Verse of the Day

Rabu, Februari 25, 2009

Lemparan Batu di Kepala

Suatu pagi. Dua belas tahun yang lalu.

Seorang teman dengan sengaja melempar batu sebesar kepalang tangan remaja ke kepala saya. Ia melemparnya dari jarak kurang lebih 15 meter dan mendarat sempurna persis di alis mata kanan saya. Terlalu tiba-tiba kedatangannya. Saya tidak sempat mengelak.

Tidak ada luka, syukurlah. Darah juga tidak. Hanya sakitnya masih bisa saya ingat sampai detik ini.

Pada awal bulan ini Kementerian Agama mengumumkan bahwa angka perceraian melonjak 10 kali lipat dari rata-rata 20.000 kasus perceraian per tahun menjadi lebih dari 200.000 kasus perceraian per tahun selama dekade terakhir ini (The Jakarta Post, 22/02).

Saya baru saja membaca berita itu tadi malam. Rasanya seperti dilempari batu lagi.

Seorang konsultan keluarga yang kerap menangani pasangan-pasangan di ambang perceraian membeberkan beberapa penyebab perceraian: ketidakcocokan lagi, masalah komunikasi, finansial adalah beberapa penyebab perceraian—sebab yang seperti itu sering saya dengar dalam kasus perceraian selebriti yang ditayangkan infotaiment (kadang-kadang saya menonton infotainment juga, hehehe).

Selain alasan-alasan "standar" itu, sang konsultan mengajukan alasan lain. Simak ceritanya.

In the past, people kept on trying to find ways to save the marriage. The unhappiness is handled or maybe accepted or pardoned by a sense of dedication. It might not make them love their spouse but averall the family maybe happy. That's the mechanism that time.

But now they have so many more options. They can talk to their friends, they can chat on the Internet, and they can join many activities. It is different level of challenge. When they're unhappy, it easier to [stray]. It is maybe the side-effect of technology and the opening-up of the world for both men and women.

Now with so many more challenges, people give up more easily. Some couples are only married for a year and say they can't handle it any more.

Maybe this is result of a culture that wants instant result. People forget that marriage is a process.

Saya mengajak kita untuk mempersembahkan masa Pra-Paskah tahun ini bukan hanya untuk pertobatan kita. Mari kita berdoa kepada semua saja yang sudah berkeluarga, baru saja berkeluarga dan akan berkeluarga. Mari kita saling mendoakan semoga pernikahan yang telah disatukan Allah tetap terawat sampai maut memisahkan.

Bagi Anda yang baru saja menikah, tolong, jangan gampang menyerah.

Bagi semua saja, selamat memasuki masa Pra-Paskah, selamat membangun niat dan tindakan tobat.

Rahmat dan berkat Tuhan mendampingi Anda dalam seluruh usaha dan perjuangan Anda.


Giorgio Armani, Iman dan Tanda (2)

Selasa, Februari 24, 2009

Akhir-akhir ini, pertanyaan ini menyita perhatian saya, "Mana yang ada lebih dahulu: iman atau tanda?"

Ini persoalan telur dan ayam.

Pernah suatu waktu seorang teman setengah berkeluh kesah. Katanya, dia sedang jatuh cinta mati-matian kepada seseorang. Dan seperti biasanya, ia memberikan segudang perhatian. Hanya saja, respon dari orang yang dijatuhi cintanya ini biasa saja. Ia menganggap perhatian teman saya ini wajar saja karena tokh mereka berteman akrab. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi teman saya ini selain mundur teratur.

"Dia tidak merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan". Dia menarik kesimpulan sendiri. Mereka masih tetap berteman.

Waktu lain, saya mendengarkan keluh kesah dari seorang teman saya yang masih remaja. Seperti biasa problem remaja, sudah mulai menginginkan kebebasan tapi masih dilarang orang tua. Tetapi yang menarik di ujung keluh kesahnya, ia dengan yakin mengatakan, "saya tau frat kalo ortu ngelakuin itu karena sayang ama saya".

Apa yang bisa dipetik dari kedua kisah ini? Dan apa pula hubungannya dengan persoalan telur-ayam di atas?

Taruhlah kesimpulan teman saya dalam kisah pertama benar. Maka jelas saja respon biasa saja. Ia tidak merasakan hal yang sama. Ia tidak jatuh cinta kepada teman saya. Tidak ada keyakinan dalam dirinya bahwa teman saya mati-matian mencinta dia. Maka apapun yang dilakukan teman saya tidak merubah apapun. Sebanyak apapun tanda cinta yang diperlihatkan teman saya hasilnya seperti menabur garam ke laut.

Sebaliknya, karena yakin bahwa orang tuanya mencintainya dan menginginkan hanya yang terbaik untuknya, teman saya dengan sederhana menafsirkan tindakan orang tuanya sebagai tanda cinta. Bayangkan, kalo saja teman saya ini tidak yakin orang tuanya mencintainya mungkin ceritanya akan lain sama sekali.

Jadi, mana yang lebih dahulu: iman atau tanda?

Mari menengok pengalaman kita.

Saya misalnya.

Ketika saya berdoa dengan segenap keyakinan bahwa Tuhan mencintai saya, bahwa Ia menginginkan hanya yang terbaik untuk saya, bahwa Ia mendengar doa saya dan akan mengabulkan pada saat yang tepat, cerita selanjutnya jauh lebih menarik.

Dengan segera saya akan melihat banyak tanda yang menunjukkan bahwa Tuhan memang sungguh-sungguh mendengar doa. Pertemuan dengan orang tertentu yang mencerahkan atau kejadian tertentu yang memberi inspirasi bagi masalah yang sedang saya hadapi adalah tanda-tanda atau jalan-jalan yang dengan mudah saya lihat sebagai cara Tuhan menjawab doa saya.

Sebaliknya, ketika saya berdoa tetapi tidak meyakini kuasa Allah yang melampaui segala sesuatu yang mustahil, cerita selanjutnya penuh dengan penantian tak berujung.

Sudah ada banyak tanda yang berseliweran di depan mata saya, hanya saja ketidakpercayaan (kurang iman) membutakan mata saya. Lalu dengan putus asa saya menarik kesimpulan sembarangan, "Buat apa percaya kepada Tuhan?" Padahal jelas-jelas start awal saya buruk. Ironis memang.

Jadi, mana yang lebih dahulu: iman atau tanda?

Dalam salah satu perikop Injil (Mrk. 8:11-13), orang-orang Farisi meminta pada Yesus suatu tanda dari surga. Yesus berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda".

Yesus benar.

Kalau orang mengawali sesuatu dengan tidak percaya, mau dikasih seribu tanda yang kongkrit, bisa dilihat, bisa dipegang macam manapun, tidak ada gunanya.

Jadi, beriman lebih dahulu atau melihat tanda?

Selamat berdoa…


Giorgio Armani, Iman dan Tanda

Senin, Februari 23, 2009

Bagaimana weekend Anda?

Semoga ada yang menyenangkan yang terjadi. Kalaupun datar-datar saja malah menyebalkan, paling tidak Anda bisa bersyukur bisa melewatinya.

Syukur Anda masih bisa tiba di hari pertama pekan ini dan menikmati recharge hari ini—asumsinya selama ini Anda menikmatinya (belum ada complain soalnya. Atau, jangan-jangan, tidak dibaca).

Ya sudah. Pindah topik.

Minggu lalu, tidak biasanya majalah TIME langganan saya tiba lebih awal. Itu edisi minggu ini. Bagi Anda yang membaca majalah mingguan ini pasti familiar dengan rubrik 10 Questions. Bagi Anda yang tidak membacanya, ini rubrik yang isinya wawancara seorang tokoh. Uniknya penanya bukanlah wartawan majalah ini. Siapa saja, melalui e-mail.

Tokoh minggu ini Giorgio Armani. Anda tahu siapa dia, bukan?

