Ini cerita favorit saya. Alkisah, seorang ayah dan anaknya sedang menuju kota dari sebuah desa kecil. Perjalanannya cukup panjang, dan butuh waktu tiga jam, dengan berjalan kaki. Sayang, mereka hanya punya seekor keledai.
Mulanya, ayah dan anak naik keledai bersama-sama. Ketika melewati sebuah kampung, mereka diejek penduduk kampung. Mereka dianggap kejam, tak berperasaan, tega menyiksa keledai. Terpaksa sang ayah turun, berjalan kaki sambil menuntun keledai. Ketika melewati kampung kedua, kembali mereka diejek warga kampung. Sang anak dikatakan sungguh durhaka dan tak tahu sopan santun, karena membiarkan ayahnya yang sudah tua berjalan kaki. Sementara ia sendiri enak-enak naik keledai.
Sang anak yang merasa tak enak hati akhirnya turun dari keledai dan bertukar posisi dengan ayahnya. Begitu melewati kampung ketiga, mereka diejek lagi. Giliran sang ayah dikatakan kejam, tak memiliki perasaan dan egois karena tega membiarkan anaknya yang masih kecil, kelelahan berjalan.
Ayah dan anak menjadi serba salah. Setelah berunding di tepi jalan, mereka berdua memutuskan akan jalan kaki saja sambil menuntun keledai. Ternyata tak manjur juga. Di kampung berikutnya, mereka malah ditertawakan dan dianggap bodoh. Punya keledai tapi tidak dimanfaatkan.
Silahkan memetik pelajaran dari cerita di atas. Saya menawarkan salah satunya. Dalam tiap bagian hidup kita, keluarga, pekerjaan, lingkungan pergaulan, pelayanan, di mana saja selalu saja ada apa yang saya sebut (berdasarkan cerita itu) "keledai".
"Keledai" berarti situasi/peristiwa/benda/orang yang awalnya kelihatan akan sangat membantu. Tetapi seiring waktu malah berubah menjadi kerikil. Belakangan, batu sandungan. Ujung-ujungnya hujan batu yang menghancurkan kehidupan pribadi, karir dan relasi Anda. Soalnya memang, susah melacak sejak awal: ini/itu, dia/mereka ini akan menjadi "keledai" atau bukan? Hmmmm…..
Ngomong-ngomong, adakah "keledai" dalam hidup Anda? Sekarang?
0 komentar:
Posting Komentar