Pelajaran Seribu Perak

Jumat, Mei 29, 2009

Panjang rambutnya setengah mungkin satu sentimeter. Kulitnya gelap. Umurnya mungkin 30-an dengan bibir yang hitam karena rokok. Tingginya 160-an sentimeter. Wajahnya begitu familiar karena saya sering menumpang mobilnya kalau pergi ke Manado atau pulang dari Manado. Hanya saja saya tidak pernah menanyakan namanya. Sore ini saya menumpang lagi mobilnya sepulang dari Manado. Duduk di belakangnya, saya baru memperhatikan, ada tato di lengan kirinya: tato hati ("Mungkin dia tipe melankolis" pikir saya). Tato melankolis itu tidak terlalu besar untuk sekedar pamer tetapi juga tidak terlalu kecil sehingga bisa terlihat dengan jelas.

Di dalam mobil angkot berkapasitas 10 orang itu hanya terisi setengahnya: pak supir bertato melankolis ini dan 4 orang penumpang termasuk saya. Duduk di depan bersama dia, seorang bapak separuh baya.

"Muka". Terdengar suara bapak paruh baya itu. Pak supir memperlambat laju mobilnya dan berhenti. (Sebagai informasi, "Muka" di Manado sama artinya dengan "Kiri" di Jakarta).

Bapak separuh baya itu turun sambil menyodorkan beberapa lembar seribuan. Dan langsung berlalu pergi.

"Om, om…" panggil pak supir. Bapak paruh baya itu menoleh dan mendekat lagi ke jendela mobil.

"Ta lebe saribu" katanya sambil menyerahkan selembar uang seribu. ("Kelebihan seribu rupiah").

Si 'Om' berlalu pergi lagi dalam diam setelah mengambil uangnya.

"Om, om…" panggil pak supir. Lagi.

Si 'Om' menoleh dan mendekat. Lagi.

Pak supir menjulurkan tangannya menyerahkan beberapa keping uang logam. Masih ada uang kembaliannya ternyata.

Si 'Om' menerima. Berlalu pergi lagi. Dalam diam lagi.

"Tu saribu deng kembalian ambil jo tare. Tu om lagi so bajalang kwa" kata salah satu penumpang ketika angkot yang kami tumpangi sudah bergerak lagi. ("Ambil aja seribunya, lagian juga si om udah jalan ini").

Penumpang lain menimpali. Setuju, intinya.

"Cuma saribu lei kong bikin kita berdosa. Cuma saribu lei kong bikin kita pikiran trus malam ini" balas pak supir. Tak ada nada penyesalan dalam suaranya. ("Masa gara-gara seribu perak saya berbuat dosa. Masa gara-gara seribu perak saya gak tenang malam ini").

Wow…

Di tempat tak terduga, waktu tak terduga dan orang tak terduga, saya belajar tentang kejujuran. Bahwa orang tidak tahu atau tidak peduli, itu tidak bisa dan tidak boleh menjadi alasan untuk tidak jujur.

Sewaktu turun dari mobilnya, saya tidak lagi menganggap pak supir ini sebagai hanya-salah-seorang-supir-angkot.

Pak supir ini guru saya sore ini. Ia manusia terhormat.

Tak sia-sia ia sampai memiliki dua hati.

Saya akan berkenalan dengannya kalau saya menumpang lagi mobilnya.

"Terima kasih, pak. Tuhan memberkati segala usaha dan kerja keras Anda". Amin.


 

Inspirasi Hari Ini

Kitab Suci Bisa Menghilangkan Stres??? (2)

Seseorang pernah mengatakan bahwa kadang-kadang kita lebih membutuhkan tertawa daripada makanan. Setuju. Karena makan di saat stres bisa mendatangkan banyak masalah (Anda tahu apa itu!). Mari tertawa (lagi)...

Menumpuk Bara Api

Seorang ibu tersedu-sedan mengadu kepada pendetanya, karena mendapat perlakuan tidak senonoh dari suaminya yang ringan tangan. Percekcokan selalu mewarnai kehidupan keluarga itu.

Maka pendeta pun bertanya, "Sudahkah ibu menumpuk bara api di atas kepalanya?" (Maksud pendeta adalah membalas kejahatan dengan kebaikan/kasih seperti dalam Roma 12:20).

Tetapi, rupanya ibu itu salah paham. Maka dengan spontan dan antusias sambil mengusap air mata ibu itu berkata, "Kalau bara api sih belum pernah, tapi kalau kopi panas, sering…"

Lebih Baik Memberi Daripada Menerima

Seorang kaya namun pelit agak gusar setelah mendengar kotbah dari pendeta yang mengulas firman, "Lebih baik memberi daripada menerima".

Lalu dia mendekati pendeta setelah selesai kebaktian, dan katanya, "Apakah kotbah pak pendeta tadi ditujukan pada saya?"

"Oh… tentu tidak pak, bukankah ayat tadi untuk semua orang?" jawab pendeta datar.

"Asal bapak tahu saja… saya selalu menerapkan ayat tersebut pada setiap pekerjaan saya" sahutnya sedikit meninggi.

"Syukurlah… puji Tuhan, ngomong-ngomong pekerjaan bapak apa?" tanya pendeta.

"Saya petinju pak" jawabnya sambil berlalu pergi.

Pergi ke Neraka

Suatu hari, pendeta berkotbah. Beliau selalu memperingatkan salah satu jemaat yang selalu tidur saat penyampaian firman. Tiba-tiba dengan keras pendeta itu berkata, "Siapa yang ingin ke neraka, berdirilah!"

Dengan spontan jemaat itu berdiri. Semua jemaat tertawa terbahak-bahak.

"Saya tidak tahu yang bapak pendeta katakan barusan, tetapi yang saya tahu hanya saya dan pak pendeta yang berdiri" kata jemaat itu tidak mau kalah.

Doa Makan

Kemarin saya dan istri mengundang beberapa orang untuk makan malam di rumah. Istri saya pun sejak pagi mempersiapkan segala makanannya. Ketika semuya tamu telah datang, ia menyuruh anak kami yang berusia 6 tahun untuk memimpin doa  sebelum makan.

"Ayo nak, kamu yang pimpin doanya".

"Tapi bu, doanya ngomong apa?" katanya.

"Katakan saja yang biasanya ibu katakan" kata istri saya.

Putri kami itu segera melipat tangan dan berkata, "Ya Tuhanku, kenapa sih saya harus mengundang orang-orang ini makan malam?"

Inspirasi Hari Ini

Kamis, Mei 28, 2009

Kitab Suci Bisa Menghilangkan Stres???

Anda sudah membaca banyak. Dan berpikir banyak. Cukup sudah. Mari kita tertawa saja. Tapi saya merasa perlu mengutip peringatan sebuah majalah, "Tidak menjamin humor ini lucu untuk semua orang". Selamat menikmati. Tahukah Anda ayat-ayat Kitab Suci menyimpan potensi menghilangkan stress?

Alkitabiah

Suatu hari, seorang istri sedang bersiap menyantap sepiring pisang goreng yang masih panas…

Suami             : "Ma… bagi dong…"

Istri                  : "Ada tertulis: 'Janganlah kamu mengingini milik orang lain'"

Suami             : "Ada tertulis juga: 'Berilah, maka kamu akan diberi'"

Istri                  : "Hai pemalas, pergilah kepada semut dan contohilah lakunya"

Suami             : "Ada tertulis: 'Kasihilah sesamamu manusia'"

Akhirnya, dengan terpaksa sang istri menyerahkan sebuah pisang goring kepada suaminya…

Istri                  : "Nih, pergilah!! Dan jangan berbuat dosa lagi!!"

Tuhan pengawas makanan

Pada acara retret di luar kota, setelah sesi pertama diselingi dengan rehat untuk snack. Di sisi meja terletak kue pukis dengan tulisan, "Silahkan masing-masing mengambil satu… Awas Tuhan mengawasinya".

Di meja yang lain ada kue kering dengan tulisan, "Silahkan ambil sesuka hatimu… Mumpung Tuhan sedang mengawasi kue pukis".

Menghalalkan dosa

Setelah selesai kebaktian di suatu LP, pendeta Josef berbincang-bincang dengan para narapidana yang ada.

Pendeta         : "Badu, kenapa kamu di penjara?"

Badu               : "Mencopet, pak pendeta"

Pendeta         : "Apakah kamu tidak tahu kalalu itu dosa?"

Badu               : "Tahu, pak"

Pendeta         : "Kenapa kamu lakukan itu?"

Badu               : "Tujuan saya mendidik pak"

Pendeta         : "Mendidik apa?"

Badu               : "Mendidik supaya orang berjaga-jaga, karena Tuhan akan datang seperti pencuri, karena itu saya mendidik supaya orang-orang selalu berjaga-jaga di manapun berada. Untuk itu, barangnya saya copet agar mereka sadar untuk tetap berjaga-jaga sampai Tuhan datang. Kasian kan mereka, kalau Tuhan datang mereka tidur?"

Pendeta         : "Tetapi apakah barang yang kamu ambil, kamu kembalikan lagi?"

Badu               : "Itu kelalaian saya, pak"

Pendeta         : "Bertobatlah kamu, sebab kerajaan surga sudah dekat".

Remember Our Saints: St. Filipus Neri

Rabu, Mei 27, 2009

Tanggal 26 Mei, sehari yang lalu, Gereja memperingati Santo Filipus Neri, seorang imam. Siapa tokoh ini?

Filipus Neri lahir di Florence pada tahun 1515. Ia putera seorang notaris kecil dan masa mudanya berbahagia. Pada umur dua puluh tiga tahun ia pergi ke Roma, di mana ia hidup di antara para gelandangan dan penganggur. Filipus seorang Kristen sejati yang selalu gembira, yang baik hati dan yang pandai bersenda gurau. Sebab itu ia amat disukai oleh semua orang yang mengenal dia, khususnya oleh kaum muda. Ia juga memulai sejenis koperasi untuk orang-orang miskin yang sakit. Pada tahun 1551 ia ditahbiskan imam. Kemudian ia mendirikan perkumpulan Oratorium, dengan maksud memperdalam hidup Kristen anggota-anggotanya melalui bacaan-bacaan yang baik, nyanyian-nyanyian dan karya amal. Pada tanggal 26 Mei 1595 ia meninggal dunia.

Dewasa ini banyak orang ingin memperbaharui masyarakat, tetapi kurang tahu di mana harus mulai. Prinsip Filipus Neri ialah, "Masyarakat dapat diperbaharui dengan kekudusan". Semoga kita berhasil memperbaharui diri kita seturut kehendak Tuhan.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Palingkan Hati ke Luar

Senin, Mei 25, 2009

Pukul 14.00 WITA (dalam kamar pribadi)

Tahun lalu seorang teman dan ibunya yang baik hati mengirimi saya sebuah buku yang bagus, Everyday Greatness. Saya sudah membacanya. Tapi entah mengapa siang ini saya mengambilnya lagi dari rak buku yang saya khususkan untuk buku-buku yang sudah pernah saya baca.

Di salah satu halaman, saya menemukan sepotong kisah nyata dari Pendeta Billy Graham (mungkin Anda pernah mendengar namanya, kalau belum, gampang, google saja).

Seorang wanita menulis kepadaku tentang kebosanan yang dirasakannya ketika anak-anaknya sudah dewasa dan meninggalkan rumah. Kukatakan: "Dahulu, keluarga dekatmu membutuhkan sebagian besar waktu dan kekuatanmu. Sekarang kau dapat memperluas jangkauan cintamu. Ada anak-anak di lingkungan pemukimanmu yang membutuhkan pengertian dan persahabatan. Ada banyak orang tua di sekitarmu yang sangat butuh ditemani, orang buta yang bahkan tidak bisa menikmati televisi yang menurutmu membosankan. Mengapa kau tidak pergi ke luar dan menemukan kesenangan dengan menolong orang lain?" Beberapa minggu kemudian, dia menulis lagi: "Aku mencoba resepmu. Ternyata manjur sekali. Aku telah berjalan dari gelap menuju terang".

Di halaman lain, ada kutipan yang sangat inspiratif.

Dalam pencarian kita tentang makna kehidupan, tempat terbaik untuk memulainya adalah di luar diri kita—dengan memikirkan orang lain dan melakukan perbuatan yang menyiratkan kemurahan hati, sekecil apapun.

Jika Anda belum/tidak lagi memiliki orang-orang khusus tempat Anda mencurahkan cinta Anda, palingkanlah hati Anda ke luar. Selalu ada orang yang membutuhkan perhatian Anda. Sekecil apapun.

Selamat berbuat baik hari ini.

Pukul 06.15 WITA (di kapel saat misa)

Pandangan mata saya tertumbuk pada salah satu ayat dari surat Paulus kepada jemaat di Efesus: "Karena kita ini buatan Allah, yang diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya" (Ef. 2:10).

 

Ayat Favorit Hari Ini

Mencari Pena di Tempat yang Terang

Jumat, Mei 22, 2009

"Kalau kamu mengidap asma, bronkritis itu datang dan pergi seperti flu".

Begitu kata dokter spesialis penyakit dalam ketika saya pergi menemuinya beberapa waktu yang lalu. Setelah menunggu kurang lebih 2 jam (nasib pasien, apa boleh buat)

Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pak dokter separuh baya yang ramah luar biasa itu menenangkan saya.

"Da ba pikir apa do ini?" (Lagi banyak pikiran ya?)

"Nyanda no, cuma banya tugas kuliah" (Enggak kok, cuman banyak tugas kuliah).

Setelah sesi tanya jawab itu yang supersingkat itu, dia sibuk menulis resep. Dan menyodorkannya kepada saya.

"Obat-obat apa ini dok?" Hanya ada dua jenis obat yang tertulis di sana.

"Yang satu sirup for kase lancar pernafasan. Jadi cuman minum kalo rasa nafas sasak. Satu leper cuman ne". (Yang satu melancarkan pernafasan. Hanya diminum kalau sesak nafas. Satu sendok makan cukup).

"Yang satu lagi?"

"Oh, yang itu for redakan stres. Karna kalo bronkritis, laen kali karna stress". (Oh, yang itu untuk redakan stres. Karena sering bronkritis kambuh karena stres).

Apa?

Rasanya saya ingin bertanya, "Lagi becanda ya dok?". Tapi tampangnya serius sewaktu mengatakannya. Sangat.

Setelah menukar resep itu di apotek saya menatap butiran pil di tangan saya.

Obat stress?

Padahal saya benar-benar yakin kalau saya tidak sedang stress. Tugas kuliah memang banyak. Tapi stres? Mmmmm….

Dalam perjalanan pulang, setelah bisa menenangkan diri dari rasa terkejut akibat diagnose dokter, saya mulai berpikir.

Taruhlah saya stres—ya sudah, kadang-kadang dokter suka sok tahu. Berarti penyebabnya dari diri sendiri; masalahnya ada di dalam pikiran saya sendiri. Tapi mengapa solusinya mesti datang dari luar? Mengapa mencari kesembuhan (kalau stres itu bisa dikategorikan sebagai sakit) dari pil-pil ini?

Aneh.

Mungkin ini sebabnya stres, kesepian, kekosongan dan kekeringan dalam jiwa kita jadi berlarut-larut karena kita sering mencari solusi instan di luar diri kita.

Suatu malam. Sembilan tahun yang lalu. Seorang teman saya sedang mencari pena yang, menurutnya, jatuh entah di mana di tempat itu. Melihat dia sibuk sendiri merunduk dan mencari-cari, datang seorang teman saya yang lain lagi yang penasaran.

"Sedang apa?"

"Cari pena!"

"Kenapa cari di tempat yang gelap? Cari di tempat yang terang dong, yang ada lampunya!".

Bodoh, bukan?

Kadang-kadang kita suka salah alamat: mencari pena di tempat yang terang. Padahal jatuhnya di tempat yang gelap.

Masalahnya di mana, cari solusinya di mana.


Remember Our Saints: St. Matias

Kamis, Mei 14, 2009

Hari ini, tanggal 14 Mei, Gereja merayakan Pesta Santo Matias. Siapakah dia?

Matius mengikuti Kristus mulai dari saat Yesus dibaptis oleh Yohanes, sampai pada hari Ia diangkat ke surga. Maka ia dipilih untuk menggantikan Yudas yang mengkhianati Yesus. Dengan demikian Matius menjadi satu dari kedua belas rasul, dan ikut memberi kesaksian tentang kebangkita Yesus.

Lalu mereka [jemaat Kristen perdana] mengusulkan dua orang: Yusuf yang disebut Barsabas dan yang juga bernama Yustus, dan Matias. Mereka semua berdoa dan berkata: "Ya Tuhan, Engkaulah yang mengenal hati semua orang, tunjukkanlah kiranya siapa yang Engkau pilih dari kedua orang ini, untuk menerima jabatan pelayanan, yaitu kerasulan yang ditinggalkan Yudas yang telah jatuh ke tempat yang wajar baginya". Lalu mereka membuang undi bagi kedua orang itu dan yang kena undi adalah Matias dan dengan demikian ia ditambahkan kepada bilangan kesebelas rasul itu (Kis. 1:23-26).

Dalam pemilihan Matias menjadi nyata bagaimana umat Kristen pertama saling mengenal. Mereka sehati sejiwa, dan hidup bersama sebagai saudara. Kitapun harus memupuk semangat persaudaraan dan kerukunan di tengah-tengah umat Kristen. Kesatuan itu harus semakin dikuatkan setiap kali kita berhimpun untuk merayakan Ekaristi, sebab itulah sakramen kesatuan dan cinta kasih.

(Dari: Anggota Keluarga Allah, 1974)

Empat Hari Tanpa Tangan Kanan

Rabu, Mei 13, 2009

Setumpuk pakaian ternyata bisa melumpuhkan hidup.

?????????

Hari sabtu yang baru saja berlalu, saya terbangun pukul 05.10 hanya untuk mendapati pergelangan tangan kanan saya tak bisa digerakkan sama sekali. Dan sakit minta ampun.

"Ok, mungkin saya menindihnya sewaktu terlelap sehingga peredaran darah tidak lancar". Pikiran pertama menghinggapi.

Karena itu saya melakukan aktivitas seperti biasa. Berharap darah akan beredar seperti sedia kala.

Ternyata pikiran pertama itu salah besar. Ini bukan soal posisi tidur dan peredaran darah.

Sore harinya saya tidak bisa lagi memanfaatkan tangan kanan saya. Padahal aktivitas apa yang biasanya dilakukan dengan tangan kanan? Hampir semuanya!

Maka sampai sebelum saya menulis artikel ini, hidup saya lumpuh. Ok, mungkin terlalu didramatisir, hehehe. Persisnya, saya kerepotan setengah mati. Mandi, sikat gigi dan berganti pakaian yang biasanya dilakukan dengan enteng ternyata bisa sangat menyiksa. Itu baru tiga pekerjaan rutin.

"Frater, ba apa kemarin?" tanya ibu tukang pijat langganan para frater. (Frater, ngapain aja hari jumat itu?)

"Sore-sore kita ba cuci pakaian satu loyang basar" (Saya mencuci pakaian satu loyan gede sore harinya).

"Itu no frater. Waktu frater ramas tu pakaian pe banyak urat kecil pergelangan tangan kana". (Itulah sebabnya frater. Sewaktu meremas cucian yang banyak itu, urat nadi kecil di pergelangan tangan keseleo).

"Mar lantaran dingin jadi blum dapa rasa, nanti bangun pagi no baru dapa rasa". (Tapi karena dingin jadi sakitnya baru terasa ketika bangun bangun pagi).

Setelah empat hari tanpa tangan kanan, akhirnya hari ini hidup saya kembali normal. Syukur kepada Allah.

Pelajarannya sederhana saja. Karena menunda, pakaian setumpuk/seloyang melumpuhkan hidup saya. Coba kalau dicicil, ceritanya akan lain. Jadi pelajarannya adalah jangan (lagi) menunda melakukan sesuatu karena sesuatu itu bisa berbuah malapetaka.

Apakah Anda terbiasa menunda-menunda melakukan sesuatu? Mulai berhati-hati, saudaraku. Masa depan siapa yang tahu, kata orang.

Pelajaran lain. Saya baru sadar ternyata saya tidak memiliki rencana B untuk hidup saya. Sama sekali. Hidup saya mengalir, tenang, banyak kali otomatis. Rencana B dalam kasus saya adalah melatih tangan kiri untuk menangani pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh tangan kanan. Karena tidak punya rencana B, maka begitu tangan kanan saya lumpuh, jalannya hidup saya benar-benar terganggu.

Apakah Anda memiliki rencana B dalam hidup?

Mulailah memikirkannya, kalau belum. Suatu waktu Anda pasti membutuhkannya. Dan ketika waktu itu tiba Anda sudah siap.

Setelah empat hari tanpa tangan kanan, di pojok kamar saya pakaian kotor kelihatan mulai menumpuk lagi.

"Sialan".

Ya, ya, ya, hidup berjalan terus. Dengan atau tanpa tangan kanan.


Ayat Favorit Hari Ini

"Tebak Frat, Mirip Siapa?"

Jumat, Mei 08, 2009

Saya sering, karena sengaja atau tidak sengaja, berada di antara kumpulan orang dan terlibat dalam pembicaraan. Pembicaraan itu macam-macam sifat dan tujuannya. Mulai dari rapat resmi (akhir-akhir ini bisa mencapai pukul 02.00 dini hari) sampai ngobrol ngalor-ngidul dengan topik yang jelas atau tidak jelas (sekedar berhaha-hihi).

Di antara sekian banyak kumpulan orang lengkap dengan model pembicaraannya, salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah berada (lebih banyak karena terjebak) di antara ibu-ibu yang berbagi cerita tentang buah hatinya. Lebih khusus lagi kalau ibu-ibu itu tergolong muda yang bayinya masih balita. Dan balita itu anaknya yang pertama.

Seru.

Mereka menarik perhatian saya dan membahagiakan saya.

Yang menarik perhatian saya adalah mendengar cara ibu-ibu ini bercerita tentang pola tingkah bayinya. Ada sesuatu yang khas dalam nada suaranya: ada kebahagiaan terang-terangan; ada kebanggaan yang tak bisa ditutup-tutupi dan ada perasaan berbunga-bunga yang meluap-luap. Tapi juga ada kecemasan tak tertahankan jika sesuatu yang salah terjadi pada bayinya.

Kandungan khas itu amat berbeda ketika mereka beralih topik: kenaikan gajinya atau gaji suaminya, berhasil membeli tas impian, suaminya menyukai masakannya atau caranya berdandan dan merawat diri. Ada kebahagiaan dalam nada suaranya tapi tak lagi sedalam yang di atas.

Dari kelompok ibu-ibu muda ini saya jadi yakin kalau di dunia ini ada tingkatan-tingkatan kebahagiaan.

Satu hal mengenai kelompok ibu muda ini: kalau sudah bercerita tentang bayinya, Anda akan susah menebak di mana ujung percakapan itu. Persis seperti menelusuri sungai penuh air yang terus mengalir entah ke mana.

Tapi itulah bagian yang paling membahagiakan saya. Orang hanya bisa berbicara banyak hal tentang seseorang jika ia memperhatikannya, bukan?

Bayi-bayi itu berada di tangan yang tepat yang mencukupinya dengan limpahan perhatian dan cinta. Tuhan mengirim mereka ke malaikat pelindung yang tepat.

Beberapa waktu lalu dua orang teman saya (ibu-ibu muda) mengirimi saya foto-foto buah hatinya. Yang satu dengan pesan, "Tebak frat, mirip siapa?". Yang lainnya, "Just to keep you update".

Itu hanyalah sepucuk foto dan sebaris pesan. Tapi entah bagaimana saya bisa merasakan kebahagiaan tak terkira di dalamnya.

Maka saya membalas pesan salah satu dari mereka, "You guys must be so happy".


Pohon Nangka Kami

Rabu, Mei 06, 2009

Saya tidak tahu persis umurnya berapa. Siapa yang menanamnya. Apakah memang sengaja ditanam. Atau tumbuh dengan inisatif sendiri. Yang pasti pohon nangka ini tidak henti-hentinya berbuah. Tak henti-hentinya seperti kata pepatah mati satu tumbuh seribu.

Ia berdiri tegak di ujung tempat tinggal kami. Di depan deretan kamar mandi.

Dua hal tentang nangka ini.

Pertama, hal istimewa. Kerimbunan daunnya sungguh-sungguh menjadi penolong bagi kami ketika panas matahari menyengat di siang hari.

Kedua, hal menyebalkan. Ketika tiba masanya, buahnya demikian ranum, masak lengkap dengan aroma yang sangat menggoda. Sempurna, pokoknya. Hanya saja kami tidak pernah bisa (dan belum pernah) menikmatinya. Biar secuilpun. Buah-buahnya membusuk persis sebelum kami bisa menikmatinya dan jatuh begitu saja (sesekali menimpa atap kamar mandi atau kamar frater-frater). Sudah busuk, merusak atap pula. Menyebalkan. Banyak cara sudah kami lakukan tetapi sejauh ini tidak ada yang berhasil. Kadang-kadang kami merasa pohon nangka ini menertawakan usaha kami.

Akhir-akhir ini kami mulai tergoda untuk berpikir apakah tidak lebih baik jika ditebang saja. Alasannya, "Untuk apa memeliharanya jika buahnya tidak bisa kita nikmati?". Daun-daunnya yang berguguran juga cukup merepotkan kami tiap pagi.

Kalau dipikir-pikir kasus pohon nangka kami ini sama seperti kue terenak sedunia yang dikeluarkan dari oven hanya untuk dibuang ke tempat sampah. Sayang sekali.

Kalau dipikir-pikir lebih dalam lagi, kasus pohon nangka kami ini sama seperti kita yang punya bakat dan potensi tetapi tidak pernah dikembangkan sehingga tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik untuk banyak orang.

Bakat, cek.

Potensi, cek.

Kemampuan, cek.

Keterampilan, cek.

Sumber daya, cek.

Tapi membusuk dalam diri sendiri.

Saat menulis ini, saya bertanya-tanya kepada diri sendiri: jika saya tidak berkembang sesuai potensi saya, berapa banyak orang akan tergoda untuk berpikir, "Untuk apa memeliharanya jika buahnya tidak bisa kita nikmati?"

Untuk apa kita diciptakan?


Karena Kita Bukan Nangka

Remember Our Saints: St. Atanasius, St. Filipus dan St. Yakobus

Senin, Mei 04, 2009

Dua hari yang lalu, tanggal 02 Mei, Gereja memperingati Santo Atanasius, seorang Uskup dan pujangga Gereja. Siapakah dia?

Atanasius lahir di kota Alexandria pada tahun 295. Ia menemani uskupnya ke Konsili Nicea di mana dinyatakan bahwa Kristus sungguh Allah. Tahun 328 Atanasius menjadi uskup Alexandria, lalu memimpin keuskupan itu selama empat puluh lima tahun. Dengan tegas ia melawan ajaran Arius yang mengatakan bahwa Kristus bukan Allah. Karena itu Atanasius sampai lima kali terpaksa melarikan diri dari kota keuskupannya. Ia menulis banyak untuk menerangkan dan membela iman yang benar. Tahun 363 ia meninggal dunia di Alexandria.

Dewasa ini kita menghadapi soal yang sama beratnya. Bukan saja Kristus tidak diakui sebagai Allah, tetapi orang seringkali hidup seolah-olah tidak ada Allah sama sekali. Semoga iman kita kepada Kristus tetap utuh dan berpengaruh dalam hidup kita.

Kemarin, tanggal 03 Mei, Gereja memperingati Santo Filipus dan Yakobus, keduanya adalah rasul.

Filipus, seorang murid Yohanes Pembaptis, lahir di Betsaida di Galilea. Ia kemudian mengikuti Kristus, dan dipilih menjadi satu dari kedua belas rasul. Pada perjamuan malam terakhir Filipus minta kepada Yesus, "Tuan tunjukkanlah Bapa kepada kami, maka kami akan merasa puas". Yesus menjawab, "Filipus, orang yang melihat Aku, sudah melihat Bapa".

Rasul Yakobus, saudara sepupu Yesus, dan anak Alfeus. Ia memimpin umat di Yerusalem dan membawa banyak orang Yahudi kepada iman akan Kristus. Dalam suratnya ia mengajak kita agar iman kita nyata dalam tingkah laku. Yakobus mati sebagai martir tahun 62.

Filipus dan Yakobus percaya kepada Kristus dan mengikuti Dia. Marilah kitapun sungguh-sungguh percaya kepada Kristus, dan menyatakan iman itu dalam tingkah laku kita.

(Dari: Anggota keluarga Allah, 1974)