Saya kutipkan kepada Anda secuil yang membuat saya terheran-heran dan terkagum-kagum.

+ As a fashion designer, do you ever think that people worry to much about their appearance?

I should say, "We are never concerned enough with our appearance!" But it has become so important, how we look to others. Sometimes it is too much. We can be fine in life without the latest Armani dress. We can be happy just seeing a film with friends. But this is the trend now, to worry about our appearance

Mengapa saya heran dan kagum?

Karena pernyataan di atas tidak keluar dari para pengkritik yang biasanya cenderung menilai segala sesuatu dari sudut yang negatif. Ini justru datang dari seseorang yang diuntungkan dari trend "khawatir-terhadap-penampilan" ini, mungkin mereka yang memicunya juga.

Karena, ya, bahkan seorang yang diuntungkan dari tren ini pun prihatin dengan kekhawatiran kita yang berlebihan tentang bagaimana kita terlihat di depan orang lain.

Apa boleh buat, secara alamiah kita memang kebanyakan mengandalkan tanda untuk mengatakan kepada orang lain siapa diri kita.

Secara alamiah kita lebih suka sesuatu yang kongkrit dan riil, yang bisa dilihat dan disentuh.

Misalnya, supaya orang lain tahu saya frater, ada jubah putih yang saya kenakan.

Supaya orang lain tahu Anda sukses dalam pekerjaan atau paling gaul atau paling sadar tren, Anda mengendarai kendaraan jenis tertentu, menenteng tas merek tertentu, menggunakan alat komunikasi tertentu, nongkrong di tempat tertentu, tergabung dalam klub tertentu, menekuni olahraga tertentu. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Seolah-olah berharga tidaknya diri kita ditentukan oleh apa yang kita kendarai, apa yang kita tenteng, apa yang kita pencet, apa yang kita tekuni dan di mana kita menghabiskan waktu.

Tahukah Anda?

Diam-diam, kecenderungan kita mengandalkan tanda yang nyata dan kongkrit menjalar juga dalam hidup rohani kita.

Apa itu?

(Sampai besok ya…)

 

Remember Our Saints: St. Polikarpus

Hari ini, tanggal 23 Februari, Gereja memperingati Santo Polikarpus. Siapa orang kudus ini yang digelari Gereja martir?

Polikarpus seorang murid para rasul. Selaku Uskup di Smirna (Asia Kecil) ia menyambut Ignatius dari Antiokhia yang menuju Roma untuk mati sebagai martir. Beberapa waktu kemudian Polikarpus sendiri pergi ke Roma untuk membicarakan soal perayaan Paskah dengan paus Anisetus. Sebab pada waktu itu pesta Paskah tidak dirayakan pada tanggal yang sama di seluruh Gereja. Polikarpus lalu kembali ke Smirna dan wafat sebagai martir sekitar tahun 155. Ia dibakar hidup-hidup di gelanggang kota.

Ketika hakim membujuk dia untuk meninggalkan iman, Polikarpus menjawab, "Sudah delapan puluh enam tahun saya mengabdi Kristus. Ia tak pernah berbuat jahat kepadaku. Bagaimana mungkin saya menghojat penebus dan rajaku?"

Supaya kita tetap setia kepada Kristus, perlu kita semakin mengenal Dia dan melihat Dia di tengah-tengah kita. Jika kita bersatu dengan Kristus dalam iman, Ia akan menguatkan kita dan menebus kita melalui peristiwa hidup sehari-hari.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Cinta Macam Apa Ini? (2)

Jumat, Februari 20, 2009

Jadi, cinta macam apa itu?

Saya merenungkan pertanyaan ini selama dua hari terakhir ini.

Tentu saja sudah ada banyak perjelasan mengenai hal ini. Dan, tentu saja, Anda sudah mengetahui kebanyakan dari penjelasan itu.

Mulai dari "Meskipun Allah mencintai kita, ada saatnya Ia ingin mendidik kita dan ingin menguatkan otot-otot iman kita".

"Seperti emas yang dimurnikan dengan dibakar dengan tanur api, demikianlah kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam hidup kita untuk memurnikan iman kita".

Sampai ke "Allah punya rencana; apapun itu pokoknya Allah menginginkan hanya yang terbaik untuk kita".

Saya tidak tahu sepanjang perjalanan hidup Anda sebagai orang beriman, penjelasan apa yang paling mengena untuk Anda.

Kemarin, saya mengikuti kuliah tentang media komunikasi. Dan dosen kami yang banyak berkecimpung dalam bidang broadcasting menekankan sifat utama dari komunikasi, yakni personal.

Komunikasi itu personal: pribadi ke pribadi.

Bahkan, "Allah berkomunikasi kepada kita secara personal"

Aha.

Jadi cinta macam apa yang diperlihatkan Allah ketika Anda berada dalam kesulitan? Apa maksud Allah sesungguhnya?

Jawabannya: tergantung.

Tergantung apa?

Ya, tergantung Anda sendiri.

Ingat, Allah berkomunikasi kepada Anda secara personal. Maka makna dari penderitaan, kesulitan dan tantangan dalam hidup Anda bisa sangat personal.

Karena Tuhan berbicara kepada kita secara personal.

Karena itu jangan heran ada sekian banyak penjelasan mengapa ada penderitaan, kesulitan dan tantangan dalam hidup ini padahal Allah mencintai kita sejak awal.

Anda bisa nyaman dengan penjelasan yang satu. Orang lain dengan penjelasan yang lain. Bahkan Anda sendiripun bisa punya penjelasan sendiri.

Mau tahu penjelasan saya tentang cinta macam apa yang Allah tunjukkan?

Ini, "ada saatnya, jauh lebih baik jika pertanyaan tetap tinggal sebagai pertanyaan, misteri tetap jadi misteri supaya saya bisa segera melanjutkan hidup".

Yakin saja bahwa Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang terbaik untuk kita.

Bukankah Ia mencintai kita?

Cinta Macam Apa Ini? (1)

Rabu, Februari 18, 2009

Segera sesudah itu Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya, dicobai oleh Iblis (Mrk. 1:12-13)

Di pintu seorang teman saya pernah terpampang tulisan ini, "Untuk dunia kita hanyalah seseorang, tetapi untuk seseorang kitalah dunianya".

Kapan persisnya kita tahu bahwa kita (sedang) mencintai seseorang? Konon katanya persis ketika seseorang menjadi segalanya, menjadi dunia kita; ketika segala sesuatu tentang dia (pacar, suami, istri dan anak-anak); ketika judul hidup kita berubah dari "kebahagiaan saya" menjadi "kebahagiaan pasangan" dan "kebahagiaan anak-anak"; ketika seluruh energi kita curahkan untuk membahagiakan orang-orang yang menempati tempat istimewa dalam hati dan pikiran kita.

Pokoknya ketika kita mencintai seseorang, kita hanya ingin yang terbaik untuknya. (Bahkan ketika yang terbaik itu, untuk satu-dua teman saya, sama dengan merelakan orang-orang yang mereka cintai pergi dari hidup mereka).

Saya pernah membaca pengakuan seorang ibu, "Kecapaian saya bekerja seharian terbayar tuntas begitu melihat senyum anak-anak saya di rumah".

Begitulah.

Nah, sampai di sini sebetulnya saya mau bilang apa?

Beberapa hari yang lalu saya menulis tentang Yesus yang belum berbuat apa-apa tetapi sudah dikasihi luar biasa oleh Allah. Logikanya, karena Allah mengasihi Yesus seharusnya Allah menjamin semuanya berjalan baik-baik saja dalam kehidupan Yesus, bukan?

Tidak juga.

Baca kembali kutipan Kitab Suci di atas.

Segera setelah pembaptisan dan suara dari langit itu, Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di sana, bukannya melindungi dan memelihara, Allah justru membiarkan/mengijinkan Yesus dicobai oleh Iblis.

Allah baru saja mengatakan bahwa Yesus adalah Putera yang dikasihi-Nya tetapi tidak lama kemudian membiarkan saja Anak kesayangan-Nya ini berhadap-hadapan dengan iblis.

Itu sama saja dengan seorang ibu yang mengatakan kepada anaknya betapa ia adalah segalanya baginya tetapi menit berikutnya membiarkan saja sang bocah bersepeda di jalanan ramai dan padat.

Cinta macam apa ini?

Verse of the Day

Senin, Februari 16, 2009

Walaupun Belum Ada yang Dikerjakan ...

Jumat, Februari 13, 2009

"Inilah Anak-Ku yang kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan" (Mat. 3:17)

Semua Injil, mulai dari Matius sampai Yohanes, mencatat kisah ini: pembaptisan Yesus di sungai Yordan. Lengkap dengan kata-kata yang menyusul setelahnya yang Anda baca di atas. Apa istimewanya kisah ini?

Empat tahun yang lalu seorang teman bertanya kepada saya, "Apakah umat mencintai kita karena sebagai pribadi kita memang patut dicintai? Atau karena kita frater?"

"Kenapa?" tanya saya berusaha meraba arah pembicaraannya.

"Perlakuan umat langsung beda begitu tahu kita frater. Kita lebih diperhatikan dan diistimewakan. Tapi, dengar-dengar, perlakuan umat yang seperti akan langsung berubah begitu tahu kita udah gak jadi frater lagi" jawabnya yang lalu disambung dengan ceritanya tentang beberapa kisah nyata yang membuktikan pernyataan di atas.

Kadang-kadang, tidak bisa dipungkiri bahwa cinta datang bersamaan dengan status yang melekat, prestasi yang dicapai, jabatan yang diemban dan popularitas yang menjulang.

Mungkin itulah sebabnya kita menghabiskan sebagian besar waktu dan energi untuk meningkatkan status, jabatan, prestasi dan popularitas. Karena jauh di dalam hati kita ingin dicintai, didengarkan, dihargai dan diperhatikan. Kalau bisa oleh sejumlah besar orang. Karena jauh di dalam hati, kita takut tidak dicintai, tidak didengarkan, tidak dihargai dan tidak diperhatikan.

Kembali ke pertanyaan di atas, apa istimewanya kisah pembaptisan dan kata-kata dari surga itu?

Semua Injil mencatat bahwa Yesus tampil di depan umum setelah peristiwa pembaptisan itu. Dengan kata lain, sebelum pembaptisan Yesus belum melakukan apapun. Belum ada orang buta yang melihat kembali. Belum ada orang lumpuh berjalan lagi. Belum ada orang mati yang dibangkitkan. Belum ada roti dan ikan yang digandakan. Belum ada Kabar Baik yang diberitakan. Belum ada penderitaan salib. Belum ada kematian di salib.

Belum ada karya apapun. Belum ada ketaatan luar biasa apapun. Belum ada pengorbanan apapun. Belum ada cinta apapun. Belum ada prestasi apapun.

Yesus belum melakukan apa-apa!

Tetapi Bapa di surga sudah mencintai-Nya, "Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan".

Ketika saya menyadari ini, saya langsung yakin bahwa sama seperti kepada Yesus, Allah sudah mencintai saya jauh sebelum saya berpikir untuk menyenangkan hati-Nya dengan sejumlah perbuatan baik; jauh sebelum saya sibuk dengan pelayanan ini dan itu.

Allah sudah mencintai saya jauh sebelum saya melakukan apapun.

Allah sudah mencintai Anda jauh sebelum Anda melakukan apapun.

Bukankah melegakan mendapat jaminan seperti itu: bahwa Allah mencintai Anda sejak semula?

Selamat menyambut hari Valentine. Saya berdoa semoga hati Anda diliputi perasaan dicintai pada momen istimewa ini.

Tuhan mencintai kita sekalian.

 

Kalo Saya Masuk Surga

Rabu, Februari 11, 2009

Saya pernah membaca pertanyaan, "Kalo bisa memilih, dengan siapa Anda ingin seruangan?". (Kadang-kadang, kita memang tidak bisa bebas menentukan pilihan bahkan ketika pilihan itu hanya menyangkut seruangan dengan siapa).

Jawaban saya adalah: seorang dokter dan seorang psikiater.

Bukan. Buang jauh-jauh pikiran itu. Saya tidak sakit fisik apalagi psikis (jauhkan ya Tuhan).

Haya saja, akhir-akhir ini, entah mengapa, saya benar-benar penasaran: bagaimana rasanya menjadi seorang dokter dan psikiater.

Maksud saya kita hanya ingin berurusan dengan orang-orang dari profesi itu ketika sakit. Dan segera setelah sembuh orang-orang ini tidak pernah lagi terlintas di benak kita.

Beberapa kali saya harus bertatap muka dengan dokter. Saya datang dengan sejumlah keluhan mulai dari yang ringan-ringan seperti demam sampai yang parah (menurut saya) seperti asma dan, ya, sakit gigi. Tetapi sesudah semuanya itu berlalu, tidak pernah terpikirkan barang sedetik pun dalam benak saya untuk datang ke tempat praktiknya dan mengucapkan terima kasih. Tidak pernah. Paling tidak sampai saya menulis artikel ini.

Seingat saya, saya biasanya mengucapkan terima kasih juga di ujung percakapan kami setelah resep obat diserahkan. Tapi ya, kalimat apalagi yang pantas diucapkan sebelum "permisi dokter". Jadi terima kasih yang di ujung itu kebanyakan demi urusan sopan santun belaka. Basa-basi.

Mungkin uang sebagai imbalan bisa membayar jasanya. Tapi apakah itu setara dengan ucapan terima kasih yang tulus? Bukankah ada yang tidak bisa dibeli dengan uang?

Jadi, kalo suatu saat saya seruangan dengan dokter dan psikiater, saya hanya ingin tahu: bagaimana rasanya dikunjungi orang-orang hanya ketika mereka sakit dan dilupakan segera begitu sudah sembuh; bagaimana rasanya tidak selalu mendapat ucapan terima kasih yang tulus karena telah membantu proses penyembuhan.

Akhir-akhir ini pula dan entah mengapa pula, rasa penasaran saya melebar: saya penasaran juga kepada Tuhan. Nanti di surga (kalo saya masuk surga, amin), hal pertama yang ingin saya tanyakan adalah, "Bagaimana rasanya diingat hanya ketika kami sedang dalam masalah atau ingin sesuatu? Bagaimana rasanya kalo kami lupa bersyukur begitu doa kami Kau kabulkan?"

Penasaran saja.

Mungkin Tuhan hanya tersenyum. Tapi bisa juga Ia menjawab, "Biasalah, namanya juga manusia".

Apa tebakan Anda?

Remember Our Saints: Sta. Skolastika

Kemarin, tanggal 10 Februari, kita memperingati Santa Skolastika. Apa yang bisa kita petik dari kisah hidupnya?

Skolastika saudari kandung [Santo] Benediktus, lahir sekitar tahun 480 di desa Nursia di Italia. Ia bersama dengan saudaranya membaktikan diri kepada Allah dalam hidup membiara. Maka Skolastika memilih Kristus sebagai satu-satunya kekasih hatinya, dan mencari Dia dalam kesunyian. Untuk itu ia mengikuti saudaranya di Monte Kasino, di mana ia memimpin sebuah biara wanita. Ia meninggal dunia sekitar tahun 547, beberapa minggu sebelum saudaranya.

Kita kadang-kadang cenderung untuk kurang menghargai suatu hidup terasing dari dunia, yang dibaktikan seluruhnya kepada Allah. Padahal, begitu banyak pria dan wanita dengan hidup terasing itu telah menunjukkan kehadiran Kristus kepada orang lain. Apakah kita juga menunjukkan Kristus kepada orang lain dalam hidup kita? Semoga kita mengambil manfaat dari contoh teladan Skolastika.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Menggarami itu bukan NATO

Jumat, Februari 06, 2009

Remember Our Saints: Sta. Agata dan St. Paulus Miki dkk

Kemarin dan hari ini Gereja mengenangkan Santa Agata (05/02) dan Santo Paulus Miki dan kawan-kawan (06/02) yang menjadi martir demi mempertahankan imannya. Siapa mereka dan apa yang bisa kita pelajari dari mereka?

Agata menyerahkan hidupnya bagi Kristus di kota Katania di Sisilia pada pertengahan abad ketiga. Tentang hidupnya tidak diketahui banyak, tetapi ia di seluruh dunia dihormati sebagai perawan dan martir.

Agata tidak ragu-ragu meninggalkan kemuliaan dan kekayaan untuk Kristus. Padahal kita sering terhalang mengikuti Kristus karena perkara-perkara kecil. Marilah kita memohon kepada Tuhan agar Ia membebaskan kita dari rintangan-rintangan itu.

Di belahan dunia lain, di Jepang, Paulus Miki lahir tahun 1565. Ia masuk Serikat Yesus (SJ) dan mewartakan Injil di tanah airnya dengan hasil baik. Waktu timbul penganiayaan melawan orang Katolik, Paulus bersama dua puluh teman ditangkap. Sesudah diperolok-olok atas pelbagai cara, mereka diseret ke kota Nagasaki, dan disalibkan di sana pada tanggal 5 Februari 1597.

Paulus Miki dan teman-temannya telah setia kepada Kristus dan bertekun dalam imannya hingga akhir. Semoga kitapun mengikuti Kristus dengan setia dan berpegang teguh pada iman yang telah kita terima.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Penjaga Kubur dan Seikat Kembang

Rabu, Februari 04, 2009 0 komentar

Saya menerima kiriman surat elektronik dari seorang ibu yang baik hati (makasih ya bu) berisi sebuah cerita yang sangat inspiratif. Selamat membaca. Semoga Anda juga terinspirasi.

Seorang pria turun dari sebuah mobil mewah yang diparkir di depan kuburan umum. Pria itu berjalan menuju pos penjaga kuburan. Setelah memberi salam, pria yang ternyata adalah sopir itu berkata, "Pak, maukah Anda menemui wanita yang ada di mobil itu? Tolonglah Pak, karena para dokter mengatakan sebentar lagi beliau akan meninggal!"

Penjaga kuburan itu menganggukan kepalanya tanda setuju dan ia segera berjalan di belakang sopir itu. Seorang wanita lemah dan berwajah sedih membuka pintu mobilnya dan berusaha tersenyum kepada penjaga kuburan itu sambil berkata, "Saya Ny. Steven. Saya yang selama ini mengirim uang setiap dua minggu sekali kepada Anda. Saya mengirim uang itu agar Anda dapat membeli seikat kembang dan menaruhnya di atas makam anak saya. Saya datang untuk berterima kasih atas kesediaan dan kebaikan hati Anda. Saya ingin memanfaatkan sisa hidup saya untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong saya."

"O, jadi nyonya yang selalu mengirim uang itu? Nyonya, sebelumnya saya minta maaf kepada Anda. Memang uang yang Nyonya kirimkan itu selalu saya belikan kembang, tetapi saya tidak pernah menaruh kembang itu di pusara anak Anda." jawab pria itu. "Apa, maaf?" tanya wanita itu dengan gusar. "Ya, nyonya. Saya tidak menaruh kembang itu di sana karena menurut saya, orang mati tidak akan pernah melihat keindahan seikat kembang. Karena itu setiap kembang yang saya beli, saya berikan kepada mereka yang ada di rumah sakit, orang miskin yang saya jumpai, atau mereka yang sedang bersedih. Orang-orang yang demikian masih hidup, sehingga mereka dapat menikmati keindahan dan keharuman kembang-kembang itu, nyonya," jawab pria itu.

Wanita itu terdiam, kemudian ia mengisyaratkan agar sopirnya segera pergi.

Tiga bulan kemudian, seorang wanita cantik turun dari mobilnya dan berjalan dengan anggun ke arah pos penjaga kuburan. "Selamat pagi. Apakah Anda masih ingat saya? Saya Ny. Steven. Saya datang untuk berterima kasih atas nasihat yang Anda berikan beberapa bulan yang lalu. Anda benar bahwa memperhatikan dan membahagiakan mereka yang masih hidup jauh lebih berguna daripada meratapi mereka yang sudah meninggal. Ketika saya secara langsung mengantarkan kembang-kembang itu ke rumah sakit atau panti jompo, kembang-kembang itu tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi saya juga turut bahagia.

"Sampai saat ini para dokter tidak tahu mengapa saya bisa sembuh, tetapi saya benar-benar yakin bahwa sukacita dan pengharapan adalah obat yang memulihkan saya!"

Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri akan membuat kita terperangkap di kubangan kesedihan. Ada prinsip yang mungkin kita tahu, tetapi sering kita lupakan, yaitu dengan menolong orang lain sesungguhnya kita menolong diri sendiri.

Kata orang, "What goes around, comes around". Setuju. Apa yang Anda tabur, itulah yang Anda tuai.

Apa yang ingin Anda tabur hari ini?

Mesias dalam pelukan

Senin, Februari 02, 2009 0 komentar

["Sekarang, Tuhan, biarkanlah hambamu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan kemuliaan bagi umat-Mu, Israel" (Luk. 2:29-32)]

Tebak kata-kata siapakah itu?

Yang tadi Anda baca adalah kata-kata, lebih tepatnya kidung, yang keluar dari mulut nabi Simeon. Simeon adalah "seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel". Kidung itu diucapkannya demi melihat kanak-kanak Yesus yang ada dalam gendongannya.

"Untuk saya pribadi, kidung ini adalah kidung yang paling indah dari semua doa yang biasanya kita ucapkan. Karena kidung ini mengungkapkan kelegaan yang luar biasa setelah berada dalam situasi kesesakan sekian lama," begitu kata romo yang pagi ini mempersembahkan misa untuk kami.

Benar.

Setelah sekian lama Simeon menanti, bahkan disebutkan "ia tidak akan mati sebelum melihat Mesias", akhirnya yang dinanti itu datang juga. Persis di hadapan matanya. Di dalam pelukannya. Sang Mesias: Pembebas dan Penyelamat.

Mari berdoa semoga Anda dikarunia kelegaan setelah menanggung kesesakan hidup selama ini. Semoga tibalah pelepasan atas beban yang Anda pikul. Semoga Anda memperoleh titik terang atas masalah-masalah yang menutupi hati dan jiwa Anda.

Mari berdoa semoga kelegaan, pelepasan dan titik terang itu hadir persis di hadapan Anda. Di dalam pelukan Anda.

Semoga itu terjadi hari ini. Minggu ini. Amin. Tuhan telah mendengarkan segala keluh kesah Anda, baik yang terucapkan maupun yang tidak terucapkan.

Remember Our Saints: Yesus Dipersembahkan di Kenisah

0 komentar

Dengan kegembiraan yang besar telah kita rayakan pesta kelahiran Tuhan empat puluh hari yang lalu. Dan pada hari ini kita kenangkan hari suci Yesus dipersembahkan di kenisah. Nampaknya Ia memenuhi hukum Taurat, tetapi sebenarnya Ia datang menemui umat yang percaya kepada-Nya. Maka terdorong oleh Roh Kudus, datanglah Simeon dan Hana ke kenisah. Mereka mengenal Tuhan karena ilham Roh Kudus, dan dengan gembira hati memuliakan Dia.

Demikian pula kita sekarang dikumpulkan oleh Roh Kudus. Kitapun pergi ke rumah Allah untuk menyongsong Kristus. Kita akan menjumpai Dia dalam perjamuan Kudus, sampai pada hari Ia datang dalam semarak kemuliaan-Nya.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)