Cukup

Selasa, September 02, 2008

Mulai bulan September-Oktober kami para frater MSC di Pineleng menjalani kursus bahasa Inggris. Pemberinya seorang native speaker dari Australia. Pat Mahoney, namanya.

(Ketika berjumpa dengannya pertama kali secara tidak sengaja, otak saya langsung sibuk memikirkan sapaan dalam bahasa Inggris. "Hello sir, how are you?". Tanya saya ramah. "Saya baik, kamu dari mana?" jawab dia. Halah, ternyata dia lancar berbahasa Indonesia. Pernah tinggal di Yogyakarta, katanya).

Kemarin sore mulai pukul 16.00-18.00 WITA kursus hari pertama. Menarik. Di depan semua frater yang tampil formal dengan celana panjang dan baju kemeja/berkerah, guru kami tampil "sangat bule": kaos oblong abu-abu luntur dan celana pendek di atas lutut dengan warna senada.

Setelah penjelasan tentang present simple tense (yang menurut dia dalam prakteknya tidak sesimpel istilahnya), ia meminta kami untuk mendiskusikan beberapa topik. Ada abortion, euthanasia, sex before marriage, making a lot of money, paying tax.

Aborsi, euthanasia, sex pra-nikah dan bayar pajak, 'basi' (maksudnya sudah sangat sering didiskusikan dalam ruang-ruang kuliah kami). Tapi making a lot of money? Ini baru. Soalnya kami sudah mengikrarkan janji untuk hidup miskin.

Malamnya saya merenungkan lagi tema ini. Dan teringat pernyataan klise "uang bukan segalanya" (ya, ya, ya, tapi segala sesuatu butuh uang, saya tahu).

Kalau begitu adakah yang salah dengan mencari dan menghasilkan banyak uang? Tidak. Hanya ya itu tadi, uang bukan segalanya. Dan karena uang bukan segalanya, ada saatnya kita harus berani mengatakan "segini saja sudah cukup!".

Soalnya lalu, cukup itu seberapa banyak? Saya bilang tergantung kita masing-masing. Cukupnya saya, tentu beda jauh dengan Anda. Beda lagi dengan kenalan Anda. Beda lagi dengan rekan kerja Anda. Beda lagi dengan… dst, dst.

Yang lebih penting, mengapa harus berani mengatakan cukup?

Baru minggu lalu saya membaca nasehat ini, "di titik cukup itu sesungguhnya terletak kebahagiaan kita".

Benar banget. 1000 %.

Kalau tidak pernah memutuskan "cukup", fokus hidup kita hanya 2: uang, kerja, uang, kerja, uang, kerja. Kita bukan lagi hanya sekedar mencari dan menghasilkan uang. Bisa jadi kita sudah berubah menjadi tamak dan serakah. Lalu waktu berkualitas dengan pasangan hilang, relasi keluarga berantakan, anak kurang kasih sayang, jiwa kering, kesepian yang panjang, kecemasan berlebihan, stress luar biasa, dst, dst (bisa Anda tambahkan sendiri).

Ngomong-ngomong soal cukup, tulisan saya juga cukup sampai di sini. Kalau disambung terus akan jadi kotbah basi. Saya yakin Anda sudah menangkap maksud saya.

0 komentar: