Minggu, 03 Januari 2010. Pukul 13.00 WITA.
Saya duduk makan siang dengan seorang teman baru. Seorang bukan Katolik yang dalam usia muda, 22 tahun, sudah dipercayakan menjadi manager sebuah cabang usaha di Manado (dan mencetak rekor omzet gila-gilaan hanya dalam waktu setahun).
"Setamat SMA saya memulai karir di bidang ini sebagai pembagi brosur di mall" paparnya.
"Bagian paling menjengkelkan dari pekerjaan membagi brosur kepada pengunjung mall adalah ketika mereka menolak brosur yang saya ulurkan".
Ternyata bukan hanya menjengkelkan. Sakit hati dan kecewa. Campur aduk perasaan yang muncul akibat ditolak tersebut, katanya.
"Sekarang, setiap kali seseorang menyodorkan brosur, apapun, kepada saya, saya akan mengambilnya. Karena saya tahu benar perasaan yang muncul kalau tidak diambil".
Lagipula, lanjutnya, tidak ada ruginya juga. Dibaca atau tidak, itu urusan belakangan.
"Thanks" kata saya menanggapi ceritanya.
"Huh?" Keningnya berkerut.
"Sekarang saya tahu apa resolusi saya di tahun yang baru ini".
"Huh? Apa?" Dia semakin bingung.
"Saya akan selalu menerima brosur yang disodorkan kepada saya".
Dia tertawa. Mungkin pikirnya saya bercanda.
Tetapi saya tidak bercanda. Saya sedang serius. Sangat.
Ceritanya membuat saya menyadari, ini bukan soal brosur.
Ini soal menyenangkan hati seseorang. Membuatnya merasa diterima oleh dunia yang keras. Membuatnya tetap memelihara harapan ia akan memperoleh sesuap nasi. Ini soal membahagiakan orang lain, biarpun sesaat. Dengan cara kecil dan teramat sederhana.
Ini soal menghadirkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam hidup seseorang.
Kata-kata teman baru saya ini masih terngiang di telinga, "Tidak ada ruginya juga".
Jadi, mengapa tidak?
Apa resolusi tahun baru Anda?