Ini cerita dari pelayanan saya membawakan komuni kudus kepada orang tua dan orang sakit yang (sudah) tidak bisa (lagi) ke Gereja pada hari Minggu. Ada 17 orang yang biasanya saya layani.
Kali ini saya hanya akan menampilkan 3 saja dari antara mereka.
Tanyakanlah kepada ketiga orang ini, apa artinya hidup untuk mereka. Dan inilah jawabannya (dengan dialek Manado yang kental).
Pertama. Seorang opa yang pada 4 Februari nanti genap berusia 74 tahun. "Kita pernah dengar orang pande bilang, 'Hidop ini kebanyakan nda beruntung'. Maksudnya, supaya torang jadi lebe sabar. Kita stuju. Co frater liat jo frater pe hidop". (Saya pernah dengar orang pandai bilang, 'Hidup kita isinya kebanyakan ketidakberuntungan'. Maksudnya supaya kita menjadi lebih sabar. Saya setuju dengan pendapat orang pandai itu. Lihat saja hidup frater).
Bagi opa yang selama 40 tahun akrab dengan diabetes itu, hidup adalah tentang belajar menjadi sabar. Kesabaran, kualitas yang membuat hidup ini cukup berharga untuk dijalani dan dinikmati.
Dan rasanya ia pelajar yang baik. Ketika mengatakan kalimat di atas, senyum lebar tersungging di bibirnya. Teduh. Menyejukkan. Seolah-olah diabetes selama 40 tahun—dengan diet dan pantang ini dan itu yang menyebalkan itu—hanyalah ketidakberuntungan kecil seperti kehilangan dua ribu perak di antara lembaran lima puluh ribuan.
Kedua. Seorang opa, lagi. Hanya jauh lebih tua sepuluh tahun.
Ketika mengantar komuni kepadanya tiga minggu yang lalu, ia bertanya, "Oma ada berdoa pa kita di surga lei to?" (Oma juga berdoa untuk saya di surga kan ya?).
Tatapan matanya menerawang. Jauh.
Untuk opa yang baru saja ditinggalkan istrinya yang telah dinikahinya selama 56 tahun, hidup adalah tentang rindu yang tak tertahankan; tentang kehilangan yang tak tergantikan; tentang cinta yang tak berakhir sekalipun maut sudah memisahkan; tentang setia sampai maut mempertemukan kembali dirinya dengan istrinya; tentang kesendirian dan kesepian di usia senja.
Ketiga. Seorang pria muda perantau dari Flores berusia 22 tahun. Ia selamat dari kecelakaan tragis sepulang dari tempat kerja. Selamat nyawanya tetapi tidak kedua kakinya. Tulang paha kiri dan kanannya patah. Yang bisa ia lakukan hanyalah tidur dan duduk di atas tempat tidurnya.
Ketika saya mengantar komuni kepadanya pada kali yang ketiga, ia berkata mantap, "Tuhan masih mencintai saya".
Baginya, hidup adalah tentang bersyukur atas campur tangan Tuhan; tentang percaya pada kasih-Nya. Bahkan ketika dalam keadaan menderita; ketika masa depan masih gelap sama sekali. "Tuhan punya cara untuk memelihara saya" katanya lagi. Hidup adalah juga tentang memelihara harapan bahwa Tuhan-lah yang mengatur masa depan.
Sekarang, apa arti hidup yang sementara Anda jalani?