Mulai tanggal 29 Maret sampai 08 April 2010 saya berada di Ternate. Saya menceritakan kembali perjalanan saya itu kepada Anda. Dalam bentuk serial—tidak mau kalah sama sinetron. Selamat menikmati.
Seri Pertama: Ternate, Here I Come… finally
Senin, 29 Maret 2010, saya bersama seorang teman frater meninggalkan Manado menuju Ternate. Kami berdua diutus untuk melayani umat di sana selama Tri Hari Suci dan Paskah.
Hari itu, pukul 06.05 WITA, kami sudah berada di bandara Sam Ratulangi Manado. Di tiket kami tertera waktu keberangkatan, pukul 07.50 WITA. "Masih banyak waktu" pikir saya. Jadi setelah selesai melapor, kami mencari sarapan pagi di salah satu rumah makan sudah buka di dalam bandara. Nasi goreng sepiring dan air mineral sebotol. Kami berdua masih duduk-duduk lagi sehabis sarapan menikmati koran pagi.
Pukul 07.30 WITA. Saya mengajak teman saya menuju ruang tunggu menunggu panggilan boarding. Di sana sudah menunggu penumpang lain yang setujuan dengan kami.
Pukul 07.50 WITA. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada pengumuman. Tidak ada pemberitahuan. Tidak ada seorang pun dari maskapai penerbangan bersangkutan atau pihak bandara yang memberitahu apa yang terjadi dengan pesawat yang akan kami tumpangi. Tidak ada penjelasan apapun.
Kami mulai gelisah. Waktu terus bergerak. Pukul 08.30 WITA. Tetap, tidak ada penjelasan. Tetapi jelas sudah keberangkatan tertunda.
Saya sudah beberapa kali bepergian ke beberapa kota yang berbeda menggunakan pesawat terbang. Dan beberapa kali pula mengalami penundaan. Dan, bagian yang paling menjengkelkan bukanlah fakta bahwa pesawat yang akan saya tumpangi tidak berangkat tepat pada waktunya—berbagai hal bisa saja terjadi dan itu bisa dimaklumi. Juga bahwa penundaan itu membuat saya harus menunggu. Bukan itu—tidak berarti tidak menjengkelkan sama sekali, hanya bukanlah yang 'paling' saja.
Tidak ada seorangpun yang memberitahu apa yang terjadi dan memberi perkiraan kapan penundaan ini akan berakhir, itu yang paling menjengkelkan. Tidak adakah yang peduli bahwa menunggu tanpa penjelasan itu benar-benar menyebalkan—untuk beberapa orang bisa memicu tekanan darah tinggi? Jika saya sudah membayar dengan sejumlah uang, saya layak memperoleh penjelasan, 'kan?
Begitulah. Baru dua jam kemudian seseorang dari pihak bandara datang memberi alasan penundaan. Cuaca. Tentu saja, apalagi? Tidak ada taksiran kapan persisnya kami akan diberangkatkan.
Pukul 11.30 WITA. Datang seseorang dari maskapai penerbangan, "Makan siang sudah tersedia. Bisa diambil dengan menunjukkan boarding pass". Mendengar pengumuman itu, benak saya dipenuhi satu hal, "Siang ini akan jadi sangat panjang".
Perut saya belum keroncongan, tetapi makan kayaknya bisa menjadi pelepas stress menunggu. Menunya nasi goreng. Lagi?
Di luar perkiraan—siang yang panjang tadi—hanya setengah jam berselang panggilan untuk boarding terdengar.
Pukul 13.20 WIB kami sudah menjejakkan kaki di bandara Sultan Babulah Ternate. Akhirnya…
Tunggu, ada yang belum saya ceritakan.
Sudah saya katakan bahwa saya sudah beberapa kali mengalami penundaan keberangkatan pesawat. Tetapi saya tidak juga belajar dari pengalaman.
Pagi itu ketika hendak diantar ke bandara saya sok yakin penerbangan kali ini pasti tepat waktu. Jadi saya tidak membawa satupun buku bacaan. Rencananya, sambil menunggu panggilan boarding saya akan membeli koran lokal di bandara. Nah, setelah selesai membaca semua beritanya pastilah panggilan itu akan terdengar. Ternyata sampai iklan-iklannya pun sudah saya pelototin satu-satu… yah, Anda sudah tahu sisa ceritanya. Saya membeli lagi koran lokal yang lain. Juga sama, tidak menolong.
Ada telepon genggam di tangan. Tetapi berhubung saya tidak memiliki akun Facebook, tidak banyak yang bisa diharapkan. Mau browsing ke sana ke mari, ingat pengeluaran pulsa. Sial sekali hari itu.
Pengalaman itu guru yang terbaik… Belajar dari pengalaman… Saya tahu dua ungkapan ini. Tetapi, yahhh, ada kalanya hati dan pikiran yang bebal dan sok mengacaukan dan membatalkan pelajaran-pelajaran yang berharga dari masa lalu itu.