"Saya juga pernah mengalami hal yang sama. Bla-bla-bla"
Kadang-kadang begitu kalimat pertama yang meluncur bebas dari mulut saya menanggapi curhat seorang teman.
Selanjutnya jelas, saya bisa bercerita panjang lebar tentang apa yang saya alami yang saya sebut "sama" itu. Atau saya tidak bercerita tentang pengalaman yang sama itu tetapi langsung ke "waktu itu saya gini-gini-gini". Maksud tak terucap dari cerita-cerita itu adalah "coba deh jalan keluar ini. Berhasil loh untuk saya".
Biasanya sampai di situ sesi curhat berakhir. Saya anggap nasehat saya ditangkap dengan baik. Saya mampu memecahkan masalahnya. Topik pembicaraan berpindah.
Belakangan ini saya sadar anggapan saya itu selama ini keliru 120 %: tidak ada masalah yang terpecahkan. Sesi curhat itu memang berakhir tetapi tidak menyelesaikan apa-apa.
Dari mana kesadaran ini muncul? Pengalaman pribadi.
Suatu kali, belum lama ini, saya menceritakan pengalaman yang benar-benar tidak mengenakan kepada seorang teman. Tebak ia memulai tanggapannya dengan kalimat apa? Anda benar.
Saya langsung ilfil.
"Erggggg, saya hanya ingin didengarkan".
"Situ emang pernah mengalami hal yang sama, so what? Tetap saja ada bedanya," begitu batin saya.
Sesi curhat kami berakhir. Pada saat yang sama, terbitlah rasa puas di wajahnya karena merasa bisa menyelesakan masalah saya.
Saya pernah baca di sebuah edisi majalah Reader's Digest kalimat ini, "Kita tidak selalu mengharapkan diberi jawaban atau nasehat. Kadang-kadang yang kita butuhkan hanyalah seorang teman".
Setuju banget. 200 %.
2 komentar:
Setuju frat...
Entah kenapa, menceritakan masalah kita sendiri ke orang lain itu bisa memberikan kelegaan yang luar biasa...
The power of curhat mungkin?
dan biasanya kita diminta (secara gak langsung, atau mungkin ini sudah hukum alam) untuk "just be friends and supportive".
tadi baru diajarin sama om jack canfield. itu namanya ekspresi emosi.
Posting Komentar