Di Penghujung Tahun Ini

Kamis, Desember 31, 2009

Di penghujung tahun ini saya menemukan kata-kata Dalai Lama, "Teman-teman lama pergi, teman-teman baru bermunculan. Seperti juga hari-hari kita. Hal yang terpenting adalah membuatnya penuh arti: teman yang penuh arti atau hari yang penuh arti".

Kenyataannya, ada hari-hari dalam tahun ini di mana hal-hal teramat berarti terjadi: mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup, misalnya.

Ada juga hal-hal tidak berarti dan bodoh yang kita lakukan. Saking bodohnya, kita hanya bisa menoleh ke belakang sambil menyesal, "Kalau saja waktu bisa diputar kembali…".

Ada juga hal-hal yang terjadi di luar perkiraan kita sebelumnya. Tak pernah terlintas di benak kita tetapi terjadi. Pengalaman-pengalaman mengecewakan dan menyakitkan, misalnya. Sampai membuat kita bertanya-tanya, "Tuhan, maksud-Mu apa?"

Ada juga hiburan-hiburan dan kebahagiaan-kebahagiaan tak terduga. Tak pernah direncanakan tetapi terjadi.

Sisanya lagi, hari-hari yang datar. Rutin. Tidak begitu berarti, bodoh juga tidak. Tidak membahagiakan, mengecewakan juga tidak. Biasa saja. Tanpa drama. Namanya "sisa" tetapi bisa jadi 80-90 % dari hari-hari sepanjang tahun ini adalah hari-hari tanpa drama itu.

Itulah hidup.

Syukurilah.

Untuk semua yang telah Anda lalui di tahun 2009, syukurilah.

Suatu hari di tahun ini, seorang ibu mengirimi saya sebuah pesan pendek yang istimewa. Bunyinya, Many things about tomorrow I don't seem to understand, but I know God holds tomorrow and He holds my hand. I'm sure He's holding yours too. God bless you.

Tangan Tuhan akan menuntun Anda di tahun yang baru ini.

Selamat berjalan bersama-Nya. Jangan takut. Jangan cemas.

Ngomong-ngomong, pelajaran paling berharga yang saya dapatkan di tahun yang akan berlalu ini adalah kesabaran pada akhirnya berbuah manis.

Selamat memasuki tahun baru 2010.

Apa pelajaran paling berharga yang Anda dapatkan di tahun 2009?

Kebenaran Bisa Menunggu

Senin, Desember 28, 2009

"Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia" (Mat. 2:13)

Ada saatnya orang tidak menghendaki kebenaran terungkap.

Karena kebenaran itu terlalu menyakitkan baginya.

Ada saatnya kebenaran bisa menunggu.

Ada saatnya pilihan terbaik untuk mengatakan kebenaran adalah dengan menunda untuk mengatakannya.

Diam.

Melarikan diri.

Mengungsi.

Karena akan terlalu mahal harga yang harus dibayar dan resiko yang harus ditanggung jika kebenaran dikatakan di sembarang waktu.

Setiap kebenaran memang beresiko. Tetapi waktu menentukkan seberapa besar resiko itu.

Kebenaran memiliki waktunya sendiri untuk muncul di permukaan.

Itulah sebabnya Yesus dilarikan ke Mesir. Menghindar dari Herodes yang akan mengamuk membabi buta.

Tuhan tidak membuka kebenaran di sembarang waktu. Tuhan itu bijaksana. Ia tahu betul kapan harus menyimpan, kapan harus membuka.

Itulah yang kita butuhkan: kebijaksanaan untuk bisa mengetahui kapan harus menyimpan kebenaran dan kapan harus membukanya.

Semoga Tuhan berkenan menganugerahkan kebijaksanaan itu kepada kita.

Mintalah kepada-Nya.

Untuk Anda, Dengan Salam dan Doa

Rabu, Desember 23, 2009

Jika Anda Tertangkap Basah

Tinggal sesaat saja kita akan merayakan hari kelahiran Yesus Kristus. Jadi, apa yang bisa dikatakan untuk Natal tahun ini?

Intermeso. Manado ini kota yang tergesa-gesa kalau menyangkut perayaan Natal. Lucu juga mengingat kebiasaan (buruk) kebanyakan orang Manado yang suka telat menghadiri sebuah acara. Ini membenarkan kebijaksanaan tua: untuk selalu segala sesuatu ada kekecualiannya. Sudah sejak Oktober lalu, O Holy Night sudah berkumandang di siang bolong di dalam angkutan-angkutan kota menggeser lagu-lagu mendayu-dayu anak-anak band.

Kembali ke pertanyaan di atas, apa yang bisa dikatakan?

Kita sama-sama tahu Natal sesungguhnya adalah perayaan cinta kasih Allah kepada manusia. Saking cinta-Nya sampai Ia mengutus Putera-Nya sendiri menjadi manusia dan tinggal di antara kita.

Masalahnya sekarang bagaimana cinta Allah itu kongkrit di dalam hidup Anda sekarang, kini dan di sini.

Begini.

