"Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang tak kusukai," kata Will Rogers. Si koboi jenaka Amerika yang hebat itu bisa berkata demikian mungkin karena hanya sedikit, kalaupun ada, orang yang tidak menyukainya. Peristiwa yang terjadi ketika Rogers masih remaja di Oklahoma bisa menjelaskan hal ini.
Pada musim dingin 1898, Will mewarisi sebuah peternakan di dekat Claremore. Suatu hari, seorang petani yang tinggal di dekat situ membunuh seekor sapi milik Will yang merusak pagarnya dan memakan jagungnya yang masih muda. Menurut kebiasaan, si petani harus memberitahu Will apa yang telah dilakukannya dan mengapa. Dia tidak melakukannya, dan ketika Will mengetahui kejadian itu, dia menjadi berang. Dengan amarah yang meluap-luap, dia memanggil tenaga pembantu untuk menemaninya dan mengendarai kuda hendak menemui si petani untuk menyelesaikan urusan itu.
Dalam perjalanan menuju rumah si petani, angin kencang datang menerpa, dan menyelimuti kedua koboi dan kuda mereka dengan es. Ketika mereka tiba di rumah si petani, orangnya sedang pergi. Tetapi, istrinya bersikeras agar kedua orang yang kedinginan itu masuk ke dalam rumah dan berdiang di dekat perapian sambil menunggu suaminya pulang. Sambil berdiang, Will mengamati betapa kurus dan lelahnya wanita itu. Dia juga melihat lima orang anak kurus kering mengintipnya dari balik kursi.
Ketika si petani pulang, istrinya bercerita bahwa Will dan temannya telah diserang angin dingin. Will sudah akan mulai memakin si petani, tetapi tiba-tiba menutup mulutnya dan justru mengulurkan tangannya. Si petani yang tidak tahu maksud kedatangan Will, menerima tangan yang diulurkan itu dan mengundang keduanya untuk makan malam. "Tapi, hanya ada sayur kacang," katanya minta maaf, "karena badai telah mengacaukan penjagalan ternakku." Kedua tamu itu menerima undangan makan malam yang ditawarkan.
Selama acara makan itu, teman Will menunggunya untuk mengatakan sesuatu tentang sapinya yang disembelih si petani itu, tapi Will malah terus saja tertawa dan bercanda dengan keluarga itu. Diamati mata anak-anak yang berbinar setiap kali mereka menyebut-nyebut daging sapi yang akan mereka santap besok dan beberapa pekan yang akan datang.
Badai masih terus menerjang di saat makan malam usai, sehingga si petani dan istrinya bersikeras agar kedua tamunya menginap. Dan mereka pun menginaplah.
Keesokan harinya, mereka berangkat setelah kenyang sarapan dengan kopi hitam, kacang panas, dan biskuit. Will masih tetap tidak mengemukakan alasan kedatangannya. Di saat mereka beranjak pergi, teman Will mulai mengomelinya, "Kukiran kau hendak memarahinya karena membunuh sapi kita,"katanya.
Will terdiam beberapa saat, kemudian menjawabnya, "Tadinya memang akan kumaki dia, tapi kemudian aku berpikir. Tahu gak, sebetulnya aku tidak kehilangan sapiku. Aku menukarnya dengan secercah kebahagiaan manusia. Ada jutaan sapi di dunia ini, tetapi kebahagiaan manusia itu barang yang langka."
Will tiba di rumah keluarga petani itu dengan menyiapkan bisa di lidahnya dan seorang berbadan kekar di sampingnya. Tetapi, keadaan keluarga itu dan sorot kelaparan yang dipancarkan mata anak-anak itu membuatnya tertegun dan menyadari bahwa ada kalanya dalam kehidupan ini ada pertempuran yang lebih baik tidak dilakukan—ada sapi yang lebih baik dibiarkan saja.
(Dari: David K. Hatch, Everyday Greatness, 2007)
0 komentar:
Posting Komentar