Seri kesembilan: Nyaris lupa… padahal penting
Kita mundur dulu ke belakang, ke perjalanan saya dari Sofifi. Ada yang belum saya ceritakan.
Di atas Avanza yang saya tumpangi, di sebelah kanan saya duduk seorang bapak. Usianya 60-an tahun, mungkin. Penampilannya bersahaja.
"Mau kemana pak?" tanya saya.
"Ke Lelief" jawabnya. Singkat tetapi ramah.
"Ke mana?" sang bapak bertanya balik.
"Sama pak, ke Lelief. Tapi saya akan terus ke daerah transmigrasi. Saya dari Gereja Katolik dan mau melayani umat di sana".
Pembicaraan kami menjadi lancar sesudahnya. Ia bukanlah penduduk desa Lelief. Ia hanya ingin mengunjungi anaknya di sana.
Untuk saya, tidak menjadi soal dia penduduk asli atau bukan. Yang penting tujuan kami sama; yang penting saya tidak lagi seperti orang buta yang meraba-raba; yang penting saya tidak sendirian.
Mobil yang kami tumpangi tiba di pelabuhan Weda hanya untuk mendapati kenyataan bahwa speedboat yang melayani penyeberangan ke Lelief sudah berangkat 10 menit yang lalu─dan baru akan kembali besok. Padahal saya sudah harus tiba di daerah Transmigrasi untuk merayakan Kamis Putih pada malam harinya. Arloji di tangan saya menunjukkan pukul 15.00 WIT.
Saya mulai panik. Ini Weda. Saya tidak mengenal siapapun. Saya bertanya ke sana ke mari kalau-kalau ada speedboat lain, perahu atau apapun yang hendak pergi ke Lelief. Hasilnya nihil. Masih ada beberapa speedboat yang bersandar tetapi semua menolak berhenti sebentar di Lelief hanya untuk menurunkan dua penumpang. Tujuannya mereka bukanlah Lelief.
Saya mulai berhitung dengan keadaan: kalau besok baru berangkat, saya akan menginap di mana malam ini? Saya ragu adakah penginapan di kota sekecil ini. Mungkin ada orang Katolik di Weda tetapi mencari mereka bisa jadi seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Di depan gerbang masuk pelabuhan terdapat pasar, ini alternatif penginapan semalam. "Sesekali tidur di bekas lapak bolehlah" pikir saya. "Bagaimana kalau ada preman yang mabuk-mabukan di sana?" Arrrgghhh…
Nyaris putus asa, saya pergi menemui sang bapak yang hanya berdiri saja di pos polisi di depan gerbang pelabuhan. Rupanya beliau tahu sia-sia saja mencari tumpangan ke Lelief selain speedboat yang baru saja berangkat.
"Kalau kita tidak menemukan tumpangan ke Lelief, kamu ikut saya, kita menginap di keluarga saya yang ada di sini" katanya begitu saya mengatakan tidak ada speedboat yang bersedia ke Lelief.
Saya menatapnya seperti menatap malaikat yang dikirim Tuhan. Nama 'malaikat' di hadapan saya ini: Haji Muhammad.
"Terima kasih, bapak Haji" kata saya, hampir menangis karena lega dan terharu. Seorang haji menolong seorang frater. Apalagi yang lebih indah dari kenyataan manusiawi itu?
Tuhan menjaga dan melindungi saya dengan cara yang unik.
P.S: Seperti sudah Anda ketahui, saya tiba di Lelief sore itu juga menumpang longboat yang berangkat sejam kemudian. Longboat itu bukan untuk kepentingan komersil sebenarnya. Berkat Haji Muhammad saya bisa tiba di Lelief. Pemilik longboat itu kenalan beliau.