Apa beda antara Tuhan dan seorang selebriti di penghujung konser musiknya?
"Selamat Natal". Tentu saja itu yang sebenarnya ingin saya sampaikan pertama kali kepada Anda semua.
Bagaimana Natal Anda?
Saya melewatkan malam Natal dengan 17 umat di sebuah stasi kecil di pesisir danau Tondano. "Besok pasti lebih banyak lagi yang datang ke Gereja, frater. Biasanya juga begitu," kata ketua stasi sehabis ibadah. Jumlah umat di stasi itu, katanya, 22 kepala keluarga.
Ibadah yang seharusnya dimulai jam 20.00 WITA bergeser satu jam kemudian. Yaaaa, semua orang sibuk menyiapkan kue-kue dan lauk-pauk untuk besok hari. Asal tahu saja, pesta Natal di Manado benar-benar pesta dalam arti harafiah: semua orang mengenakan pakaian pesta ke Gereja, ibu-ibu menyiapkan makanan istimewa dan kue-kue yang tersedia hanya pada waktu Natal saja. Ibu yang rumahnya saya tinggali tidak tidur semalaman, masak ini dan itu.
Persiapan mereka sedemikian rupa sehingga waktu ibadah 25 Desember bergeser pula satu jam, dari rencananya 10.00 WITA. Yang hadir dalam ibadah hampir 30 umat.
Sehabis ibadah, saya ditemani beberapa umat berkeliling ke rumah-rumah umat: saling mengucapkan selamat (sekali lagi, yang pertama sehabis ibadah) dan tentu saja menyantap hidangan yang sudah dipersiapkan. Pukul 23.00 saya baru pulang ke rumah di mana saya menginap. Capek: capek fisik, capek makan. Tapi puas dan bahagia.
Keesokan harinya, seorang teman mengirim pesan pendek "May the miracle of Christmas renew your faith, refresh your spirit and touch your heart".
Saya teringat 2 kejadian kecil yang saya alami dalam kunjungan ke rumah-rumah hari kemarin. Kejadiannya sama persis: dua orang anak yang menangis yang satu berusia 1 tahunan dan yang lain 3 tahunan. Yang satu tahunan ini menangis ketika mamanya meletakannya di kursi yang khusus untuk bayi. "Dia lapar kayaknya," tebak saya dengan percaya diri. "Bukan frater. Dia nangis karena tahu kalo udah duduk di situ gak bisa bergerak ke mana-mana lagi," kata mamanya. Mamanya lalu mengeluarkan dia dari kursi. Benar saja. Tangisnya terhenti. Dan dengan segenap rasa penasaran yang mengebu-gebu, ia bergerak ke sana ke mari, menyentuh apapun yang bisa ia sentuh. Papanya harus cepat-cepat memindahkan barang pecah belah dari jangkauannya.
Di rumah lain, bocah 3 tahun menangis. Saya masih bertahan dengan tebakan yang sama. "Dia ngantuk frater, emang ini jam tidurnya," kata ibunya. Benar lagi. Sebentar saja dalam pelukan ibunya, ia sudah terlelap.
"Bagaimana nasib dua bocah ini kalo saya jadi orang tuanya? Nangisnya apa, saya ngasihnya apa," batin saya.
Tetapi setelah direnung-renung, bukankah demikianlah cara Tuhan mencintai kita? Teman saya pernah bilang, "Tuhan bukannya mencintai SEMUA orang, Dia mencintai SETIAP orang". Cinta-Nya tidak pernah bersifat massal.
Tuhan kita bukanlah seorang selebriti yang berteriak kepada para penggemarnya sehabis konser "Love you all" tapi tidak pernah benar-benar mengenal seorang pun, apalagi mencintainya.
Tuhan mencintai orang per orang. Ia mengenal saya dan Anda dan mencintai kita luar-dalam.
Orang lain bisa tidak mengenal kita, tidak segera menangkap kebutuhan kita dan tidak cepat-cepat memahami kita. Tuhan sebaliknya. Ia mengenal kita satu persatu. Ia memperlakukan kita dengan unik pula. seperti ibu-ibu yang mengenal tangis bayinya dan dengan cepat mendeteksi penyebabnya. Sementara saya selalu salah menebak. Dia menjawab doa kita dengan caranya yang unik pula, yang bisa jadi pas untuk saya tetapi tidak pas untuk Anda, pas untuk Anda belum tentu pas untuk saya. Tuhan sangat memahami kalau Anda seorang pendoa tulen, pembaca Kitab Suci yang aktif dan rasanya berdosa kalau seharipun terlewatkan tanpa Rosario. Tetapi Tuhan juga mengerti kalau Anda jenis yang sedikit alergi dengan pembicaraan yang sedikit-sedikit merujuk Kitab Suci. Sama
Begitulah cara Tuhan mencintai kita: sangat personal.
Dua kejadian itu benar-benar membuat harapan teman saya menjadi kenyataan: Natal kali ini membaharui iman saya, menyegarkan jiwa saya dan menyentuh hati saya.
Bagaimana dengan Anda?
0 komentar:
Posting Komentar