Koq Pakai Itu?

Selasa, September 09, 2008

Saya baru saja (maksudnya semalam) membaca sebuah penelitian yang dilakukan oleh Deborah Tannen. Ia seorang psikolog dan pakar komunikasi.

Penelitian apa?

Tidak jauh-jauh dari bidang ilmu, tentu saja. Dia meneliti hubungan ibu dan puterinya yang ia lukiskan sebagai "so unique and yet so complicated". Hasil penelitian ini dituangkannya dalam sebuah buku menarik berjudul You're Wearing That?

Membaca judulnya saja saya bisa membayangkan ekspresi wajah dan nada suara seorang ibu demi melihat penampilan putrinya yang tidak berkenan di hatinya.

Maka saya menerjemahkannya dengan "Koq pakai itu?".

Ini salah satu hasil penelitiannya: para ibu, katanya, mengungkapkan kasih sayang, perhatian dan kekhawatirannya kepada putrinya dengan cara mengomentari penampilan dan baju yang dikenakannya. Seolah-olah putrinya masih berumur 5 tahun. Para ibu menganalisis dan lalu menunjukkan (dengan memerintah?) bagaimana seharusnya putrinya ini berpakaian; bagaimana seharusnya dia mengurus dirinya; bagaimana seharusnya dia berpenampilan. Para ibu ini ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli pada putrinya dan ingin putrinya berkembang dengan baik.

Apa yang terjadi? Memang para putri ini lalu berpenampilan sesuai dengan kemauan ibunya; mengganti bajunya lagi, dst, dst. Tetapi lebih banyak dilakukan dengan perasaan marah dan terluka.

Sang ibu puas melihat penampilan anaknya. Sementara anaknya terluka karena tidak didengarkan dan dihargai.

Ini soal komunikasi. Tepatnya proses komunikasi yang dilalui.

Dalam komunikasi sebetulnya pertama-tama bukan soal apa yang mau dicapai saja. Tetapi pertama-tama proses bagaimana sesuatu itu mau dicapai. Bukan hanya hasil akhir saja. Tetapi juga bagaimana mencapai hasil akhir itu.

Mengapa ada banyak hasil akhir yang hanya baik pada awalnya saja tetapi tidak bertahan lama? Ya itu tadi: proses yang dilaluinya tidak memperhitungkan sisi manusiawi (ingin didengarkan dan dihargai).

Ada kalanya ketidaksetujuan dan lalu pemberontakan berasal dari keinginan untuk didengarkan dan dihargai saja.

Karena itu, selamat berdialog.

Kata kuncinya: mendengarkan, mendengarkan dan mendengarkan.

P.S: penelitian itu dilakukan di Amerika. Saya tidak tahu apakah hubungan yang demikian terjadi juga di Indonesia. Jadi soal komunikasi yang saya singgung di atas hanyalah antisipasi kalau-kalau begitu juga di sini. Yaaa, semacam just in case.

0 komentar: