuaskan ego saya.

Seharusnya saya bertanya kepadanya, "mengapa komentar orang sedemikian penting?"

Ayat Favorit Hari Ini

Jeans Termahal Sepanjang Hidup

Senin, September 06, 2010

Sudah lama saya penasaran, mengapa ada orang yang rela membayar sebegitu mahal untuk memiliki sebuah benda?

Salah satu adegan dalam serial favorit saya, Hung, menggambarkannya dengan baik.

Lenore, salah seorang pemeran pembantu dalam serial itu, memegang dua buah high heels. Yang satu, katanya, bernilai $ 79,99. Satunya lagi $ 1.250. Secara fisik tidak ada bedanya sama sekali. Keduanya persis sama bentuk dan warnanya.

"These shoes are sh*t" kata Lenore sambil membuang sepatu murah itu dengan gaya dramatis di depan Ray, sang tokoh utama. "These shoes are Christian Louboutin" katanya lagi sambil tetap memegang sepatu mahal itu. "Women buy Louboutin because they're buying quality. But more importantly they're buying what the Louboutin represent—the best. Paying more doesn't bother them. (Because) It gives them peace of mind. If they wear something of value, that means that they in turn have value".

Selama ini saya selalu membeli celana jeans di bawah Rp. 200.000. Karena, ya, yang penting nyaman dan melekat di tubuh. Tetapi beberapa saat sesudah menonton adegan itu saya memutuskan membuktikan kebenaran kata-katanya.

Tidak, saya tidak membeli sebuah Louboutin (walaupun saya suka bertanya-tanya bagaimana menjaga keseimbangan di atas high heels). Saya membeli celana jeans seharga Rp 375.000. Itu celana jeans termahal sepanjang hidup saya.

Ketika keluar dari toko itu sambil menenteng tas bagus berisi celana termahal sepanjang hidup saya itu, perasaan yang asing muncul. (Asing karena tidak pernah muncul sehabis membeli celana jeans di bawah Rp 200.000).

Ada rasa bangga dan rasa senang yang aneh.

Saya tahu harga yang mahal mewakili kualitas yang bagus. Semua orang (lebih-lebih yang memiliki kelebihan uang) ingin memakai barang berkualitas bagus. Saya pernah juga membaca, membeli barang mahal dan branded sesungguhnya sama dengan membeli gengsi dan kepercayaan diri. Mengenakan barang branded sama dengan menaikan gengsi dan rasa percaya diri.

Tetapi membeli jeans termahal itu membuat saya menduga, bukan kelebihan uang, bukan gengsi, bukan kepercayaan diri dan bukan kualitas barang yang menjadi penyebab pertama kita membeli barang mahal.

Sensasi bangga dan rasa senang yang aneh itu penyebab pertama. Lenore menyebutnya "peace of mind". Dan kalau sudah berbicara tentang perasaan, kita tidak pernah bisa rasional lagi.

Mengapa orang bisa berulang kali membeli (dan bisa terobsesi dengan ) barang mahal dan branded? Sensasi bangga dan senang itu bisa seperti narkotika: membuat orang ketagihan. Bukan iri, bukan kelebihan uang, bukan gengsi, bukan kepercayaan diri. Ini soal perasaan, pertama-tama.

Tahukah Anda dari mana ketamakan dan kerakusan (lebih modern lagi, korupsi) berasal? Saya menduga, awalnya dari sensasi bangga dan senang yang aneh itu.