Percakapan di Dalam Mobil

Rabu, Juni 29, 2011

 "Udah mau genap 6 bulan ternyata. Cepat bener. Saya ngapain aja ya? Saya udah capai aja selama 6 bulan ini?".

Saya dan romo pemimpin biara sedang berada di dalam mobil menuju ke suatu tempat ketika saya mengatakan kalimat di atas kepada beliau.

Kalimat itu sebenarnya basa-basi. Tahu kan, Anda mulai kehabisan bahan pembicaraan padahal perjalanan masih jauh (dan diam sepanjang jalan agak tidak mengenakan)?

Dengan tersenyum beliau menimpali, "Jangan lupa, tanya juga, apa yang bisa saya syukuri selama 6 bulan ini ya?".

Adakalanya percakapan yang dimulai dengan basa-basi akan berakhir dengan sesuatu yang serius.

Apa yang bisa Anda syukuri dari 6 bulan ini?

P.S: Tadinya saya pengen bilang ke beliau, "Saya bersyukur bisa ketemu romo yang bijaksana". Tapi ntar dikira gombal lagi. Atau gak?

Devil is in the Detail ala Jepang (2)

Selasa, Juni 28, 2011
Seri ke-2 Devil is in the detail ala Jepang. Sebelum tiba di Jepang, saya mendengar kesan nyaris seragam dari mereka yang pernah berkunjung ke Jepang, "Bersih banget. Gak ada sampah berserakan kayak di Indonesia". Bagaimana orang Jepang memperlakukan sampah? Nah, di Indonesia, sampah kita bagi hanya atas dua kategori: kering dan basah. Di Jepang, bisa Anda lihat sendiri di bawah ini.

Lokasi: di dalam ruang makan rumah kami. Kategori sampah di Jepang adalah sebagai berikut:

Bisa baca pengumuman yang sebelah kanan? Gambar di bawah ini adalah tempat-tempat sampah (lagi) di garasi di samping ruang cuci pakaian.

Sampah dibuang menurut jenisnya pada hari yang telah ditentukan. Yang Anda lihat di bawah ini adalah kantong plastik untuk menampung dan membuang sampah. Biru, hijau dan merah. Merah untuk sampah yang bisa dibakar. Biru untuk sampah yang bisa didaur ulang. Dan Hijau untuk sampah yang tidak bisa/boleh dibakar dan didaur ulang. Kantong merah dibuang pada hari Selasa dan Jumat. Sementara hari Rabu giliran kantong hijau. Kantong biru mendapat giliran hari Kamis. 'Dibuang' itu maksudnya ditaruh di depan rumah dan mobil pengangkut sampah akan mengambilnya.

Boneka Anjing dan Lukisan Anggrek

Sabtu, Juni 25, 2011

Beberapa tahun lalu, seorang gadis manis mengatakan kepada teman saya bahwa ia suka anggrek merah. Setelah mendengar pengakuan itu, teman saya menghilang dari pergaulan. Seminggu kemudian, dia menyerahkan lukisan bunga anggrek merah yang sangat indah kepada gadis manis itu. Katanya, "Saya tidak mampu membelikan kamu bunga yang asli, jadi gambarnya saja dulu". Dia melukis bunga anggrek yang indah itu (yang tentu saja jika dihitung harga kanvas, cat dan bingkai akan lebih mahal harganya daripada setangkai anggrek hidup).

Beberapa bulan lalu, di biara ini, kami berencana memelihara seekor anjing. "Mungkin Golden Retriever" kata romo pemimpin kami. Waktu berlalu. Semua orang sibuk sehingga pembicaraan itu terlupakan begitu saja. Sampai suatu malam, romo pemimpin membelikan kami (saya dan satu frater lagi dari Idonesia), masing-masing, seekor anjing. Boneka anjing, persisnya. Tampangnya bisa Anda lihat di foto di atas.

"Kamu harus memberi nama".
Baiklah, Romo. Hati saya, malam itu, hangat karena pemberian itu. Bukan karena boneka anjing yang lucu. Hati gadis manis itu pun hangat. Bukan pula karena lukisan yang indah itu. Tetapi karena seseorang menaruh perhatian pada kata-kata kita, mengingatnya dan diam-diam berusaha mewujudkannya. Sekalipun dengan caranya sendiri. (p.s: saya belum menemukan nama yang cocok, ada ide?)

Asumsi dan Soal Periksa Gigi di Jepang

Dua malam yang lalu, sambil menikmati masakan gurita yang lezat, saya dan romo pemimpin biara ini menonton tayangan di televisi.

"Saya tidak tahu ini channel apa".

Begitupun saya.

Yang pasti tayangan di channel-entah-apa-itu tentang pembuktian ilmiah entahkah Da Vinci Code-nya Dan Brown itu benar adanya.

"Gosh".

Setelah 9 tahun berlalu masih ada saja orang yang penasaran dengan kebenaran di balik kisah fiksi itu.

"Katanya sih kalo kita sudah punya asumsi kuat, apa saja bisa kelihatan seperti bukti".

Romo hanya mengangguk-angguk mendengarnya.

Ngomong-ngomong tentang asumsi, kemarin saya baru memeriksakan gigi ke dokter.

Akhir tahun lalu, sebelum datang ke Nagoya, dokter menambal gigi saya yang berlubang.

Sejak saat itu (dengan kata lain, tidak pernah terjadi sebelum gigi saya ditambal), setiap kali menyikat gigi, selalu ada darah yang keluar.

Dari mana lagi darah ini kalau bukan dari tambalan itu… Dokternya pasti kurang teliti waktu bekerja….

"Frater kali yang nyikat gigi terlalu kasar" kata teman saya ketika saya menanyakan asal darah itu. "Priksa lagi aja ke dokternya".

Tentu saja saya tidak kembali lagi ke dokter yang sama. Tapi juga tidak ke dokter gigi manapun.

Sampai kemarin, dokter membuktikan asumsi saya salah sama sekali.

"Aris-san, gigi-gigi kamu normal. Bagus. Kecuali, dua gigi geraham bagian atas sebelah kiri. Bleeding."

"Bleeding bukan dari geraham bagian atas sebelah kanan yang ditambal itu ya dok?"

Tambalannya bagus. Tidak ada masalah, kata dokternya meyakinkan.

Selama 6 bulan saya hidup dengan asumsi bodoh itu (sambil menyalahkan si A dan si B).

Padahal hanya butuh 5 menit untuk mengetahui kebenarannya.

P.S: Untuk pemeriksaan 5 menit oleh dokter dan pembersihan seluruh gigi bagian atas oleh suster, saya haru membayar Rp. 200 ribu lebih. Jika tidak ada asuransi, saya harus membayar lebih mahal lagi. Asuransi sudah membayar 70 persennya. Rp. 200 ribu lebih itu 30 % dari ongkos sebenarnya.

P.S2: Saya harus kembali lagi ke dokter gigi bulan depan pada waktu yang sama: untuk membersihkan gigi bagian bawah dan entah apalagi. "Di Jepang, ke dokter gigi itu bukan one-time visit" kata romo pemimpin kami menerangkan.

P.S3: Ahhhh…. Jepang ya….

Menikmati Senja Dari Atas Salib

Selasa, Juni 21, 2011

Pukul 19.05. Gereja Hati Kudus Yesus, Johokubashi, Nagoya. Di musim panas, saya memperoleh informasi, matahari baru akan terbenam sekitar pukul 20.00. Sekarang, awal musim panas. Matahari, kelihatannya, mulai terbenam. Di mana tempat terbaik menikmati senja?

Kenangan Yang Tak Mau Pergi (2)

Sabtu, Juni 18, 2011

Menurut hukum yang berlaku di Jepang, korban yang hilang dalam bencana setelah tiga bulan terhitung sejak bencana itu terjadi akan dianggap meninggal. Dan pemerintah wajib menyerahkan semacam dana belasungkawa kepada anggota keluarga yang masih hidup.

Informasi resmi yang terkumpul sampai saat ini tercatat 7,931 orang hilang dalam bencana dahsyat pertengahan Maret lalu.

Tiga bulan sudah. Sekarang, pemerintah harus memberikan semacam dana bela sungkawa kepada mereka yang anggota keluarganya hilang itu.

Ketika saya membaca berita itu (The Daily Yomiuri, 14/06), saya membayangkan dana yang diterima itu akan dipakai keluarga sebagai modal awal untuk memulai lagi hidup mereka.

Tapi itu pikiran saya (yang tidak mengalami langsung bencana itu dan tidak kehilangan orang saya cintai).

Hiromi Miura, ibu 51 tahun, yang selamat dari bencana itu kini hidup bersama dengan mertuanya dan dua orang anaknya.

Ia, sebagai tulang punggung keluarga, tentu saja sangat membutuhkan dana belasungkawa itu untuk menghidupi keluarganya.

Karena itu, ia datang ke kantor pemerintah setempat untuk melaporkan suaminya, Takeshi Miura, yang hilang dalam bencana itu.

Tetapi setelah mengisi semua dokumen yang disodorkan guna pencairan dana itu, ia malah memasukannya ke dalam tasnya.

Dan pulang ke rumahnya.

Untuk Hiromi, melaporkan suaminya hilang sama dengan meyakini suaminya sudah meninggal.

Padahal, Hiromi mengaku, ia bahkan tidak menganggap tiga bulan itu sebagai bukti suaminya sudah meninggal.

Sebenarnya jika dokumen yang sudah diisi itu diserahkan, ia akan menerima 5 juta Yen.

"Saya akan terus mencarinya sampai ketemu".

Hiromi bahkan berharap suaminya masih hidup.

Memilih antara mencintai orang hidup (dan menerima 5 juta Yen) atau mencintai orang mati (dan tidak menerima 5 juta Yen) akan selalu gampang jika kita tidak mengalaminya sendiri.

Akan selalu gampang jika kenangan bisa dihapus.

Kenangan Yang Tak Mau Pergi

Selasa, Juni 14, 2011

Semalam saya berkicau di Twitter tentang kenangan dan luka yang tak pergi dari otak.

Entah ukuran otak yang kecil atau otak kita memang selektif: ada yg otomatis tersimpan, ada yang berlalu begitu saja tak berbekas. Sesekali, kita (sudah dan) akan berharap, otak kita selektif: tidak semua kenangan dan luka harus tersimpan. Agak aneh, otak ada dalam kepala kita, anggota tubuh kita. Tapi adakalanya otak bertindak seenaknya: menyimpan sesuatu yg justru ingin kita lupakan dan melupakan sesuatu yg justru ingin kita simpan. Pada akhirnya otak, katanya, memang 'pilot' tubuh kita.

Minggu (05/06), koran nasional, The Daily Yomiuri, memberitakan lebih dari 8.500 orang hilang sewaktu bencana gempa dan tsunami.

Salah satunya, Yu Miura, bocah perempuan berusia 3 tahun.

Ibunya, Nao Miura, setelah 3 bulan berlalu, masih terus mencari putrinya.

Kepada para pekerja yang bekerja membersihkan reruntuhan bangunan rumahnya, ia berpesan, "Putri saya, badannya kecil. Tolong hati-hati" seolah-olah Yu terjebak di bawah reruntuhan itu.

40 hari setelah bencana, suaminya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.

Untuk Nao, itu berarti, "Yu sekarang sendirian saja di luar sana".

Nao sudah mulai bekerja lagi di tempat penampungan untuk orang lanjut usia. Setiap pagi, setiap kali ia bersiap-siap berangkat kerja, kenangan akan putrinya datang lagi.

"Biasanya Yu akan menangis, mengembangkan tangannya minta digendong dan memohon supaya saya jangan pergi".

Yu anak yang baik. Kapan saja ibunya sibuk di dapur menyiapkan makanan, Yu ikut-ikutan sibuk. Ia suka membantu ibunya.

Suatu hari ketika berjalan-jalan di atas reruntuhan rumahnya, Nao menemukan boneka kumbang (lady beetle), pikirannya melayang mengingat Yu.

"Waktu Yu berusia 2 tahun dia ingin menjadi seperti boneka kumbang".

Kehadiran lady beetle itu seperti pertanda dari Yu.

Nao, yang kini tinggal di tempat penampungan di dekat reruntuhan rumahnya, berjanji untuk tetap di sana sampai Yu ditemukan.

Ada hal-hal yang hanya seorang ibu bisa merasakannya.

Jika saja kenangan gampang dihapus…

P.S: Yu, beristirahatlah dalam damai.

(Salah Satu) Pasar Malam di Nagoya, Setahun Sekali

Sabtu, Juni 11, 2011
Orang Jepang menyebutnya Matsuri. Pasar malam ini tradisi Jepang. Karena bagian dari tradisi, anak-anak sampai remaja, kebanyakan datang dengan mengenakan Yukatta, pakaian tradisional Jepang yang tidak seformal (serumit, setebal dan semahal) Kimono.

Nagoya, Johokubashi, 09.06.2011

Twit tentang Jenis Doa (21/05)

Selasa, Juni 07, 2011

Doa guru bahasa Jepang kami: semoga Nagoya Dragons menang musim ini.

Nagoya Dragons itu klub baseball-nya kota Nagoya. Musim lalu Dragons juara liga se-Jepang. Kota merayakannya dgn SALE di pusat2 belanja.

Guru kami bukanlah fans berat Dragons. Tapi Dragons menang = SALE.

Jadi, ada jenis doa yang kedengaran mulia (utk kepentingan bersama) tapi tujuannya sangat manusiawi (utk diri sendiri).

Hampir lupa, harusnya saya ngetik 'Ibu guru kami'.

Twit tentang Logat (24/05)

Karena profesi saya berinteraksi dengan banyak org dari berbagai daerah dan negara dgn logat dan aksen masing2. #logat

Kedengaran asing, aneh dan lucu. #logat

Tetapi logat itu tanda keberanian. Mereka berani mengambil resiko meninggalkan kenyamanan di rumah sendiri demi hidup yg lebih baik. #logat

Bukan tidak mungkin org2 dengan logat dan aksen yang kental dan lucu ini akan menjadi bos Anda di kemudian hari. #logat

"Kirain... Eh, ternyata..."

Minggu, Juni 05, 2011

Setelah menyaksikan kejadian mengejutkan yang melibatkan orang yang, saya pikir, tidak akan pernah melakukannya, saya menulis di akun twitter saya.

"Tidak peduli profesi, status, gelar, IQ, kecanggihan kata-katanya, orang bisa mengejutkan kita dengan perilakunya".

Pertanyaannya adalah mengapa kita masih bisa terkejut?

Beberapa orang pernah membuat pengakuan tentang pribadi saya sejauh mereka mengenal saya.

"Jadi ya, waktu belum kenal frater saya pikir frater tuh sombong. Ternyata gak juga".

"Kirain frater tipe serius ternyata bisa ngelucu juga".

Pengakuan beberapa orang itu yang dimulai dengan "Kirain…" dan diakhiri dengan "Ternyata…" bukan hanya pengalaman mereka saja.

Saya melakukannya beberapa kali.

"Kirain…".

"Eh, ternyata…".

Jadi, mengapa kita masih bisa terkejut melihat kelakuan orang selama ini kita pikir kita kenal (dan tak akan melakukan hal yang kita lihat itu)?

Mungkin soal cara kerja otak kita.

Saya bukan pakar di bidang cara kerja otak.

Tetapi, rupanya, begitu informasi tentang kepribadian seseorang masuk ke otak kita, otak kita berhenti mencari tambahan data yang lebih lengkap tentang orang bersangkutan.

Informasi itu bisa dalam bentuk yang paling sederhana: kesan. Seperti "Kirain frater sombong…", "Kirain frater tipe serius…".

Mungkin ada maksudnya juga seorang bijaksana, entah siapa, mencetuskan pepatah, "Don't judge a book by its cover".

Kapan terakhir kali orang mengejutkan Anda dengan kelakuannya?

Kapan terakhir kali Anda membuat pengakuan tentang seseorang yang dimulai dengan "Kirain…" dan ditutup dengan "Ternyata…"?

Begitu kesan tentang seseorang dibentuk, otak kita berhenti mencari data tentang orang itu.

Kesan bisa menguntungkan. Bisa juga berbahaya.

Devil is in the Detail ala Jepang (1)

Sabtu, Juni 04, 2011

Pengantar: Devil is in the detail. Orang mengutip idiom ini untuk mengatakan bahwa detail kecil yang dilewatkan bisa jadi akan menyebabkan masalah besar di kemudian hari. Barangkali tidak ada yang lebih mengerti kenyataan ini sebaik orang Jepang. Akan saya tunjukkan kepada Anda mengapa saya bisa seyakin ini. Selamat menikmati seri ‘Devil is in the Detail’ ala orang Jepang.

Seri pertama.

Seri satu.

Seri ke-1.

Dalam soal hitung-menghitung, apapun itu, istilah yang kita pakai sangat terbatas. Kalau tidak satu, dua, tiga… ya pertama, kedua, ketiga…

Tetapi tidak orang jepang.

