Dari Kursus Bahasa Inggris

Senin, September 22, 2008

Kalau tidak salah saya sudah pernah mengatakan kalau sekarang kami sedang mengikuti kursus bahasa Inggris. Nah, ini salah satu cerita dari kursus itu.

Hari selasa, minggu lalu, guru kursus kami bercerita tentang sejarah Indonesia. Ya, Anda tidak salah baca: sejarah Indonesia. Mulai dari Soekarno sampai Papua. Ia benar-benar bercerita. Bukan menyebutnya sambil lalu. Ceritanya lebih lengkap dari keterangan guru sejarah saya di SMP dan SMA.

Sepanjang ia bercerita saya menatapnya kagum sambil bertanya-tanya dalam hati, "kemana aja saya selama ini?"

Bagaimana tidak kagum, guru kami ini punya darah Irlandia. Tinggal di Australia. Tidak ada persinggungan biologis apapun dengan Indonesia. Tetapi di hadapan sejumlah frater yang 100 % asli Indonesia ia bercerita dengan pengetahuan yang lengkap, penuh detail dan mendalam tentang Indonesia, negeri asal kami sendiri. Saya tidak tahu apa-apa tentang sejarah Australia. Apalagi Irlandia.

Saya pikir hanya saya yang merasa demikian. Frater-frater yang hadir dalam kelas hari itu merasakan juga hal yang sama.

Semalam ketika merenung-renung untuk tulisan hari ini, saya tiba-tiba ingat pengalaman lain. Beberapa kali saya mendengar cerita-cerita dari umat yang pernah saya layani tentang kejadian yang mirip. Hanya saja bukan sejarah Indonesia dan bukan dengan orang bule. Juga bukan dalam kursus bahasa Inggris.

Katanya, dalam beberapa kesempatan mereka harus mendengar teman atau kenalan mereka yang bukan agama Katolik berbicara tentang Katolik, agama mereka sendiri. Dengan pengetahuan yang lengkap dan detail. Dan bisa ditebak pastilah dari mulut mereka tidak ada respon penuh keyakinan atau bantahan atau argumen atau apapun itu namanya. Yaaaaa, mengingat pengetahuannya tentang Katolik hanya begitu-begitu saja.

Apa yang salah dalam dua pengalaman ini? Mungkin ini: kita terbiasa memperlakukan banyak hal sebagai taken for granted: gratis, terberi, dan karenanya jalan begitu saja. Tidak merasa perlu mendalami juga. Sekadarnya. Yang sudah ada cukuplah. Pada tingkat ekstrim tidak perlu disyukuri juga.

Banyak hal itu seperti nafas, kesehatan, alam, (dalam kasus saya dan beberapa umat saya) sejarah asal dan agama. Bisa juga orang tua, anak-anak, siapapun atau apapun yang kita cintai.

Saya ingat sebuah pepatah bahasa Inggris yang bagus, we don't know what we've got until it's gone. Saya lebih suka menerjemahkannya sebagai kita tidak (terlalu) peduli pada apa yang kita miliki sampai ia hilang.

Baru ketika dokter memberitahu bahwa saya mengidap asma, saya lebih menghargai dan mensyukuri nafas kehidupan. Baru ketika guru kursus kami bercerita tentang sejarah Indonesia, saya gelagapan dan ingin tahu lebih. Baru ketika ada orang lain yang bercerita tentang Katolik dengan lengkap, mereka buka Kitab Suci dan tanya ini-itu.

Mungkin itu cara Tuhan mengingatkan kita akan banyak hal dalam hidup ini. Syukurlah.

Ngomong-ngomong, apakah Anda sudah bersyukur untuk orang-orang yang Anda cintai yang masih bersama-sama Anda?

0 komentar: