Seri keenam: Ini tentang tempat tidur
Gereja mungil itu hanya cukup menampung 50 sampai 60 umat. Berbeda dari rumah-rumah para transmigran yang berbahan papan, gereja dibangun dengan dinding beton. Gereja ini bagian dari sarana prasarana yang disediakan pemerintah setempat. Sempat menjadi perdebatan umat Kristen mana yang menggunakannya (karena di sana, selain Katolik, ada pula Protestan dan Pentakosta), akhirnya disepakati bahwa umat Katoliklah yang menggunakannya (karena faktor jumlah jiwa terbanyak, itu statistik sebelum 35 KK memutuskan kembali ke kampung halaman).
Di dalam gereja, di samping kanan altar ada ruangan yang pastilah dimaksudkan sebagai sakristi. Tetapi umat sudah menyulapnya menjadi kamar tidur bagi frater atau romo yang bertugas di situ.
Kamar tidur itu tanpa jendela. Hanya ada 2 pintu: yang satu ke altar yang satunya lagi langsung ke luar gereja. Isi kamar tidur terdiri dari sebuah meja yang lebarnya tidak lebih dari 2 jengkal tangan orang dewasa dan panjangnya tidak lebih dari 4 jengkal tangan orang dewasa, sebuah kursi kayu dan sebuah tempat tidur yang besarnya bisa memuat 2 orang dewasa sehingga nyaris mengisi ¾ ruangan.
Tempat tidur ini menarik perhatian. Bukan hanya karena besarnya dan bagaimana ia membuat kamar tidur itu menjadi sedemikian sesak.
Ada kelambu putih di sekeliling tempat tidur itu. Masih baru kelihatannya—"Di sini banyak nyamuk kalau malam frater" terang Ketua Stasi. Kain seprei-nya juga sama: baru, berwarna hijau tua. Kain sepreinya membungkus kasur yang hanya sedikit lebih tebal dari tikar—begitu Anda membaringkan tubuh langsung terasa papan keras di bawahnya.
Selain itu, tempat tidur ini menyadarkan saya kalau saya terlalu tinggi. Panjang tempat tidurnya hanya mencapai mata kaki. Terakhir saya mengukur tinggi badan saya 170 sekian sentimeter.
Saya tidak memberitahukannya kepada Ketua Stasi atau siapapun umat di sana. Karena melihat situasi hidup umat saya berani memastikan itulah kelambu, seprei dan kasur terbaik; itulah tempat tidur terbaik yang bisa umat sediakan untuk frater dan romo yang bertugas di sana.
Ada kalanya yang terbaik dalam hidup datang dalam bentuk yang lebih kecil. Kita hanya perlu menyesuaikan diri.
Di luar kamar tidur saya, masih di dalam gereja, beberapa anggota Mudika (laki-laki) tidur di atas bangku-bangku panjang yang didempet-dempetkan menjadi tempat tidur. Yang tidak kebagian bangku, membawa tikar dari rumah dan membentangkannya di atas lantai semen yang keras dan kasar. Mereka menjaga sekaligus menemani saya tidur. Begitu setiap malam.
Tuhan sungguh-sungguh tidak membiarkan saya sendirian.