Menunggu Terluka

Selasa, Juli 15, 2008

Dia terbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit. Kurus kering. Saya menjenguknya persis ketika ia baru saja mendengar vonis dokter. "Kamu mengidap kanker paru-paru". Dia, teman saya, seorang konsumen rokok kelas berat.

"Kamu gak baca peringatan yang tertulis di samping bungkusnya?" tanya saya. Kendati saya tahu pertanyaan ini sudah sangat terlambat. Juga bodoh. Tapi tidak ada bahan percakapan waktu itu. Apa boleh buat.

"Baca sih. Cuman…"

"Cuman?"

"Saya udah lama sekali memutuskan untuk berhenti membaca dan meneruskan merokok". Matanya menerawang. "Tapi sekarang saya mau berhenti merokok".

"Kenapa mesti menunggu sampai separah ini ya?"

Tidak ada jawaban. Kami berdua terdiam. Lama. Sampai saya mengalihkan pembicaraan. Tidak ada gunanya menghakiminya (lagi) dengan banyak pertanyaan bernada menyalahkan, sejumlah nasehat dan khotbah. Vonis itu hakimnya.

Konon katanya, kita berubah ke arah yang lebih baik ketika terjadi satu dari 3 hal ini: kita cukup terluka sehingga terpaksa berubah, kita cukup belajar sehingga mau berubah, atau kita cukup menerima sehingga dapat berubah. Sampai sekarang belum ada survei yang menunjukkan alasan mana (cukup terluka, cukup belajar, cukup menerima) yang lebih dominan yang melatari kita untuk berubah. Tetapi dari banyak pengalaman pribadi dan cerita orang lain (salah satunya teman saya di atas), alasan pertamalah yang sering membuat kita berubah. Bahwa kita berubah karena cukup terluka. Terluka bisa berarti sakit, bercerai, kecelakaan, dipecat, bangkrut, dan seterusnya, dan seterusnya.

Yang saya tidak habis pikir adalah mengapa kita, kadang-kadang, mesti sampai terluka dulu baru mau berubah ya? Heran. Masih lumayan kalau lukanya ringan. Kalau lukanya berat atau malah keburu meninggal? Paling tidak selalu ada sisi positifnya yang bisa disyukuri, "syukurlah ada pengalaman pahit seperti itu sehingga kita berubah".

Oh ya, tahukah Anda apa yang lebih mengherankan lagi? Ini: ada orang yang sudah terluka sedemikian rupa tetapi tetap keras kepala dan tidak mau berubah. Masih petantang-petenteng. Hmmmmm….. harap itu bukan Anda.

0 komentar: