Bali, suatu malam. Saya duduk bersama seorang teman. Kami berbagi cerita sambil menikmati sepoci Chinese tea yang, seperti biasa, panas dengan rasa yang khas. Ketika itu teman saya mengatakan ini, "Life is just like a cup of Chinese tea: bitter".
Saya langsung mengangguk setuju.
Hidup memang pahit. Walau tidak seluruhnya, saya tahu. Untuk beberapa dari kita lebih sedikit pahitnya dari pada manisnya. Untuk beberapa lagi dari kita hidup ini setengah manis dan setengahnya lagi pahit. Untuk beberapa yang lain dari kita hidup ini lebih banyak pahitnya daripada manisnya.
Pahit tidak selalu soal materi, soal banyak atau sedikit. Pahit juga soal cinta, keluarga, pasangan hidup, pekerjaan, pelayanan dan pertemanan.
Ngomong-ngomong soal Chinese tea, seingat saya, saya mengenalnya belum lama. Januari 2007 persisnya, kalau tidak salah. Orang yang memperkenalkan saya kepada Chinese tea ini memberi keterangan, "frater, Chinese tea ini bagus untuk kesehatan. Orang Tionghoa suka makan daging babi. Nah, Chinese tea ini fungsinya menetralisir lemak babi dalam tubuh supaya jangan berubah menjadi penyakit".
Begitu tahu manfaatnya saya dengan senang hati meminumnya. Walau pahit rasanya kalau minus gula.
Jadi, teh yang pahit ini ternyata sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh.
Oscar Wilde, seorang penulis, pernah mengatakan, "What seems to us as bitter trials are often blessings in disguise". Setuju. Banyak pengalaman menunjukkan itu. Pahit pada awalnya tetapi belakangan ternyata malah menjadi berkat. Tak jarang, seperti disebut Wilde, apa yang kelihatannya pahit sebenarnya berkat.
Hanya saja memang, kalau bisa dapat es teh manis kenapa mesti Chinese tea? Teh yang pertama jelas-jelas murah, manis dan menyegarkan. Pokoknya enak. Enak? Apa yang kelihatan enak dan sempurna, ternyata, bisa berbahaya. Es batunya, katanya, dari air kotor dan gulanya tentu saja bisa mengakibatkan diabetes.
(Barangkali saya mulai harus mempertimbangkan secara serius untuk berhenti minum es teh manis).
0 komentar:
Posting Komentar