Pagi itu, 3 tahun lalu, ketika saya masuk ke dalam kelas sebuah SMA untuk mengajar, terpampang pemandangan ini: 30-an siswa-siswi berwajah letih dengan mata yang redup berjuang menahan kantuk.
"Baru pulang dari study tour kemarin," kata ketua kelasnya memberi alasan. "O ok. Kalo gitu gak ada pelajaran hari ini," kata saya.
"Trus?" Seisi kelas menatap saya. Menunggu jawaban.
"Kita bikin acara kreatif: games atau apalah yang bikin semangat".
"Hari 'kan masih panjang; masih ada pelajaran-pelajaran lain abis ini," jelas saya. Ada kegairahan di mata mereka. Mungkin bukan karena ide games-nya. Tetapi karena pengumuman tidak ada pelajaran tadi. "Iyalah, saya pernah SMA juga," batin saya yakin.
"Siapa yang ada ide, silahkah. Saya mulai lebih dulu."
"Teman-teman," kata saya "mari kita mulai permainan ini".
"Pejamkan mata dan bayangkan Tuhan sendiri hadir di dalam ruangan ini, di hadapan anda. Bayangkanlah….. Ia berdiri di sini, di depan anda sambil mengatakan 'Anak-Ku mintalah 3 hal dan akan Ku-kabulkan saat ini juga".
"Saya kasih waktu lima menit untuk memikirkan dan meminta 3 hal itu. Kemudian buka mata dan sharingkan apa yang kita minta kepada Tuhan".
Hening. 1 menit berlalu, 2 menit, 3 menit, 4 menit dan …. 5 menit. "Selesai".
Keributan pecah. Begitu ramainya sampai saya sendiri heran, kemana perginya wajah-wajah letih tadi. "Teman-teman, silahkan, siapa yang mau sharing?"
Setiap orang bergiliran menceritakan permintaannya. Mulai dari yang masuk akal seperti "saya minta sama Tuhan supaya saya bisa lulus ujian nanti" sampai yang aneh-aneh seperti "saya minta sama Tuhan kemampuan menghilang. Biar kalo saya lagi backstreet ama pacar, begitu ketemu mamanya saya bisa langsung menghilang".
Sampai giliran seorang siswi. Ia berdiri. "3 permintaan terlalu banyak. Saya minta satu saja dari Tuhan, boleh?" tanyanya. "Silahkan," jawab saya cepat. "Saya pengen minta sama Tuhan supaya papa dan mama saya bersatu kembali seperti dulu. Saya kangen ama papa-mama saya". Lalu ia duduk. Menundukkan wajahnya di atas meja. Dan menangis.
Sunyi seketika. Papa-mamanya bercerai ketika ia berumur 6 tahun. Ia hanya tinggal dengan pembantu karena keduanya menolaknya.
Mengingat peristiwa pagi itu saya baru menyadari: ada jenis kehilangan dan rasa sakit yang hanya bisa dirasakan dan ditanggung oleh orang itu sendiri. Segala kata-kata peneguhan dari kita sesungguhnya tidak banyak membantu. Yang bisa kita lakukan hanyalah ada di sana. Untuk dia. Kalau-kalau ia butuh telinga untuk didengarkan, bahu untuk menangis dan pelukan hangat untuk menenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar