Ketika masih bayi, seluruh dunia itu berarti keluarga kita. Hanya mereka yang kita kenal. Hanya mereka yang dekat dengan kita.
Dan di mata kita, merekalah yang terbaik.
Bertumbuh, bertambah umur dan bertambah lingkup pergaulan, kita menjadi sadar keluarga kita hanyalah salah satu keluarga di antara banyak keluarga Dan seluruh dunia itu isinya bukan hanya keluarga kita.
Lalu kita mulai membanding-bandingkan keluarga kita dengan keluarga lain. Beranjak dewasa, kita menjadi sadar mana sesungguhnya yang terbaik.
Hampir seperti tinggal di Jepang memberi saya kesempatan untuk membandingkan dengan negara sendiri, Indonesia.
Terisitimewa di kala bencana seperti sekarang ini.
Berita-berita di layar kaca di sini penuh dengan perkembangan bencana terdahsyat sepanjang sejarah di negara ini. Persis seperti di Indonesia, kala Merapi meletus misalnya.
Bedanya adalah berita-berita bencana di Jepang tak punya soundtrack.
Tak sama seperti lagu-lagu Ebiet G Ade di layar kaca di Indonesia yang diputar di setiap permulaan berita.
Berita bencana di Jepang tak dimulai dengan potongan-potongan gambar mengerikan dan menyayat hati. Seperti di Indonesia.
Tak ada running news text di bagian bawah layar kaca yang mengabarkan rekening peduli dari lembaga ini dan itu.
Running news text di layar kaca di sini menginformasikan nomor telepon yang bisa dihubungi jika Anda mencari sanak keluarga yang menjadi korban.
Dan saya belum melihat di berita di layar kaca itu ada partai politik yang genit mendirikan posko bencana lengkap dengan bendera berkibar.
Saya belum mendengar, melihat dan membaca pertanyaan seperti mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi? Atau, adakah alam marah?
Perdana menteri dan aparat pemerintah yang menangani bencana tidak mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi sambil memberi keterangan tentang penanganan bencana. Tidak. Mereka mengenakan pakaian kerja seperti layaknya montir di bengkel di Indonesia.
Mereka muncul di layar kaca, meminta maaf atas ketidakcekatan mereka dan memaparkan apa yang sudah dan akan mereka lakukan. Sambil meminta semua masyarakat waspada dan bahu membahu membangun kembali Jepang.
Tidak ada acara menginap di tempat pengungsian. Tidak ada acara main gitar dan menyanyi bersama pengungsi.
Sehari setelah bencana dahsyat itu, saya terpana melihat di layar kaca. Bukan berita. Saya terpana melihat pembawa beritanya, seorang pria dan seorang wanita.
Teristimewa busana yang mereka kenakan.
Mereka mengenakan pakaian sebagaimana lazimnya pembawa berita seperti juga di Indonesia.
Yang membuat saya terpana adalah helm putih yang bertengger di atas kepala mereka.
Helm yang lazimnya dipakai oleh pekerja pabrik.
Pesan mereka jelas: kita waspada terhadap bencana yang mungkin masih akan datang, tetapi mari mulai bekerja.
Sekarang saya mengerti mengapa setelah luluh lantak oleh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang bangkit secara mengagumkan.
Mereka pernah mengalami kehancuran, lalu bangkit kembali dan sukses
Saya yakin Jepang akan melakukannya lagi.
Helm putih di atas kepala pembawa berita itu adalah pertanda.