Seperti yang Anda lihat di gambar, orang Jepang mengelompokkan benda atas besarnya, tingginya, kesamaannya, ketebalannya dan tentu saja makhluk hidup yang manusia atau binatang.

Masing-masing punya istilah hitungnya sendiri-sendiri.

Jika orang Jepang menghitung buah apel atau jeruk atau kunci atau potongan kue, mereka akan menggunakan istilah: hitotsu (1), futatsu (2)

Jika makhluk hidup dalam hal ini manusia: hitori, futari…

Jika CD, kertas, perangko atau baju (yang artinya benda-benda yang tipis): ichimai, nimai…

Jika komputer, sepeda, mobil (dengan kata lain untuk menghitung mesin): ichidai, nidai…

Benda-benda yang bentuknya memanjang seperti payung, pensil, pisang atau pohon: ipon, nihon…

Untuk segelas bir, secangkir kopi, semangkuk nasi, hitungannya ipai, nihai … (tetapi jika gelas bir, cangkir kopi dan mangkuk nasi itu kosong lihat istilah yang dipakai untuk benda-benda yang bentuknya memajang).

Iko, niko … untuk menghitung benda-benda yang kecil seperti permen, karet penghapus, dadu.

Sementara untuk majalah dan buku, digunakan istilah isatsu, nisatsu…

Sedangkan untuk kaus kaki, sandal dan sepatu istilah isoku, nisoku… dipakai.

Meskipun sama-sama makhluk hidup, tetapi kucing dan ikan tidaklah setara dengan manusia maka istilah yang dipakai untuk menghtiung jumlahnya lain lagi: ipiki, nihiki …

Jika Anda sedang berurusan dengan orang Jepang saat ini, kejutkan mereka dengan pengetahuan Anda.

Pastikan Anda tidak menghitung jumlah mereka dengan istilah ipiki, nihiki...

Pelajaran dari Lubang Wastafel

Jumat, Juni 03, 2011

Di rumah ini, dari 17 wastafel (jangan tanya, ini Jepang), ada satu yang mengeluarkan bau tak sedap.

Hanya satu saja.

Saya repot-repot menceritakannya kepada Anda karena satu wastafel yang mengeluarkan bau tak sedap ini ada di kamar saya.

Memang tidak selalu bau tak sedap itu keluar dari lubang wastafel. Kadang-kadang saja (baca: jika, untuk beberapa saat, saya tidak menggunakannya).

"Mungkin karena pipanya sudah tua sehingga harus terus dialiri air" adalah penjelasan yang saya terima.

Jadilah saya, jika sedang berada di kamar, harus memutar keran dan membiarkan air mengalir begitu saja barang sebentar.

Dan itu saya lakukan tiap dua jam sekali.

Apakah saya tidak terganggu? Tentu saja, ini pertanyaan bodoh karena jelas terlalu terang benderang.

Tetapi seperti kata Stephen R. Covey, 'Kita membentuk kebiasaan, setelah itu kebiasaan membentuk kita'.

Saya terganggu.

Tapi itu dulu.

Dari lubang wastafel masih keluar bau yang sama, tapi saya sudah terbiasa.

"Kalo mau, kamu bisa pindah ke kamar lain" tawar Romo pemimpin kami. Dan saya harus kehilangan pemandangan di luar jendela yang, mengutip teman saya, "Million Dollar view" itu?

Pengalaman saya hampir mirip seperti kita melakukan kesalahan.

Terganggu, pada awalnya. Terutama hati nurani.

Tetapi jika kita memilih untuk melakukannya terus-menerus, kita akan terbiasa. Apa yang dulunya kesalahan, sekarang jadi kebiasaan.

Begitu kesalahan jadi kebiasaan, kita mulai mencari alasan dan pembenaran.

Seperti saya dengan alasan tidak mau kehilangan pemandangan sejuta Dollar itu.

Begitu alasan ditemukan, hanya Tuhan yang tahu kapan kebiasaan itu akan berhenti.

50 Years (And Still Count)

Rabu, Juni 01, 2011

Rm. Bryan Taylor MSC, imam MSC asal Australia, merayakan 50 tahun tahbisan imamat. Setengah abad mengabdi Tuhan sebagai pelayan umat-Nya. Tuhan memelihara orang yang dipilih dan dipanggil-Nya. DIA juga memelihara rumah, saudaranya laki-laki, saudaranya perempuan, ayah dan ibu yang ditinggalkannya. Join MSC. We spread God’s love.