Hampir setiap tiga menit, para penghuni ruang kerja mengesampingkan apa yang tengah mereka kerjakan dan mulai melakukan sesuatu yang lain, apapun itu. Entah itu menjawab telepon, memeriksa e-mail, menjawab pesan instan, meng-klik YouTube, atau mengirimkan sesuatu yang lucu di Facebook. Berdasarkan penelitian Basex, perusahaan riset yang bermarkas di New York, gangguan yang terus-menerus ini telah menghabiskan 28 % waktu yang dimiliki rata-rata pekerja Amerika Serikat dalam sehari—termasuk waktu pemulihan— dan menyedot produktivitas senilai $ 650 milyar per tahun… Gloria Mark, profesor informatika University of California di Irvine, telah memantau tingkah laku di ruang kerja selama ribuan jam. Begitu perhatian mereka teralihkan, diperlukan hampir 30 menit untuk kembali pada pekerjaan. "Kita melihat angka-angkanya, kita menjadi tahu betapa buruk keadaannya," ujar Mark. (hlm. 52)
Saya menemukan berita ini di majalah BusinessWeek edisi 2-9 Juli 2008. Judul yang terpampang besar di sana untuk berita ini, "Bapak dan Ibu Mohon Konsentrasi!".
Saya tidak mau mengomentarinya. Karena praktis saya tidak tahu apa-apa tentang dunia kantoran. Ralat, dikit-dikit tahulah. Dari cerita orang. Tapi itu tidak cukup untuk membuat saya jadi komentator, apalagi ikut-ikutan bilang, "konsentrasi… konsentrasi". Lagipula bisa jadi situasi di US sana jauh berbeda dengan di Jakarta, misalnya? Siapa tahu.
Kalaupun agak mirip, yaaaaa, saya hanya bisa berharap semoga blog ini tidak termasuk dalam jenis "yang mengganggu konsentrasi kerja" Anda. (Kalau mengganggu kasih tahu ya…).
Nah, kalau (lagi-lagi kalau) tidak mau komentar soal dunia kerja, lalu apa? Saya mau cerita pengalaman saya soal teknologi yang sering mengganggu konsentrasi. Teristimewa benda kecil bernama handphone.
"Selama perayaan Ekaristi berlangsung handphone harap dimatikan". Begitu biasanya pengumuman dalam berbagai kesempatan menjelang misa. Juga menjelang ibadah, doa dsb. Di gereja, di lingkungan, wilayah, mudika, dst. Jangan salah, saya tidak sedang menyinggung tentang handphone yang masih saja berbunyi padahal semua orang mendengar pengumuman itu.
Ini tentang handphone di kantong celana saya.
Pengumumannya "harap dimatikan". Tapi pilihan saya selalu lain: nada getar. Jelas, saya tahu kalau ada sms atau panggilan yang masuk. Ini dia soalnya: konsentrasi langsung hilang. Bukan hanya karena getarannya; siapa yang sms/telpon, penting atau tidak, mau bilang apa. Belum lagi kalau ada janjian tertentu. Selalu melegakan begitu misa/ibadah selesai. Cepat-cepat saya memeriksa pesan yang masuk. Jangan-jangan penting dan mendesak.
"Hi fr, pa kbr?".
Errrghhhhhh…. Jadi setelah gelisah dan harap-harap cemas yang panjang itu, ternyata cuma begitu isinya. Gak penting! (Hehehe, saya tahu ada yang marah-marah saya bilang pertanyaan ini gak penting).
Poin saya ini: betapa sudah lebih susah sekarang berelasi dengan Tuhan. Sudah lebih susah konsentrasi, bukan hanya ketika kerja, tetapi juga dalam hidup doa. Padahal seperti kerja, doa pun butuh konsentrasi. Kecuali, kalau doa bisa disampaikan kepada Tuhan lewat SMS.
Teman saya pernah bilang, "jangankan dibikin nada getar frat, dimatikan aja masih tetap kepikiran ada sms/telpon gak ya?".
Anda pernah punya pengalaman begini? Kalau pernah, sesungguhnya kita sudah menjadi korban teknologi.
Tapi heran, kenapa kalo nonton Wanted di bioskop bisa lebih konsentrasi ya? Handphone-nya benar-benar dimatikan. Dan benar-benar tidak peduli ada sms/telpon yang masuk atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar