Sejak bertugas, mulai akhir 2006, di Jakarta telinga saya menjadi akrab dengan kata ini, "kesaksian". Dalam ibadah-ibadah terutama KRK kata ini banyak dipergunakan. Kesaksian dari bapak A, dari ibu B, dari remaja C, dst.
Bulan Mei lalu, ketika kembali lagi ke Manado, setelah kurang lebih satu setengah tahun, saya melihat perubahan mencolok terutama di pinggir jalan dan halaman surat kabar. Di pinggir jalan, tepatnya di beberapa titik strategis seperti perempatan dan pertigaan jalan raya bergelantungan spanduk-spanduk KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani), berhimpitan dengan iklan-iklan produk.
Di halaman-halaman surat kabar lokal kurang lebih sama. Iklan-iklan KKR bersebelahan dengan iklan HP, laptop, dsb.
Isi spanduk dan iklan itu senada: kotbah dari pendeta A dan kesaksian dari si B.
Saya memahami bahwa kesaksian yang dimaksudkan baik di Jakarta maupun di Manado sama: pengalaman iman. Sesi kesaksian berarti seseorang yang telah disentuh hidupnya sedemikian rupa oleh Allah menceritakan dan membagikan itu kepada para pendengarnya. Harapan ya bagi yang sudah beriman makin dikuatkan imannya, bagi yang kurang beriman, jadi beriman. Bagi yang belum percaya, jadi percaya, yang sudah percaya semakin percaya akan kasih Allah
Selesai.
Melihat kenyataan di dua kota ini saya menduga bahwa sedang ada tren (baca: sedang seru-serunya) kesaksian. Paling tidak di Jakarta dan Manado.
Dulu hanya para romo, frater, suster atau pendeta saja yang bercerita dalam kotbah atau renungannya tentang kasih Allah. Kini ada banyak kesempatan, umat pun bisa bercerita tentang topik yang sama. Dan kesaksian dari umat bisa jadi jauh lebih hidup karena berangkat dari pengalaman hidupnya.
Itu baru di KRK atau KKR. Belum terhitung media yang lain, yang entahlah kalau bisa dihitung.
Nah, poin saya apa?
Bersambung…
2 komentar:
Dessy: "Erghhhhhh..."
lanjutzzz...
Posting Komentar