Untuk setiap dosa, kejahatan dan kesalahan yang Anda lakukan, seseorang (termasuk suara hati Anda) akan berusaha menghentikan Anda untuk tidak melakukannya lagi. Entah ia mengirim Anda ke penjara. Menangkap basah Anda. Melabrak Anda. Memarahi Anda. Menegur Anda. Memperingatkan Anda. Menasehati Anda. Mengingatkan Anda.

Jika itu terjadi, betapapun malunya Anda (jika Anda tertangkap basah) mengertilah bahwa seseorang itu (atau hati nurani Anda) dikirim Tuhan khusus untuk Anda. Tuhan sesungguhnya sedang menghendaki agar Anda tidak melakukan dosa, kejahatan, kesalahan itu lagi. Tuhan ingin Anda berhenti saat itu juga dan berbalik arah. Itulah cinta Tuhan dalam hidup Anda.

Selamat Natal, saudara-saudari.

Tuhan mencintai kita sekalian.

Mamanya si Abang

Selasa, Desember 08, 2009

Minggu lalu saya ingin menikmati film di bioskop. Kebetulan sepanjang siang tidak ada acara yang harus saya hadiri dan tidak ada pekerjaan mendesak yang harus saya selesaikan.

Tetapi kenikmatan kadang memang tidak bisa diperoleh dengan mudah. Antrian di loket pembelian karcis demikian panjang. "Sesekali ini" pikir saya. Jadilah saya bergabung bersama dengan para pengantri. Berdiri. Menunggu.

Di depan saya berdiri seorang wanita muda berpenampilan kasual, di pertengahan 30-an usianya. Tidak seperti saya dan yang lainnya yang menatap lurus ke depan, wanita muda ini berdiri menyamping ke sebelah kanan. Saya mengikuti arah tatapan matanya dan berhenti pada bocah yang berlarian ke sana ke mari.

"Anaknya ya?" tanya saya.

"Iya" jawabnya sambil melihat saya. Ramah.

"Umur berapa?"

"Tiga tahun".

"Ganteng".

"T'rima kasih".

Dan… saya baru saja membobol tembok bendungan.

Sambil tetap mengawasi putranya yang dipanggilnya "Abang" (sekalipun ia mengaku tidak ingin menambah anak lagi), mulailah ia berceloteh panjang lebar tentang abangnya ini. Mulai dari "Anaknya hiperaktif, bla-bla-bla" sampai "Bapaknya suka gak sabaran". Dari "Sejak umur 3 taon ini saya udah mulai memperkenalkan pendidikan seks, misalnya bla-bla-bla" sampai "dia udah tau bedain teman, pacar, suami" (sampai di sini ia memanggil si abang untuk membuktikannya). Mulai dari "Waktu ngandung si abang, berat badan saya naek ampe 70-an kilo padahal sebelumnya cuman 45. Nah, abis ngelahirin tuh bla-bla-bla" sampai "kalaupun nambah anak lagi saya pengen hamil model busung lapar aja. Tau 'kan model busung lapar?".

Mmmmm… kalau tentang anak, rasanya ibu-ibu memang punya perpaduan bakat antara mengeluh, bangga dan pamer.

"Sekarang saya tau dari mana sifat hiperaktifnya si abang" kata saya. Dia tertawa. Renyah. Sedap didengar.

"Muslim ya?" tanya dia setelah celotehan panjang lebar di atas.

Saya tersenyum.

"Suami saya juga muslim" sambarnya cepat, merasa mendapat angin. "Saya tetap Kristen".

Situasi seperti ini sudah sering saya hadapi. Yang tidak biasa adalah percakapan kami selanjutnya.

"Kenapa gak pengen ngasih ade buat abang?"

"Saya terkena kanker payudara stadium tiga" katanya ringan, santai sekali.

Dia tersenyum melihat saya. Mungkin ingin melihat seperti apa reaksi saya.

"Teman-teman saya nangis semua waktu dengar berita ini. Saya menenangkan mereka, saya gak mau dikasihani. Ada saatnya sakit banget dan saya menangis tetapi itu di rumah di dalam kamar".

Dia mengaku sudah ikhlas menerimanya. "Saya gak kayak orang lain yang menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Apa gunanya juga? Sakit ya sakit. Saya tetap berdoa kepadanya setiap hari. Saya hanya minta sama Tuhan satu hal: saya hanya ingin melihat abang tumbuh dewasa. Setelah itu terserah Dia".

Dia mengatakan itu semua dengan riang sambil berbagi pandangan antara mengawasi si abang dan melihat saya.

Saya sama sekali orang asing bagi dia. Dan dia sama sekali orang asing bagi saya. Tetapi pelajaran terbaik tentang bagaimana menghadapi penderitaan justru datang dari orang asing ini. Di tengah antrian di bioskop. Ada kenikmatan sesaat di depan mata seharga Rp. 20.000. Ada pelajaran iman teramat berharga yang sama sekali gratis.

Menghadapi kanker dengan ikhlas dan riang??? Berbahagialah si abang, dia dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa.

Ayat Favorit Hari Ini

Bagaimana dengan Kepala Anda?

Senin, Desember 07, 2009

'Ku berjuang

Sampai akhirnya

Kau dapati aku tetap setia…

(Lagu: S'lidiki Aku)

 

Dua minggu lalu saya memimpin penguburan seorang ibu berusia 77 tahun. Saya cukup mengenalnya.

Setiap minggu, mulai dari pertengahan bulan oktober, saya mengantar komuni kepadanya dan suaminya di rumah mereka.

Saat menerima komuni, posisi duduk mereka demikian: di sofa tua yang muat dua orang itu, beliau duduk di sebelah kiri dan suaminya di sebelah kanannya. Selalu begitu. Setiap minggu. Dan saya hanya bisa mengira-ngira entahkah kesetiaan semacam ini yang membuat perkawinan mereka langgeng.

Selesai memberikan komuni, saya akan duduk sebentar bersama mereka berdua. Sekedar berbagi cerita ringan. Saya selalu memilih duduk di samping suaminya. Bukan meniru kesetiaan mereka. Hanya saja suaminya, yang mantan tentara berusia 84 tahun, tidak mampu lagi mendengar dengan baik. Praktis saja alasannya.

Karena alasan pendengaran yang tidak lagi meyakinkan ini, pembicaraan didominasi oleh sang istri—satu-satunya cerita yang keluar dari mulut suaminya adalah pengalaman dilempari bom tangan yang jatuh di sampingnya namun tidak meledak. Waktu saya sibuk mengaguminya, ia melanjutkan ringan, "Karena jatuh di lumpur, frater".

Pada usia 77 tahun, beliau adalah pencerita yang berapi-api sehingga saya ketularan semangatnya. Saya mengantarkan komuni untuk 16 orang tua di rumahnya masing-masing dengan jarak tempuh bervariasi antara 100 meter sampai 2 kilometer dengan berjalan kaki, hitung-hitung sekalian olahraga. Ibu dan bapak ini berada pada urutan 8 dan 9 dalam kunjungan tersebut. Mendengar sang ibu bercerita riang, kelelahan saya sirna sekaligus terisi energi baru untuk mengunjungi 6 orang tersisa.

Dua minggu lalu, ketika saya tiba di rumahnya, beliau sudah terbujur kaku di dalam peti mati. Suaminya duduk di sampingnya. Pandangannya tak pernah lepas dari istrinya.

Saya memilih duduk di samping sang suami.

Ia menatap saya sambil berkata, "Torang so kaweng 56 taon, frater. Kita nda pernah beking saki hati pa dia. Ada banyak cewek suka pa kita. Mar kita tetap setia pa dia". (Kami sudah menikah selama 56 tahun, frater. Saya tidak pernah menyakiti hatinya. Banyak cewek suka sama saya. Tetapi saya tetap setia padanya)

Ia mengatakan itu dengan kepala tegak, dengan kebanggaan seorang laki-laki dewasa dan suami yang baik dan bertanggung jawab.

Melihatnya, saya bertanya-tanya dalam hati, "Bisakah saya seperti beliau? Bisakah saya dengan kepala tegak mengatakan kepada orang lain di ujung hidup saya: saya setia selama bertahun-tahun?"

Adakah kepala Anda akan tegak juga?

Tuhan memberkati setiap usaha kita untuk tetap setia.

Satu Orang Berhati Emas

Rabu, November 11, 2009

"Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang tadi? Tidak adakah di antara mereka yang kembali memuliakan Allah selain orang asing ini?" (Luk. 17:17-18)

Kutipan ayat di atas berasal dari kisah penyembuhan sepuluh orang kusta. Yang unik dari kisah ini adalah hanya satu saja yang tergerak untuk berterima kasih kepada Yesus.

Tidak, buang jauh-jauh tebakan itu. Saya tidak akan berbicara tentang betapa pentingnya bersyukur atas segala anugerah Tuhan dalam hidup kita. Tidak juga tentang betapa seringnya kita lupa dan lalai bersyukur.

Jadi?

Sewaktu merenungkan kisah ini dalam perayaan Ekaristi pagi ini, potongan-potongan adegan percakapan saya dengan beberapa orang terlintas.

Beberapa orang itu adalah seorang istri yang ditinggal mati suaminya yang harus menghidupi 2 orang anak yang belum lagi menginjak bangku sekolah dasar (dan ia tetap tinggal menjanda sampai sekarang ketika kedua anaknya sudah hidup mandiri, menikah dan memberinya seorang cucu).

Ada juga seorang istri yang berjuang menyatukan keluarganya yang nyaris berantakan dan tercerai berai (perjuangannya masih jauh dari selesai tetapi ia belum mau menyerah).

Seorang bapak yang dijuluki humat (hubungan umat) karena bekerja keras menjadi penghubung sekaligus penyatu anggota-anggota lingkungannya ("Kalau dia tidak ada, lingkungan ini tidak akan pernah bertahan" kata salah seorang pimpinan lingkungan tersebut).

Seorang bapak yang selalu setia mengikuti ibadah lingkungan sekalipun "Saya sebenarnya sudah malas soalnya saya selalu menjadi satu-satunya laki-laki di tengah wanita dan anak-anak". Rupanya ia sudah lama merasa malas tapi tokh tetap setia juga (sekalipun belum ada satu bapakpun yang terinspirasi mengikuti jejaknya).

Adakah Anda memperhatikan sesuatu dalam fakta-fakta di atas?

Selalu ada satu orang yang membuat perbedaan. Selalu ada satu orang yang menolak untuk menyerah pada keadaan. Selalu ada satu orang yang berjuang memperbaiki keadaan. Selalu ada satu orang yang setia.

Selalu ada satu orang berhati emas. Sama seperti orang Samaria yang disembuhkan Yesus itu.

Untuk Anda "satu-orang-berhati-emas" itu, tetaplah berjuang. Tetaplah setia. Tetaplah membuat perbedaan.

Sebait lagu berjudul Your Heart Today yang ditulis oleh Manuel V. Fransisco, seorang romo Jesuit, di bawah ini semoga menjadi bekal di tengah perjalanan panjang kesulitan yang Anda alami.

And when I've done all that I've could

Yet there are hearts I cannot move

Lord, grant me hope

That I may be Your heart today

Ayat Favorit Hari Ini

Bagaimana Mencegah Stroke?

Rabu, November 04, 2009

Ini cerita seorang kenalan belum lama ini.

Ia pernah menyaksikan seorang tua marah kepada rekan kerja yang juga seorang tua. Marah dalam arti menyemburkan kata-kata dengan nada tinggi. Bukan marah yang dipendam dalam hati yang lalu menjadi dendam.

Waktu mendengarnya reaksi saya biasa saja. Seorang tua berlagak seperti mobil pemadam kebakaran yang menyemprotkan air, tidak ada yang aneh. Kebanyakan orang juga begitu.

Masalahnya, sambung kenalan saya ini, orang tua tadi saking marahnya mendadak terserang stroke. Yang dimarahi baik-baik saja, kelihatannya.

Itu baru cerita, kata saya (tanpa bermaksud bergembira di atas penderitaan orang lain).

Tiga hari lalu saya menemukan kata-kata bijak dari Mahatma Gandhi. Tentang kemarahan.

Kemarahan adalah air keras yang akan lebih merusak bejana tempat penyimpanannya daripada benda-benda yang disiram dengannya.

Kalau saja orang tua malang itu tahu lebih awal kata-kata Gandhi ini mungkin ia tidak akan terserang stroke.

Paling tidak Anda sekarang sudah mengetahuinya.


Re-planting, Saudara-Saudara, Re-planting

Selasa, Oktober 27, 2009

Kapan terakhir kali Anda mengikuti sebuah retret?

Kapan terakhir kali Anda tertarik dan sungguh-sungguh tergerak untuk mengikuti sebuah retret (lalu membatalkannya karena kesibukan)?

Saya baru saja mengikuti sebuah retret yang berlangsung selama lima hari. Lumayan lama. 'Lumayan' saja karena saya pernah mengikuti sebuah retret selama satu bulan penuh. Tanpa koran, televisi dan internet (begitu TV dihidupkan lagi, Amerika mulai mengebom Irak dan kami hanya bisa mengira-ngira apa yang sudah kami lewatkan). Dan dalam keadaan hening, kecuali jika sedang berbicara dengan pembimbing rohani dengan durasi waktu satu jam.

Yang akan Anda baca selanjutnya adalah oleh-oleh dari retret yang lumayan lama itu.

Untuk apa mengikuti sebuah retret? Mengapa harus menyisihkan waktu untuk mengikutinya? Apa tujuannya?

Begini penjelasan romo pembimbing retret itu.

Banyak orang lebih tertarik pada buah yang dihasilkan sebuah pohon. Tetapi petani yang baik tahu bahwa buah yang berkualitas datang dari akar yang terawat. Maka banyak energi dihabiskan untuk mengurus bagian dari pohon yang tidak kelihatan ini. Memberi pupuk dan menyiangi misalnya.

Ibarat pohon dan petani, begitu pula kita. Banyak orang di sekitar kita lebih tertarik melihat buah yang kita hasilkan: sikap dan perilaku yang terpuji, prestasi kerja yang membanggakan, target terpenuhi, pelayanan maksimal dan seterusnya. Tetapi semuanya itu tidak akan bertahan lama jika akarnya tidak dipedulikan. Akar itulah hati dan jiwa kita.

Nah, kembali lagi ke pertanyaan tadi: apa tujuan mengikuti retret? "Re-planting" kata beliau. Retret merupakan saat menanam kembali; saat memperhatikan, merawat dan mengurusi akar pohon kehidupan kita. Saya tidak perlu lagi mengatakan berbagai kesibukan bisa membuat kering hati dan jiwa kita. Padahal, hidup yang berkualitas dimulai dari hati dan jiwa yang berkualitas.

Re-planting. Ingat-ingatlah itu sebagai bahan pertimbangan jika Anda ditawari untuk mengikuti retret.

Dan, oh, satu lagi. Saya mengutip langsung kata-kata beliau, "Sehabis retret orang suka mengatakan 'Pembimbingnya bagus' atau 'Acaranya bagus' atau sebaliknya. Padahal yang penting adalah adakah Anda memperoleh sesuatu dalam retret itu untuk hati dan jiwa Anda?"

Re-planting, saudara-saudara, re-planting.

Retret yukz

Problem Sebuah Rahasia

Jumat, Oktober 16, 2009

"Tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Karena itu apa yang kamu katakan dalam gelap akan kedengaran dalam terang, dan apa yang kamu bisikkan ke telinga di dalam kamar akan diberitakan dari atas atap rumah" (Luk. 12:2-3)

Seorang ibu bercerita kepada saya tentang suaminya.

Mereka sudah menikah selama belasan tahun. Punya anak-anak. Rumah. Kendaraan. Pekerjaan yang mapan. Mereka bahagia. Anak-anaknya sehat. Semuanya sempurna. Suaminya adalah suami yang baik bagi dirinya. Dan ayah yang baik bagi anak-anaknya. Sempurna.

Kecuali suatu hari ketika kiamat itu tiba lebih cepat.

Seorang wanita mendatangi dirinya dan mengaku ia adalah selingkuhan suaminya. Perselingkuhan itu sudah berjalan nyaris seusia perkawinan mereka. Sudah ada anak pula yang nyaris seusia anak-anak mereka.

Problem sebuah rahasia adalah kita tidak tahan menyimpannya sendirian. Itu pertama. Jika kita tahan menyimpannya, orang lain tidak sebaik kita. Sebuah kebocoran kecil pasti akan terjadi. Sekali bocor, sebuah tambalan pun hanyalah penahan sementara. Sia-sia saja kita menambalnya. Itu kedua. Problem ketiga, setiap rahasia memang ditakdirkan untuk terbuka. Di bawah matahari, tidak ada sesuatupun yang bisa dirahasiakan. Mungkin karena semua kita dilahirkan telanjang, tanpa penutup, tanpa rahasia.

Nasehat Seorang Tua Tentang Kebahagiaan (3)

Rabu, Oktober 14, 2009

Hari minggu yang baru saja berlalu saya menikmati tayangan favorit saya, Mario Teguh: The Golden Ways. Dan entah kebetulan, entah tidak (terserah apakah Anda percaya yang namanya kebetulan atau lebih percaya semuanya rancangan Allah), topik yang dibahas adalah hak untuk berbahagia.

Saya hanya bisa melongo menatap layar kaca, kok bisa kebetulan nyambung dengan topik yang sedang saya tulis ya? Maka saya memutuskan untuk mengutip kata-kata pak Mario dalam acara itu dan menjadikannya bagian dari seri tulisan 'Nasehat seorang tua tentang kebahagiaan'—tidak salah juga jika dilihat dari segi usia pak Mario. Ah, Tuhan selalu punya cara menyisipkan kebetulan-kebetulan kecil dalam hidup.

Dalam acara yang disiarkan langsung itu, seorang penelepon bertanya kepadanya, "Bagaimana jika saya tidak bahagia tetapi ingin membahagiakan orang lain?"

Begini, kurang lebih, pak Mario menjawabnya.

Tidak seorang pun bisa memberikan kepada orang lain apa yang tidak ia punyai. Tetapi jika ia tetap bersikeras memberikannya juga, Tuhan akan mengadakannya untuknya sehingga ia mempunyai sesuatu untuk diberikan.

Saya yang mendengarkannya hanya bisa menanggapi dengan "Wow". Orang tua yang teramat bijaksana dan benar-benar percaya kuasa Tuhan.

Berita baik dalam kata-kata Mario Teguh di atas adalah Tuhan akan melengkapi apa yang kurang dalam diri kita jika kita tetap berikhtiar untuk membahagiakan orang lain.

Berita buruknya adalah sekarang tidak ada lagi alasan untuk tidak bisa dan tidak mau membahagiakan orang lain.

Ayat Favorit Hari Ini

Nasehat Seorang Tua Tentang Kebahagiaan (2)

"Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya" (Luk. 11:28)

Menyambung lagi pembicaraan tentang kebahagiaan.

Apa kaitan antara kebahagiaan versi seorang tua yang saya hormati dan sabda Yesus di atas?

Saya pernah berbuat dosa—sampai sekarang masih terjadi. Anda pun sama: pernah berbuat dosa—sampai sekarang pun masih terjadi.

Tetapi saya tidak ingin berbicara tentang dosa/bukan dosa, surga/neraka, baik/buruk, salah/benar (Anda sudah tahu semuanya itu).

Saya lebih suka berbicara tentang perasaan yang timbul setelah berbuat dosa. Tidak tenang, gelisah, merasa bersalah, stress, (pada orang-orang tertentu) susah makan, merasa kotor dan hina, rasa berbeban berat. Itu beberapa perasaan yang paling sering timbul. Ingat?

Sebaliknya. Damai, hangat, tenang, optimis dan semangat menghadapi hidup, punya pengharapan adalah beberapa perasaan yang paling sering muncul setelah kita berbuat baik. Ingat?

Maka, ketika Yesus menyebut berbahagia mereka yang mendengar dan memelihara (alias melaksanakan) sabda Allah bukanlah tanpa alasan.

Melaksanakan sabda Allah seperti mencintai sesama, jujur, adil, bersedekah tidak berlaku munafik, memaafkan, dan seterusnya memberi kita perasaan-perasaan yang sudah disebutkan di atas: damai, tenang, gembira, penuh harapan…

Tentu saja Anda ingin menjalani hidup yang demikian, bukan? Hidup dengan perasaan yang tenang dan damai yang memungkinkan Anda bertumbuh sebagai seorang manusia yang utuh dan dewasa.

Nah, kalau hidup ini adalah tentang pilihan, mana yang ingin Anda pilih: bahagia atau tidak bahagia?

Tentu saja, lebih gampang memilih—karena tinggal mengatakannya—daripada melaksanakan pilihan itu dengan kesungguhan hati.

Pikirkan ini: jika surga adalah tentang hati yang damai mengapa harus menunggu sampai mati untuk mengalaminya?

Tuhan memberkati niat baik dan kerja keras Anda untuk menjadi seorang pelaksana sabda. Niat baik dan kerja keras Anda akan mendapat hasil yang setimpal. Tuhan tidak buta.

Doa: Tuhan, Engkau tahu aku ingin menjadi pelaksana sabda-Mu, aku ingin hidup berbahagia. Sertailah aku selalu dalam usahaku. Kuatkan jika aku ingin menyerah saja. Ingatkan dan tegurlah jika aku menyimpang. Amin.

Nasehat Seorang Tua Tentang Kebahagiaan

Sabtu, Oktober 10, 2009

"Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya" (Luk. 11:28)

Lazim sekali ayat di atas ditafsirkan dalam kotbah-kotbah sebagai berikut: lebih baik menjadi pendengar dan pelaksana sabda Allah. Bagi yang menghadiri perayaan Ekaristi pagi ini—ayat di atas adalah bagian dari bacaan Injil hari ini—tentu baru saja mendengarkan tafsiran itu (lagi).

Mari merenungkan hal lain. Mari berbicara soal kebahagiaan.

Ya, ya, ya. Kebahagiaan itu soal state of mind saja; soal menurunkan harapan dan menjadi lebih realistis; soal menyediakan waktu berkualitas bagi diri dan orang yang dikasihi; bla-bla-bla…

Ok. Ok. Anda sudah tahu semuanya itu.

Tetapi mari menyimak kata-kata seorang tua yang paling saya hormati dan sumber inspirasi bagi saya. Layak untuk dipikirkan.

Kebahagiaan itu bukan tertawa lebar dan lepas. Itu salah satu ekspresi kebahagiaan. Kebahagiaan juga bukan perasaan senang. Itu efek dari kebahagiaan. Kalau orang menyamakan kebahagiaan dengan perasaan senang, "Itu kebahagiaan murahan" kata beliau.

Kebahagiaan itu, menurut beliau, adalah "rasa pasti, yakin dan mantap bahwa inilah hidup yang ingin saya jalani sampai tutup usia". Dan hidup yang ingin dijalani adalah hidup yang membuat kita bertumbuh menjadi semakin dewasa; hidup yang membuat kita merasa lengkap dan utuh sebagai manusia; hidup yang memungkinkan kita mengembangkan talenta yang Tuhan percayakan kepada kita sampai batas maksimal. Itulah kebahagiaan.

Kongkritnya begini. Tanyakanlah kepada diri Anda, bahagiakah saya sekarang dengan semua yang sedang saya jalani?

Maksudnya, inikah hidup yang ingin saya jalani sampai tutup usia? Inikah pekerjaan dan karir yang membuat talenta saya berkembang ke titik maksimal? Inikah pasangan hidup yang membuat saya merasa lengkap dan utuh sebagai manusia? Inikah pasangan hidup yang membantu saya semakin bertumbuh dewasa entah dalam iman maupun dalam kepribadian? Dan seterusnya, dan seterusnya.

Anda bahagia jika Anda dengan mantap, yakin dan pasti mengatakan kepada diri sendiri inilah hidup yang ingin saya jalani; inilah orang yang dengannya saya ingin berbagi dunia; inilah orang yang dengannya saya ingin melahirkan, mendidik dan membesarkan anak-anak; inilah pekerjaan dan karir yang ingin saya tekuni; inilah bidang pelayanan yang di dalamnya saya ingin melayani Tuhan dan sesama; inilah bidang pendidikan yang ingin saya dalami di bangku kuliah; dan seterusnya dan seterusnya.

Jika Anda tidak merasa yakin, pasti dan mantap, Anda tidak bahagia. Dan jika Anda tidak bahagia dengan hidup yang Anda jalani sekarang, inilah tanda-tandanya: Anda selalu merasa ada sesuatu yang kurang dan salah tanpa tahu apa itu; Anda gampang sekali down, stress dan frustrasi berkepanjangan; Anda masih saja bingung dengan tujuan hidup Anda, Anda tidak pernah bisa mencurahkan segenap hati dan pikiran sekalipun Anda sudah mencobanya.

Sekarang, apa kaitannya dengan sabda Tuhan di atas?

Konon katanya tidak baik merecoki pikiran seseorang dengan banyak hal sekaligus. Jadi, ya, renungkanlah saja dulu yang sudah Anda baca.

Bahagiakah Anda?

Masa Kalah Terus? Ayo Dong

Jumat, Oktober 09, 2009

Beberapa bulan lalu saya duduk bersama dengan seorang rekan kerja yang menangani periklanan. Ia menerangkan pada saya lika-liku bidangnya. Mendengarnya menjelaskan, saya seperti orang buta yang baru saja dibukakan matanya oleh Yesus.

"Yang penting" katanya, "adalah kantor memperoleh pemasukan dari pembayaran iklan sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan. Ini prinsip".

Saya manggut-manggut.

"Para calon pemasang iklan tidak tahu berapa harga resmi yang ditetapkan oleh kantor".

Jadi?

"Nah, ini bagian kita. Jika harga resminya Rp. 250 ribu maka katakan kepada calon pemasang Rp. 350 ribu".

Ia melanjutkan lagi dengan cepat seperti bisa membaca pikiran saya, "Eits, jangan salah, yang Rp. 100 ribu itu dihitung sebagai professional fee. Bukan mark-up, bukan korupsi".

Ia lantas tertawa pahit.

"Ok. Itu korupsi. Hanya kami lebih suka menyebutnya professional fee supaya tidak kedengaran seperti sebuah dosa". Tentu saja.

Ia bisa mencurangi bahasa tetapi ia tidak pernah bisa menipu suara hatinya.

Pernahkah Anda mencurangi bahasa? Atau pernahkah Anda mendengar orang-orang sekitar Anda melakukannya?

Rekan kerja saya ini tidak sendiri. Ada saatnya kita memilih mencurangi bahasa: memperhalus istilah untuk beberapa tindakan sehingga membuatnya tidak kedengaran seperti sebuah dosa dan membuat kita tidak kelihatan berbuat dosa. Dan itu membuat kita mengulangi tindakan itu, lagi dan lagi.

Masalahnya adalah bahasa bisa dimanipulasi tetapi tidak hati nurani. Rasa bersalah itu ada, kadang memberontak dan mengganggu.

Adakah Anda pernah terganggu? Adakah mereka pernah terganggu?

Sesungguhnya ini cerita tentang orang-orang yang kalah. Ini cerita tentang kita yang menyerah pada tingginya biaya hidup, tekanan lingkungan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja, nafsu pribadi. Ini cerita tentang setan yang berhasil mengalahkan kita. Dan supaya tidak kelihatan kalah total, kita memanipulasi bahasa.

Padahal, kalah ya kalah. Terserah apapun istilahnya. Tidak ada kekalahan elegan. Tidak ada kekalahan terhormat. Itu menghibur diri. Itu manipulasi bahasa.

Maukah Anda keluar sebagai pemenang? Beranikah Anda tampil sebagai pemenang? Paling tidak, maukah Anda berusaha? Beranikah Anda berusaha?

Buatlah diri Anda sendiri bangga karena (sering) keluar sebagai pemenang. Masa kalah terus?

Ayo dong…

Damai, Tenang, Pasti Karena ...

Rabu, Oktober 07, 2009

Murid-murid berkata kepada Yesus, "Tuhan ajarlah kami berdoa…" (Luk. 11:1)

Ini tentang doa.

Akhir-akhir ini saya menikmati saat-saat bersama Tuhan. Waktu semakin tidak terasa. Rasanya baru sebentar ternyata sudah 30 menit. Saya berbicara kepada-Nya dalam doa. Selesai. Kemudian memberi-Nya waktu untuk berbicara kepada saya. Saya mencoba mendengarkan suara hati jika ada masalah yang saya hadapi (Tuhan berbicara melalui suara hati, kan?). Saya berbicara Ia mendengarkan. Ia berbicara saya mendengarkan.

Sesudah itu ada damai luar biasa. Pengaruhnya kepada tubuh saya luar biasa. Sulit dilukiskan dengan kata-kata. Rasanya ada kepastian untuk melangkah, ada kepastian untuk menjalani hidup, ada kepastian bahwa masalah akan terselesaikan (Tuhan selalu punya cara). Terlebih, ada kepastian bahwa saya dicintai Tuhan—ada beda antara percaya bahwa Tuhan mencintai kita dengan sungguh-sungguh merasakan kita dicintai Tuhan. Sama seperti beda rasanya Anda percaya bahwa pasangan mencintai setengah mati dan sungguh-sungguh merasakan cinta pasangan itu. Ada perasaan hangat di dalam hati yang menjalar ke seluruh tubuh.

Apa rahasianya?

Ikhlas.

Sebelum periode "akhir-akhir-ini", doa saya hampir seperti permintaan seorang anak kecil kepada mamanya: meminta tetapi sebetulnya tipis bedanya dengan memaksa, buru-buru, mendesak, tidak memberi kesempatan, ingin cepat terkabul. Ini berpengaruh pada situasi batin setelah selesai berdoa, kok rasanya sama saja.

Sekarang saya lebih ikhlas. Selesai memohon pada Tuhan, saya mengatakan kepada diri sendiri, "Ya sudah, sekarang giliran Tuhan yang bekerja. Kalau Dia menghendaki terjadi, pasti terjadi". Damai, tenang, pasti.

Ikhlas, saudara-saudara, dan meminjam kalimat favorit Mario Teguh, "Lihat apa yang akan terjadi".

Mari berdoa…


Ayat Favorit Hari Ini



"Sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan"

Marah-Marah Karena Pohon Jarak???

"Engkau sayang akan pohon jarak itu. Mana mungkin Aku tidak sayang akan kota Niniwe yang besar itu?" (Yun. 4:10-11)

Mengapa Anda marah?

Nabi Yunus berada dalam perut ikan tiga hari lamanya, itu sudah di luar kepala Anda. Tetapi cerita-cerita sebelum dan sesudah kejadian itu, bisa jadi Anda buta sama sekali.

Begini. Nabi Yunus itu manusia biasa saja seperti kita. Yang menolak permintaan Allah untuk pergi ke kota Niniwe untuk mentobatkan penduduknya. Pikirnya, "Bertobat atau tidak, itu urusan mereka. Mengapa harus mencampuri urusan orang lain?" Persis seperti biasanya Anda dan saya pikirkan ketika melihat orang lain berbuat dosa dan kita tidak repot-repot untuk menegur atau membawanya pulang ke jalan yang benar.

Fast Forward. Setelah melihat Allah mengasihani penduduk Niniwe dengan membatalkan hukuman kepada mereka, Yunus marah kepada Allah. Tebak, mengapa beliau marah?

Begini ceritanya—bisa Anda baca versi lengkapnya di Kitab Yunus 4:1-11. Jadi, Tuhan menumbuhkan sebatang pohon jarak sebagai tempat berteduh beliau di kala panas menyengat. Yunus senang. Besoknya, seekor ulat menghapus kesenangan itu. Pohon jarak itu dibuatnya layu. Marahlah Yunus. Ia marah kepada pohon jarak itu dan kepada Allah. Kepada Allah, ia marah karena dua sebab: Niniwe yang seharusnya dibinasakan malah dipelihara sementara pohon jarak yang harusnya dipelihara malah dibinasakan.

Melihat itu, tanggapan Allah adalah "Engkau sayang akan pohon jarak itu. Padahal tidak sedikitpun engkau berjerih payah dan tidak pula engkau menumbuhkannya! Pohon itu tumbuh dalam satu malam dan binasa pula dalam satu malan. Nah, mana mungkin Aku tidak sayang akan kota Niniwe yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, dengan ternaknya yang begitu banyak? Padahal mereka itu tak tahu membedakan tangan kanan dan tangan kiri!" Masuk akal. Bijaksana.

Kembali lagi, mengapa beliau marah?

Sebelumnya, pernahkah Anda marah, ngambek, kesal untuk hal-hal yang kalau dipikir-pikir ternyata hanya karena kepentingan Anda terganggu?

Itulah juga penyebab nabi Yunus marah. Kepentingannya terganggu. Egonya terusik. Kalau ego terusik dan kepentingan pribadi terganggu, kita bukan hanya akan ngambek atau kesal tetapi bisa marah dengan tingkat kemarahan yang tidak masuk akal.

Ingat itu kalau Anda akan marah hari ini. Renungkanlah itu kalau Anda sudah terlanjur marah.

Ada saatnya demi kebaikan dan keselamatan bersama, kepentingan pribadi dan ego kita harus dikorbankan. Kalau tetap mempertahankan ego, Anda akan kelihatan seperti anak kecil. Sayang 'kan?

Bekal dari Gamaliel

Kamis, Oktober 01, 2009

Kata Maria kepada malaikat itu, "Bagaimana hal itu mungkin terjadi…" (Luk. 1:34)

Atau Anda sudah pernah membacanya. Dan mendengarnya. Dan sudah lupa sama sekali.

Atau, Anda belum pernah sekalipun membacanya. Dan mendengarnya.

Apa itu?

Kisah Rasul Petrus dan Yohanes dihadapkan di depan Mahkamah Agama. Ketika para imam kepala, orang Farisi dan para ahli Taurat hendak membunuh mereka, karena Injil yang mereka wartakan, tampilah Gamaliel. Ia seorang Farisi, "seorang ahli Taurat yang dihormati seluruh orang banyak". Katanya, "Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini! Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatannya berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah"—Anda bisa membaca kisah lengkapnya di Kisah Para Rasul 5:26-42.

Apa pentingnya kata-kata Gamaliel untuk Anda?

Ini: dalam seluruh apa yang Anda lakukan, cita-citakan, impi-impikan, doakan siang dan malam dan yang sedang Anda kejar dan usahakan, ingatlah, jika semua itu sungguh berasal dari Allah, sungguh selaras dengan kehendak Allah, pasti akan terjadi.

Bahkan jika semua orang dan Anda sendiri sudah sampai pada titik di mana pertanyaan "Bagaimana hal itu mungkin terjadi?" mulai kelihatan lebih rasional.

Percaya-lah. Beriman-lah.

Peganglah kata-kata Gamaliel ini sebagai bekal memasuki bulan Rosario ini. Jika doa-doa permohonan Anda pada bulan ini sungguh selaras dengan kehendak Allah, Anda akan memetik hasilnya.

Karena itu di setiap ujung doa permohonan Anda, tambahkan kata-kata sakti Bunda Maria, "Aku ini hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu" (Luk 1:38).

Selamat memasuki Bulan Rosario. Selamat berdoa bersama Bunda Maria. Tuhan memberkati maksud baik Anda. Semoga hasil baiklah yang Anda petik.

Ayat Favorit Hari Ini

Senin, September 28, 2009


"Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah"