(Salah satu) Cara Menikmati Hidup

Selasa, September 23, 2008 1 komentar
Liburrrrr...

Akan terbit lagi tanggal 06 Okt' 2008. See you all.

Dari Kursus Bahasa Inggris

Senin, September 22, 2008 0 komentar

Kalau tidak salah saya sudah pernah mengatakan kalau sekarang kami sedang mengikuti kursus bahasa Inggris. Nah, ini salah satu cerita dari kursus itu.

Hari selasa, minggu lalu, guru kursus kami bercerita tentang sejarah Indonesia. Ya, Anda tidak salah baca: sejarah Indonesia. Mulai dari Soekarno sampai Papua. Ia benar-benar bercerita. Bukan menyebutnya sambil lalu. Ceritanya lebih lengkap dari keterangan guru sejarah saya di SMP dan SMA.

Sepanjang ia bercerita saya menatapnya kagum sambil bertanya-tanya dalam hati, "kemana aja saya selama ini?"

Bagaimana tidak kagum, guru kami ini punya darah Irlandia. Tinggal di Australia. Tidak ada persinggungan biologis apapun dengan Indonesia. Tetapi di hadapan sejumlah frater yang 100 % asli Indonesia ia bercerita dengan pengetahuan yang lengkap, penuh detail dan mendalam tentang Indonesia, negeri asal kami sendiri. Saya tidak tahu apa-apa tentang sejarah Australia. Apalagi Irlandia.

Saya pikir hanya saya yang merasa demikian. Frater-frater yang hadir dalam kelas hari itu merasakan juga hal yang sama.

Semalam ketika merenung-renung untuk tulisan hari ini, saya tiba-tiba ingat pengalaman lain. Beberapa kali saya mendengar cerita-cerita dari umat yang pernah saya layani tentang kejadian yang mirip. Hanya saja bukan sejarah Indonesia dan bukan dengan orang bule. Juga bukan dalam kursus bahasa Inggris.

Katanya, dalam beberapa kesempatan mereka harus mendengar teman atau kenalan mereka yang bukan agama Katolik berbicara tentang Katolik, agama mereka sendiri. Dengan pengetahuan yang lengkap dan detail. Dan bisa ditebak pastilah dari mulut mereka tidak ada respon penuh keyakinan atau bantahan atau argumen atau apapun itu namanya. Yaaaaa, mengingat pengetahuannya tentang Katolik hanya begitu-begitu saja.

Apa yang salah dalam dua pengalaman ini? Mungkin ini: kita terbiasa memperlakukan banyak hal sebagai taken for granted: gratis, terberi, dan karenanya jalan begitu saja. Tidak merasa perlu mendalami juga. Sekadarnya. Yang sudah ada cukuplah. Pada tingkat ekstrim tidak perlu disyukuri juga.

Banyak hal itu seperti nafas, kesehatan, alam, (dalam kasus saya dan beberapa umat saya) sejarah asal dan agama. Bisa juga orang tua, anak-anak, siapapun atau apapun yang kita cintai.

Saya ingat sebuah pepatah bahasa Inggris yang bagus, we don't know what we've got until it's gone. Saya lebih suka menerjemahkannya sebagai kita tidak (terlalu) peduli pada apa yang kita miliki sampai ia hilang.

Baru ketika dokter memberitahu bahwa saya mengidap asma, saya lebih menghargai dan mensyukuri nafas kehidupan. Baru ketika guru kursus kami bercerita tentang sejarah Indonesia, saya gelagapan dan ingin tahu lebih. Baru ketika ada orang lain yang bercerita tentang Katolik dengan lengkap, mereka buka Kitab Suci dan tanya ini-itu.

Mungkin itu cara Tuhan mengingatkan kita akan banyak hal dalam hidup ini. Syukurlah.

Ngomong-ngomong, apakah Anda sudah bersyukur untuk orang-orang yang Anda cintai yang masih bersama-sama Anda?

Dari File Lama: Pagi Itu

Jumat, September 19, 2008 0 komentar

Pagi itu, 3 tahun lalu, ketika saya masuk ke dalam kelas sebuah SMA untuk mengajar, terpampang pemandangan ini: 30-an siswa-siswi berwajah letih dengan mata yang redup berjuang menahan kantuk.

"Baru pulang dari study tour kemarin," kata ketua kelasnya memberi alasan. "O ok. Kalo gitu gak ada pelajaran hari ini," kata saya.

"Trus?" Seisi kelas menatap saya. Menunggu jawaban.

"Kita bikin acara kreatif: games atau apalah yang bikin semangat".

"Hari 'kan masih panjang; masih ada pelajaran-pelajaran lain abis ini," jelas saya. Ada kegairahan di mata mereka. Mungkin bukan karena ide games-nya. Tetapi karena pengumuman tidak ada pelajaran tadi. "Iyalah, saya pernah SMA juga," batin saya yakin.

"Siapa yang ada ide, silahkah. Saya mulai lebih dulu."

"Teman-teman," kata saya "mari kita mulai permainan ini".

"Pejamkan mata dan bayangkan Tuhan sendiri hadir di dalam ruangan ini, di hadapan anda. Bayangkanlah….. Ia berdiri di sini, di depan anda sambil mengatakan 'Anak-Ku mintalah 3 hal dan akan Ku-kabulkan saat ini juga".

"Saya kasih waktu lima menit untuk memikirkan dan meminta 3 hal itu. Kemudian buka mata dan sharingkan apa yang kita minta kepada Tuhan".

Hening. 1 menit berlalu, 2 menit, 3 menit, 4 menit dan …. 5 menit. "Selesai".

Keributan pecah. Begitu ramainya sampai saya sendiri heran, kemana perginya wajah-wajah letih tadi. "Teman-teman, silahkan, siapa yang mau sharing?"

Setiap orang bergiliran menceritakan permintaannya. Mulai dari yang masuk akal seperti "saya minta sama Tuhan supaya saya bisa lulus ujian nanti" sampai yang aneh-aneh seperti "saya minta sama Tuhan kemampuan menghilang. Biar kalo saya lagi backstreet ama pacar, begitu ketemu mamanya saya bisa langsung menghilang".

Sampai giliran seorang siswi. Ia berdiri. "3 permintaan terlalu banyak. Saya minta satu saja dari Tuhan, boleh?" tanyanya. "Silahkan," jawab saya cepat. "Saya pengen minta sama Tuhan supaya papa dan mama saya bersatu kembali seperti dulu. Saya kangen ama papa-mama saya". Lalu ia duduk. Menundukkan wajahnya di atas meja. Dan menangis.

Sunyi seketika. Papa-mamanya bercerai ketika ia berumur 6 tahun. Ia hanya tinggal dengan pembantu karena keduanya menolaknya.

Mengingat peristiwa pagi itu saya baru menyadari: ada jenis kehilangan dan rasa sakit yang hanya bisa dirasakan dan ditanggung oleh orang itu sendiri. Segala kata-kata peneguhan dari kita sesungguhnya tidak banyak membantu. Yang bisa kita lakukan hanyalah ada di sana. Untuk dia. Kalau-kalau ia butuh telinga untuk didengarkan, bahu untuk menangis dan pelukan hangat untuk menenangkan.

Ayo, Nikmatilah Hidup Ini

Kamis, September 18, 2008 0 komentar

Sehabis kuliah yang melelahkan (kami baru saja berdiskusi soal hubungan Katolik-Islam di Indonesia), saya menemukan sebuah tulisan pendek nan menggugah. Pernah mengalami kelelahan mental atau fisik lalu menemukan sesuatu yang menyegarkan? Kurang lebih begitu juga yang saya rasakan sambil mengetik tulisan ini untuk Anda.

Seberapa luas dunia yang Anda ciptakan? Banyak orang hanya memiliki dunia seluas meja tulisnya. Atau sepetak ruang kerjanya. Atau mungkin sebesar gedung kantor saja.

Pandanglah keluar.

Tebarkan pandangan Anda.

Carilah ujung cakrawala.

Nikmati cahaya matahari sore dalam perjalanan Anda ke rumah.

Dunia Anda jauh lebih luas dari yang Anda sangka. Ruang yang tersedia bukan hanya antara rumah dan ruang kerja Anda. Anda dihadiahi lautan, hutan, mata air, pegunungan dan keindahan alam lainnya. Sadarilah bahwa semua ini tak kalah berharganya. Karena itu jangan sia-siakan waktu Anda. Jangan ragu untuk meninggalkan pekerjaan Anda. Esok masih ada. Kecuali Anda mau menyesal karena di saat pandangan Anda mulai mengabur barulah menyadari keindahan alam ini.

Pekerjaan Anda bisa menunggu. Namun waktu tidak. Umur Anda pun tidak akan kembali. Waktu adalah anak panah yang melesat kencang. Anda tak mungkin melambatkannya, apalagi menghentikannya. Selama masih ada waktu, nikmatilah kehadiran Anda di bumi. Nikmatilah hidup ini. Ketika Anda menghargai betapa berharganya itu semua, Anda akan lebih menghargai kehadiran Anda yang mungil di tengah alam semesta yang maha luas ini. Kehadiran Anda bagian dari alam ini. Hiduplah penuh keseimbangan.

Story of the Day

Selasa, September 16, 2008 0 komentar

Suatu hari seorang guru bertanya kepada murid-muridnya, "Mengapa ketika seseorang dalam keadaan sedang marah, ia akan berbicara dengan suara kencang atau berteriak?"

Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab, "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia berteriak".

"Tapi," sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada di sampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara dengan pelan dan halus?"

Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan. Maka sang guru lalu berkata, "ketika dua orang dalam situasi marah, jarak antara kedua hati mereka amat jauh walaupun secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian mereka harus berteriak".

"Namun anehnya semakin keras mereka berteriak, semakin mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati merekapun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi".

Sang guru masih melanjutkan, "sebaliknya apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tidak hanya tidak berteriak, suara yang keluar dari mulut merekapun begitu halus dan kecil. Tetapi sehalus apapun keduanya bisa mendengar dengan begitu jelas".

"Mengapa demikian," tanya sang guru lagi sambil memandang murid-muridnya.

Mereka nampak berpikir amat dalam tapi tak ada satupun yang memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, tak berjarak. Sebuah pandangan mata saja sudah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin disampaikan".

Sang guru masih melanjutkan, "ketika Anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu Anda".

Remember Our Saints: Santo Kornelius dan Santo Siprianus

0 komentar

Tanggal 16 September, hari ini, peringatan wajib Santo Kornelius, paus, dan Santo Siprianus, uskup, martir.

Kornelius menjadi uskup Roma pada tahun 251. Mula-mula sebagian umat tidak mau mengakui dia, sebab menganggap dia kurang tegas terhadap orang Kristen yang murtad waktu penganiayaan. Tetapi dengan pertolongan Siprianus, Kornelius berhasil mengatasi perlawanan itu. Tahun 253 ia wafat sebagai martir di pembuangan. Jenazahnya kemudian dibawa ke Roma dan dikebumikan di sana.

Siprianus lahir di Kartago dari keluarga kafir sekitar tahun 210. Setelah bertobat, ia menjadi imam, dan pada tahun 249 dipilih sebagai uskup Kartago. Pada masa penuh pergolakan itu ia amat baik memimpin umatnya dengan tindakan dan tulisan. Pada masa kaisar Valerius ia disuruh meninggalkan kota, dan pada tanggal 14 September 258 Siprianus mati sebagai martir.

Kornelius dan Siprianus percaya kepada Kristus dengan segenap hatinya, dan bersedia mempertaruhkan nyawanya demi imannya. Apakah kita rela berjuang guna mempertahankan iman di tengah kesukaran hidup sehari-hari?

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

P.S: Buat teman-teman MRC, "A Nice Cold Bear"-nya udah nyampe. Thanks ya untuk dukungan dan doa-doanya. Tetap semangaaat… Saya dukung dengan doa dari sini, from Pineleng with love.

Remember Our Saints: Santa Perawan Maria Berdukacita

Senin, September 15, 2008 0 komentar

Tanggal 15 September, hari ini, peringatan wajib santa perawan Maria berdukacita.

Santa perawan Maria berdukacita menyaksikan Puteranya menderita sengsara dan wafat di salib. Pada saat itu terlaksana perkataan Simeon waktu Yesus dipersembahkan di kenisah. Yesus telah menjadi tanda yang menimbulkan pertentangan, dan hati Maria ditembus pedang. Namun Maria dengan tabah berdiri di kaki salib dan ikut menderita. Ia tidak berbuat apa-apa. Ia hanya berdiri di situ dekat pada Yesus. Pastilah Yesus terhibur olehnya. Iapun tidak lupa akan ibu-Nya, dan meminta Yohanes memelihara Maria. Pada saat itu juga Yesus menunjuk Maria menjadi bunda kita.

Kitapun kadang-kadang tak dapat berbuat apa-apa untuk meringankan penderitaan yang kita saksikan. Maka kita ingin lari dan menutup mata terhadapnya. Sikap Maria lain. Ia dekat dan ikut menderita. Bagaimanakah sikap kita?

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

CLiGspiration: Praktikkan Cinta yang Teguh

Jumat, September 12, 2008 0 komentar

Benang merah dari kehidupan yang yang penuh makna dan sukses adalah disiplin diri. Disiplin memungkinkan Anda melakukan semua hal yang menurut hati Anda sebaiknya dilakukan, namun Anda tidak pernah merasa senang untuk melakukannya. Tanpa disiplin diri, Anda tidak akan dapat menentukan tujuan dengan jelas, mengatur waktu Anda dengan efektif, memperlakukan orang lain dengan baik, melalui hal-hal sulit,memerhatikan kesehatan, atau memikirkan hal-hal positif.

Saya menyebut kebiasaan disiplin diri ini dengan "Cinta yang Teguh" karena tegas kepada diri sendiri sebenarnya adalah gerakan mencintai. Dengan tegas kepada diri sendiri, Anda akan mulai menjalani hidup secara lebih hati-hati, menurut cara Anda sendiri, daripada menyikapi hidup seperti selembar daun yang suatu hari mengapung di aliran sungai mengikuti jalannya arus.

Seperti yang saya ajarkan, semakin Anda tegas kepada diri sendiri, hidup akan semakin mudah Anda jalani.

Kualitas hidup Anda pada akhirnya dibentuk oleh kualitas pilihan dan keputusan Anda, mulai dari karir yang Anda pilih hingga buku-buku yang And abaca, mulai dari saat Anda bangun setiap pagi hingga hal-hal yang Anda pikirkan sepanjang hari itu. Jika Anda selalu konsisten untuk mengambil keputusan-keputusan yang Anda tahu benar (bukan hanya mudah), Anda akan kembali mengendalikan hidup Anda. Orang yang efektif dan merasa puas tidak menghabiskan waktu mereka untuk melakukan hal-hal yang paling nyaman dan paling mudah. Mereka memiliki keberanian untuk mendengarkan hati mereka dan melakukan hal-hal yang bijaksana. Kebiasaan ini membuat mereka menjadi orang besar.

"Orang yang sukses memiliki kebiasaan melakukan hal-hal yang tidak disukai oleh orang yang gagal," tulis E.M Gray, seorang penulis esai dan pemikir. "Mereka tidak senang melakukannya walaupun perlu. Namun ketidaksenangan ini ditempatkan di bawah kekuatan tujuan mereka." Penulis Inggris di abad 19, Thomas Henry Huxley, juga memperoleh kesimpulan yang sama, katanya, "Mungkin hasil yang paling berharga dari semua pendidikan adalah kemampuan membuat diri sendiri melakukan hal-hal yang harus Anda lakukan, ketika memang harus dilakukan, tidak peduli Anda senang atau tidak dalam melakukannya."

Aristoteles, seorang filsuf, melihat poin kebijaksanaan ini dengan cara lain: "Apa yang kita pelajari untuk kita lakukan, kita belajar dengan melakukannya: manusia menjadi seorang pembangun, misalnya, dengan membangun. Orang menjadi pemain harpa dengan memainkan harpa. Sama halnya, dengan bertindak adil, dengan bertindak terkontrol, kita dapat mengontrol diri sendiri, dan dengan bertindak berani, kita menjadi pemberani".

(Dari: Robin Sharma, Who Will Cry When You Die?, hlm. 9-10).

P.S: Masih ingat tulisan saya yang "Apa Masalah Anda?" Ini sambungannya. Dalam bahasa yang lebih serius. Kata kuncinya masih tetap sama: disiplin, disiplin dan disiplin. Asal tahu saja saya masih tetap setia memberi makan mujair-mujair kami sehabis misa pagi (emang penting ya? Hehehe).

"Ampunilah Mereka Ya Tuhan..."

Kamis, September 11, 2008 0 komentar

Sewaktu masih di paroki saya suka tersentuh dengan mereka-mereka yang di tengah kesibukannya masih menyisihkan waktu untuk apa yang disebut sebagai "pelayanan". Di sini istilah pelayanan jarang diperdengarkan. Yang ada adalah terlibat aktif dalam paroki. Sudah sibuk dengan urusan karir/pekerjaan dan keluarga masih ikut mengurus paroki, dalam bidang macam-macam.

Saya jarang tersentuh kalau yang melakukan itu kami para kaum berjubah. Karena yaaa memang itu tugas kami. Tidak ada istimewa-istimewanya. Kami ada untuk pelayanan.

Dari mereka-mereka ini tak jarang pula saya mendengar cerita-cerita tentang kenyataan yang "tidak seharusnya terjadi di lingkungan gereja". Tapi faktanya terjadi juga. Cerita-cerita itu tak jauh-jauh dari kesalahpahaman, gosip, tidak dimengerti, tidak dihargai, merasa bekerja sendirian, kurang bertanggung jawab, ds, dst.

Pokoknya seputar kekecewaan, sakit hati dan frustrasi tentang ini dan itu.

Baru dua hari lalu saya bercerita dengan mantan pembimbing rohani saya, seorang romo, MSC juga, yang sudah lumayan lama makan asam garam pelayanan.

Di tengah percakapan seru, karena lama tidak berjumpa, dia mengatakan ini, "Kata-kata Yesus ketika disalibkan haruslah menjadi bekal bagi kita dalam pelayanan, apapun itu bentuknya".

"Yang mana?" tanya saya.

"Ampunilah mereka ya Tuhan karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".

"Pelayanan yang sejati menuntut pengampunan yang terus menerus. Kita harus selalu mengampuni mereka yang kita layani. Hanya dengan begitu kita akan tetap setia dalam pelayanan kita. Pelayanan yang kita lakukan pun berasal dari hati yang tulus."

Saudara-saudariku terkasih, kalau saat ini Anda sementara terlibat dalam pelayanan di gereja dan harus berhadapan situasi-situasi yang mengecewakan dan membuat sakit hati, berdoalah seperti doa Yesus di salib.

Dan lanjutkan pelayanan Anda. Melayani itu seperti memanggul salib. Pada akhirnya kita selamat. Begitupun orang lain yang kita layani.

Silahkan menerapkannya juga dalam kehidupan karir maupun keluarga.

"Ampunilah mereka ya Tuhan karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat".

CLiGspiration: Ucapan Turun Temurun

Rabu, September 10, 2008 1 komentar

Di Roma, pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius, ada seorang laki-laki yang baik hati. Dia mempunyai dua putra. Yang seorang masuk militer dan telah dikirim ke wilayah-wilayah paling jauh dalam kekaisaran itu. Putra satunya seorang penyair yang memukau seisi Roma dengan syair-syair yang indah.

Suatu malam sang ayah bermimpi. Ada malaikat mendatanginya dan menyampaikan bahwa ucapan salah seorang putranya akan dikenal dan dibicarakan di seluruh dunia hingga turun-temurun. Sang ayah terbangung dari tidurnya dan menangis penuh rasa syukur, sebab hidup ini begitu murah hati kepadanya, dan telah mengungkapkan hal yang pasti membuat bangga ayah mana pun.

Tak lama sesudahnya, sang ayah meninggal ketika mencoba menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir dilindas roda-roda kereta perang. Karena selama ini sang ayah menjalani hidupnya dengan benar dan saleh, dia langsung masuk surga. Di sana dia bertemu malaikat yang telah mendatanginya dalam mimpi.

'Selama hidupmu kau orang yang baik. Kau menjalani hidupmu dengan penuh kasih, dan meninggal secara terhormat. Maka aku akan mengabulkan apa pun permintaanmu.'

'Hidup telah bermurah hati padaku', kata sang ayah. 'Ketika kau muncul dalam mimpiku, aku merasa segala usahaku tidak sia-sia, sebab syair-syair putraku akan dibaca orang hingga turun-temurun. Aku tidak menginginkan apa-apa untuk diriku sendiri. Tapi ayah mana pun tentu akan bangga kalau anak yang dirawatnya sejak kecil dan diberi pendidikan hingga dewasa menjadi orang terkenal. Aku ingin mendengar ucapan anakku di masa depan.'

Maka malaikat itu menyentuh bahu sang ayah, dan mereka pun dibawa ke masa depan. Mereka berada di sebuah lapangan sangat luas, dikelilingi ribuan orang yang berbicara bahasa yang tidak mereka pahami.

Sang ayah menangis bahagia.

'Sudah kuduga syair-syair putraku akan abadi' katanya pada malaikat itu di tengah-tengah air matanya. 'Bisakah kau katakan padaku, syair-syair mana dari putraku yang diucapkan orang-orang ini?'

'Syair-syair putramu yang menjadi penyair sangat populer di Roma itu, semua sangat menyukai dan menikmatinya. Tapi setelah masa pemerintahan Tiberius berakhir, syair-syairnya terlupakan. Kata-kata yang kau dengar saat ini adalah dari putramu yang masuk militer.'

Sang ayah terperangah memandang malaikat itu.

'Putramu dikirim ke tempat jauh dan menjadi centurion (pemimpin pasukan 100). Dia orang yang adil dan baik hati. Suatu siang salah seorang pelayannya jatuh sakit dan sepertinya akan mati. Putramu mendengar ada seorang rabi yang bisa menyembuhkan penyakit, maka ia pun berkuda berhari-hari untuk mencari rabi ini. Dalam perjalanannya dia diberitahu bahwa laki-laki yang dicarinya ini adalah Anak Alah. Dia bertemu dengan orang-orang yang disembuhkan dan belajar tentang ajaran-ajaran rabi itu. Tak lama sesudahnya, ia tiba di tempat yang sedang dikunjungi rabi yang dicari-carinya itu.'

Dia mengatakan pada rabi itu bahwa salah seorang pelayannya sakit parah. Rabi itu bersiap-siap ikut pulang bersamanya. Namun begitu besar iman perwira Romawi ini, dan saat memandang ke dalam mata rabi itu, dia yakin yang ada di hadapannya ini Anak Allah.

'Beginilah ucapannya kepada rabi itu yang tidak pernah dilupakan hingga turun-temurun, "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh"'.

"Setiap orang di dunia ini, apa pun pekerjaannya, memainkan peran penting dalam sejarah dunia. Dan biasanya orang itu tidak menyadarinya." (The Alchemist – Paulo Coelho)

(Dari: Ferdynando, www.ferdydsavio.co.cc)

Koq Pakai Itu?

Selasa, September 09, 2008 0 komentar

Saya baru saja (maksudnya semalam) membaca sebuah penelitian yang dilakukan oleh Deborah Tannen. Ia seorang psikolog dan pakar komunikasi.

Penelitian apa?

Tidak jauh-jauh dari bidang ilmu, tentu saja. Dia meneliti hubungan ibu dan puterinya yang ia lukiskan sebagai "so unique and yet so complicated". Hasil penelitian ini dituangkannya dalam sebuah buku menarik berjudul You're Wearing That?

Membaca judulnya saja saya bisa membayangkan ekspresi wajah dan nada suara seorang ibu demi melihat penampilan putrinya yang tidak berkenan di hatinya.

Maka saya menerjemahkannya dengan "Koq pakai itu?".

Ini salah satu hasil penelitiannya: para ibu, katanya, mengungkapkan kasih sayang, perhatian dan kekhawatirannya kepada putrinya dengan cara mengomentari penampilan dan baju yang dikenakannya. Seolah-olah putrinya masih berumur 5 tahun. Para ibu menganalisis dan lalu menunjukkan (dengan memerintah?) bagaimana seharusnya putrinya ini berpakaian; bagaimana seharusnya dia mengurus dirinya; bagaimana seharusnya dia berpenampilan. Para ibu ini ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli pada putrinya dan ingin putrinya berkembang dengan baik.

Apa yang terjadi? Memang para putri ini lalu berpenampilan sesuai dengan kemauan ibunya; mengganti bajunya lagi, dst, dst. Tetapi lebih banyak dilakukan dengan perasaan marah dan terluka.

Sang ibu puas melihat penampilan anaknya. Sementara anaknya terluka karena tidak didengarkan dan dihargai.

Ini soal komunikasi. Tepatnya proses komunikasi yang dilalui.

Dalam komunikasi sebetulnya pertama-tama bukan soal apa yang mau dicapai saja. Tetapi pertama-tama proses bagaimana sesuatu itu mau dicapai. Bukan hanya hasil akhir saja. Tetapi juga bagaimana mencapai hasil akhir itu.

Mengapa ada banyak hasil akhir yang hanya baik pada awalnya saja tetapi tidak bertahan lama? Ya itu tadi: proses yang dilaluinya tidak memperhitungkan sisi manusiawi (ingin didengarkan dan dihargai).

Ada kalanya ketidaksetujuan dan lalu pemberontakan berasal dari keinginan untuk didengarkan dan dihargai saja.

Karena itu, selamat berdialog.

Kata kuncinya: mendengarkan, mendengarkan dan mendengarkan.

P.S: penelitian itu dilakukan di Amerika. Saya tidak tahu apakah hubungan yang demikian terjadi juga di Indonesia. Jadi soal komunikasi yang saya singgung di atas hanyalah antisipasi kalau-kalau begitu juga di sini. Yaaa, semacam just in case.

CLiGspiration: Pelajaran Tidak Tiba Dengan Mudah Tapi...

Senin, September 08, 2008 0 komentar

Sekarang, kebanyakan dari kita di planet ini telah kehilangan hubungan dengan diri sejati kita, keadaan asli di mana kita tidak takut untuk melangkah menuju kemungkinan dan meraih bintang-bintang. Kita tidak mengetahui siapa diri kita. Kita berubah menjadi orang yang bertingkah egois, ketakutan dan sakit hati. Kelakuan ini bukanlah cerminan dari kepribadian inti kita, tetapi sebaliknya merupakan cerminan dari luka yang kita derita saat kita meninggalkan kepolosan di mana kita dilahirkan dan mulai berkelana melewati perjalanan hari-hari kita. Hanya orang yang berada dalam kesakitan yang dapat melakukan hal-hal yang menyakitkan. Hanya orang yang telah disakiti yang dapat menyakiti orang lain. Hanya orang dengan hati tertutup yang dapat bertindak dalam cara yang kurang mencintai.

Seluruh alasan kita hidup, saya percaya adalah untuk tumbuh menjadi diri kita yang terbesar dan mengingat kebenaran tentang siapa diri kita pada dasarnya. Kehidupan akan mendukung Anda dengan sempurna dalam pencarian ini. Anda akan menemui orang, kejadian dan pencobaan yang akan mengundang Anda untuk mengungkapkan lebih banyak kecemerlangan Anda dan menemukan lebih banyak kemungkinan Anda. Seringkali, pelajaran Anda tidak tiba dengan mudah.

Penderitaan selalu menjadi alat menuju pertumbuhan spiritual lebih dalam. Mereka yang telah bertahan melalui penderitaan yang berat pada umumnya adalah mereka yang telah berubah menjadi pribadi yang hebat. Mereka yang telah terluka secara mendalam oleh kehidupan pada umumnya adalah orang yang dapat merasakan penderitaan orang lain dalam satu detakan jantung. Mereka yang telah bertahan melalui kemalangan menjadi rendah hati di hadapan kehidupan, dan sebagai hasilnya, menjadi lebih terbuka, berbelas kasih dan nyata.

Kita mungkin tidak menyukai penderitaan saat hal itu mengunjungi kita, tetapi penderitaan melayani kita dengan sangat baik: penderitaan memecahkan cangkang yang menutupi hati kita dan mengosongkan kita dari segala kebohongan yang kita pertahankan tentang siapa diri kita, alasan kita berada di dunia, dan bagaimana dunia kita yang luar biasa ini berfungsi.

Setelah dikosongkan, kita dapat diisi ulang, dengan segala yang baik, mulia dan benar. Kesulitan dapat mengubah kita, bila kita memilih untuk mengizinkan kesulitan-kesulitan hidup mengubah diri kita. Seperti dituliskan Joseph Cambell: "Di mana Anda tersandung, di situlah harta terpendam Anda berada".

(Dari: Robin Sharma, Discover Your Destiny, hlm. xviii-xix)

Remember Our Saints: Kelahiran Santa Perawan Maria

0 komentar

Tanggal 8 September, hari ini, pesta kelahiran Santa Perawan Maria.

Hari ini kita rayakan kelahiran Santa Perawan Maria, seorang puteri keturunan Abraham. Ia termasuk suku Yehuda dan berasal dari keluarga raja Daud. Seperti fajar yang cerah mendahului matahari yang terbit, demikianlah kelahiran Maria mewartakan kedatangan Kristus, cahaya dunia. Maria suci sejak kelahirannya sebab ia dipilih Allah untuk menjadi Bunda Kristus, penyelamat dunia. Puteranya telah menghancurkan kuasa dosa dan kematian serta menganugerahkan kita kehidupan kekal. Karena itu kelahiran Maria merupakan harapan dan fajar keselamatan bagi seluruh dunia.

Allah dari semula memilih Maria untuk menjadi Bunda Kristus. Allah juga memanggil kita untuk menjadi serupa dengan Kristus, saudara kita yang sulung. Apakah kita hidup sesuai dengan panggilan itu?

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

CLiGspiration: Masih Ada Esok?

Jumat, September 05, 2008 0 komentar
Di suatu tempat, hiduplah seorang anak dalam sebuah keluarga yang bahagia Tetapi, dia selalu menganggap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, mengganggu adik dan kakaknya. Membuat masalah adalah kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar aja. Semua dijalaninya begitu saja sehingga dia anggap semua itu sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."

Ketika dia lebih besar lagi, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama: main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.

Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia karena dia punya teman-teman sekerja yang selalu mau diajak keluar. Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

Dia bertemu seorang gadis yang cantik dan baik. Gadis ini kemudian menjadi menjadi pacarnya lalu kemudian istrinya.

Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.

Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya."

Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya; dia tidak tahu ini akan berpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.

Suatu hari, kemalangan datang. Istrinya tewas dalam kecelakaan tabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal. Dia baru datang persis ketika istrinya dijemput maut. Sebelum sempat berkata "aku cinta kamu", istrinya telah meninggal dunia.

Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Anak-anaknya beranjak dewasa dan segera membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.

Saat mulai renta, dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawai, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya. Tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut.

Sejak itu hanya ada orang-orang tua lain yang senasib dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian—perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Saat mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir. Dia meninggal dunia dengan airmata di pipinya.

(Dari: Chiana)

PS. Have a nice weekend, saudara-saudariku terkasih. Have a nice weekend.

Apa Masalah Anda?

Kamis, September 04, 2008 0 komentar

Bulan lalu ketika berselancar ria di dunia maya saya menemukan sebuah video yoga. Durasinya 10 menit.

"Saya mau belajar yoga," batin saya. Pengaruh ketenangan di wajah yogi di video itu.

Setelah selesai mendownload dan membayar kepada penjaganya (ini di warnet), saya langsung meluncur ke salah satu pusat perbelanjaan di Manado. Mencari matras yoga.

Ketemu.

Tapi warnanya pink. "Siapa yang peduli?"

Dua hari saya habiskan hanya untuk menghafap gerakannya. Kebetulan saya menemukan sebuah artikel tentang yoga. Waktu terbaik untuk melakukan yoga adalah 3 atau 4 jam setelah makan malam… Begitu kata penulis artikelnya.

Ok.

Jadi, hari ketiga, malam harinya, pukul 22.30 saya mengunci pintu kamar saya, membentangkan matras yoga dan mulai mempraktekkanya teknik yoga yang sudah saya hafal. Seminggu berjalan sempurna. Dengan khasiat yang amat terasa. Lebih tenang. Emosi lebih stabil.

Setelah satu minggu… Ini dia masalahnya. Ada gangguan: tugas ini dan itu yang minta segera diselesaikan. Masih ada badan yang sudah lelah, minta diistirahatkan. Mulai ada banyak alas an untuk tidak yoga. Dan setelah 3 minggu berlalu tanpa yoga alhasil matras pink itu hanya tergeletak di pojok lemari. Dan tentu saja, saya sudah malas untuk mulai lagi.

Panas-panas tahi ayam.

Sewaktu kembali dari tempat tugas pastoral di paroki, saya berjanji kepada diri sendiri untuk meluangkan waktu 15 menit sehari setiap selesai misa pagi untuk meditasi.

Seingat saya hanya mulus 2 minggu. Sesudah itu macam-macamlah alasannya. Yang paling mutakhir sekarang adalah saya harus memberi makan 30-an ikan mujair di kolam.

Tentang memberi makan ikan ini, feeling saya jelas: kayaknya ini juga hanya akan bertahan seminggu.

Setelah menulis sampai di sini saya senyum-senyum dan malu sendiri karena ingat ada banyak hal baik yang saya canangkan untuk lakukan pada waktu-waktu yang sudah berlalu. Tapi ya itu tadi hanya sebentar.

Sesudah itu polanya sama: banyak alasan untuk tidak melakukannya dan ketika akhirnya mengingat manfaatnya yang baik yang pernah dirasakan, saya sudah terlalu malas untuk melakukannya lagi.

Saya baru menyadari soalnya tidak terletak pada seberapa baik saya mengetahui manfaatnya. Tidak juga terletak pada seberapa baik saya menghafal gerakannya. Atau seberapa ahli saya menguasai tekniknya.

Ini soal disiplin untuk melakukannya. Itu saja.

DISIPLIN, DISIPLIN, dan DISIPLIN.

Sudah ada niat dan kemauan, manfaat dan tekniknya pun sudah tahu. Tinggal tiga kata di atas itu.

Pernah punya pengalaman seperti saya? Jangan-jangan masalah kita sama.

Atau, apa masalah Anda?

Remember Our Saints: Santo Gregorius Agung

Rabu, September 03, 2008 0 komentar

Hari ini, tanggal 3 September, peringatan wajib Santo Gregorius Agung, seorang paus dan pujangga Gereja.

Gregorius lahir di Roma sekitar tahun 540. Pada umur tiga puluh dua tahun ia menjadi walikota Roma. Sesudah bapanya meninggal, Gregorius menggunakan harta warisannya untuk mendirikan beberapa biara. Ia sendiri juga menjadi rahib Benediktin, dan ditahbiskan menjadi diakon. Beberapa kali ia bertugas sebagai utusan Paus, antara lain ke Konstantinopel. Tanggal 3 September 590 ia ditahbiskan menjadi uskup Roma. Sebagai Paus ia menolong umatnya dalam menghadapi pelbagai bencana: wabah sampar, banjir sungai Tiber, serangan musuh dari Lombardia. Tetapi Gregorius pertama-tama seorang gembala umat yang menjaga kesatuan umatnya. Ia memperbaharui upacara liturgi, membukukan nyanyian gereja dan mengatur ibadah harian. Ia juga menulis banyak tentang tata cara hidup Kristen dan ilmu ketuhanan. Berkat usahanya, uskup Roma dipandang kembali sebagai pemimpin seluruh gereja. Gregorius Agung meninggal pada tanggal 12 Maret 604.

Pada setiap zaman, Gereja harus memperbaharui diri supaya tetap hidup dan tetap setia pada panggilan Tuhan. Banyak orang telah menjadi suci karena mengusahakan pembaharuan sejati dalam gereja. Apakah kita sungguh-sungguh ikut membina pembaharuan sejati dalam gereja dewasa ini?

(Sumber: Anggota Keluarga Allah, Kanisius, 1974)

Cukup

Selasa, September 02, 2008 0 komentar

Mulai bulan September-Oktober kami para frater MSC di Pineleng menjalani kursus bahasa Inggris. Pemberinya seorang native speaker dari Australia. Pat Mahoney, namanya.

(Ketika berjumpa dengannya pertama kali secara tidak sengaja, otak saya langsung sibuk memikirkan sapaan dalam bahasa Inggris. "Hello sir, how are you?". Tanya saya ramah. "Saya baik, kamu dari mana?" jawab dia. Halah, ternyata dia lancar berbahasa Indonesia. Pernah tinggal di Yogyakarta, katanya).

Kemarin sore mulai pukul 16.00-18.00 WITA kursus hari pertama. Menarik. Di depan semua frater yang tampil formal dengan celana panjang dan baju kemeja/berkerah, guru kami tampil "sangat bule": kaos oblong abu-abu luntur dan celana pendek di atas lutut dengan warna senada.

Setelah penjelasan tentang present simple tense (yang menurut dia dalam prakteknya tidak sesimpel istilahnya), ia meminta kami untuk mendiskusikan beberapa topik. Ada abortion, euthanasia, sex before marriage, making a lot of money, paying tax.

Aborsi, euthanasia, sex pra-nikah dan bayar pajak, 'basi' (maksudnya sudah sangat sering didiskusikan dalam ruang-ruang kuliah kami). Tapi making a lot of money? Ini baru. Soalnya kami sudah mengikrarkan janji untuk hidup miskin.

Malamnya saya merenungkan lagi tema ini. Dan teringat pernyataan klise "uang bukan segalanya" (ya, ya, ya, tapi segala sesuatu butuh uang, saya tahu).

Kalau begitu adakah yang salah dengan mencari dan menghasilkan banyak uang? Tidak. Hanya ya itu tadi, uang bukan segalanya. Dan karena uang bukan segalanya, ada saatnya kita harus berani mengatakan "segini saja sudah cukup!".

Soalnya lalu, cukup itu seberapa banyak? Saya bilang tergantung kita masing-masing. Cukupnya saya, tentu beda jauh dengan Anda. Beda lagi dengan kenalan Anda. Beda lagi dengan rekan kerja Anda. Beda lagi dengan… dst, dst.

Yang lebih penting, mengapa harus berani mengatakan cukup?

Baru minggu lalu saya membaca nasehat ini, "di titik cukup itu sesungguhnya terletak kebahagiaan kita".

Benar banget. 1000 %.

Kalau tidak pernah memutuskan "cukup", fokus hidup kita hanya 2: uang, kerja, uang, kerja, uang, kerja. Kita bukan lagi hanya sekedar mencari dan menghasilkan uang. Bisa jadi kita sudah berubah menjadi tamak dan serakah. Lalu waktu berkualitas dengan pasangan hilang, relasi keluarga berantakan, anak kurang kasih sayang, jiwa kering, kesepian yang panjang, kecemasan berlebihan, stress luar biasa, dst, dst (bisa Anda tambahkan sendiri).

Ngomong-ngomong soal cukup, tulisan saya juga cukup sampai di sini. Kalau disambung terus akan jadi kotbah basi. Saya yakin Anda sudah menangkap maksud saya.

Tren Kesaksian (2)

Senin, September 01, 2008 0 komentar

Pernah nonton tayangan kriminal di televisi? Pasti pernahlah.

Sekarang di hampir semua stasiun televisi baik nasional maupun lokal (paling tidak di Manado) punya program yang demikian. Di situ ada tayangan macam-macam kejahatan (dari tayangan ini saya jadi tahu bukan hanya pekerjaan saja yang sudah terspesifikasi dalam detil-detil. Dulu hanya ada yang namanya pencuri. Sekarang, pencuri apa dulu? Banyak spesifikasinya).

Beberapa tahun terakhir ini mulai terdengar suara-suara yang mengajukan akibat-kibat dari tayangan tersebut bagi penonton.

Salah satunya ini: ketika menonton tayangan penangkapan pelaku yang membacok temannya, reaksi penonton bukanlah kasihan. Sebaliknya, "kemarin lebih sadis lagi, yang dibacok malah ibunya sendiri". Membandingkan dengan yang lebih sadis. Tapi tanpa kandungan perasaan apa-apa di dalamnya. Hanya membandingkan saja.

Sederhananya, semakin sering kita melihat kejadian tertentu, kejadian itu tidak akan lagi mempengaruhi kita. "Gak ngepek" lagi. Kita jadi terbiasa.

Yang dibutuhkan untuk bisa menarik perhatian kita harus semakin besar, semakin sadis dan semakin mengerikan.

Contoh lain, kalau dengar kasus korupsi 500-an juta, reaksinya bukanlah "kurang ajar banget tu orang, bikin sengsara orang lain". Tetapi "baru juga 500-an juta, ada yang 1 trilyun". Tanpa emosi juga. Bandingin doank.

Nah, apa poin saya soal tren kesaksian ini?

Anda pasti sudah bisa menebaknya. Semakin sering Anda mendengar kesaksian orang, hati-hati, jangan sampai "gak ngepek" lagi. Saking terbiasanya. Itu lagi, itu lagi. Atau loe lagi, loe lagi.

Sehingga yang Anda butuhkan harus lebih dramatis, harus lebih gimanaaa gitu, baru terkagum-kagum sama kuasa Tuhan. Kalau dulu cerita tentang selamat dari kecelakaan mobil saja sudah cukup bikin Anda terkagum-kagum. Jangan sampai sekarang harus dengar yang selamat dari kecelakaan pesawat baru bisa terkagum-kagum lagi.

Sehingga (lagi) peristiwa-peristiwa yang kecil, sederhana dan biasa-biasa saja apalagi yang harian sama sekali tidak bisa lagi membuat Anda bersyukur.

Berita baiknya adalah akibat psikologis yang demikian tidak menjangkiti semua penonton tayangan kriminal (syukur kepada Allah).

Sama halnya dengan tren kesaksian. Tidak semua orang bereaksi demikian (syukur kepada Allah 2 x). Ada yang tetap terkagum-kagum, percaya dan bersyukur kepada Tuhan. Mau peristiwa biasa dan sederhana maupun yang tragis-dramatis.

Saya tidak tahu Anda termasuk yang mana?