Seperti Lingkaran Setan

Kamis, Agustus 07, 2008

Suatu ketika di sebuah sekolah diadakan pementasan drama. Pementasan drama yang meriah dengan semua pemainnya siswa-siswi di sana. Setiap anak mendapat peran dan mengenakan kostum sesuai dengan peran yang mereka mainkan. Semuanya tampak serius, sebab pak guru akan memberikan hadiah kepada yang tampil terbaik dalam pentas itu.

Di depan panggung semua orang tua murid duduk; mereka hadir untuk ikut menyemarakan pentas tersebut.

Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topi. Ada yang berperan sebagai nelayan dengan jala disampirkan di bahunya. Di sudut sana duduk seorang anak dengan raut muka ketus sebab ia memerankan pak tua pemarah. Sementara di sudut yang lain duduk seorang anak dengan wajah sedih layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari guru dan orang tua kerap terdengar dari sisi kanan dan kiri panggung.

Tibalah akhir dari pementasan. Dan itu berarti, sudah saatnya pak guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Semua anak tampak berdebar, berharap mereka yang terpilih menjadi yang terbaik. Para orang tuapun ikut berdoa, membayangkan anak mereka yang menjadi yang terbaik.

Pak guru naik di atas panggung dan mengumumkan sebuah nama. Aha… Ternyata anak yang menjadi pak tua pemarah-lah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, ia bergegas menuju panggung diiringi kedua orang tuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orang tua menatap keliling hadirin, bangga.

Pak guru menyambut mereka. Tapi sebelum menyerahkan hadiah, ia mengajukan pertanyaan kepada sang pemenang, "Apa rahasianya sehingga kamu tampil sebaik ini?" tanya pak guru. "Kamu pasti rajin berlatih. Coba, ceritakan pada kami semua, apa yang membuatmu bisa tampil sebaik ini."

Sang anak menyahut, "Sebenarnya saya harus berterima kasih kepada ayah saya. Karena dari ayah-lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada ayah-lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering marah dan berteriak kepada saya, jadi tidaklah sulit untuk menjadi pemarah seperti ayah…"

Sang ayah tampak tercenung. "Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini. Jadi peran ini adalah peran yang mudah buat saya".

Senyap. Usai bibir anak itu terkatup suasana bertambah senyap.

Begitupun kedua orangtua sang anak, mereka tertunduk di panggung. Jika sebelumnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan mereka berdiri sebagai terdakwa di depan pengadilan. Tetapi mereka berlajar sesuatu hari itu: ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka.

 

P.S: Siang ini saya menerima kabar bahagia dari sepasang teman: anak pertama mereka, buah cinta mereka telah lahir. Seorang putri. Saya belum pernah menunggui kelahiran anak, tapi pasti luar biasa rasanya. Selamat menjadi orangtua.

0 komentar: