Seri kelima: Tak kenal maka tak bersyukur
Tahun 2005 sebanyak 50 kepala keluarga (KK) memilih bertransmigran ke Maluku Utara, tepatnya 12 kilometer dari desa Lelief, di tengah hutan. Mereka berasal dari Timor Barat dan Timor Leste. Semuanya Katolik.
Alasan mereka berpindah tempat domisili tidak muluk-muluk: ingin memperbaiki nasib. Ketika mereka tiba di daerah yang sekarang dikenal sebagai Trans Kobe ini mereka mendapati kondisi tanahnya seperti tanah terjanji yang berlimpah susu dan madu.
"Di tempat asal kami, kalau tanam nangka bisa puluhan tahun baru berbuah. Di sini cukup tiga tahun saja" kata seorang umat. Ia masih memberi beberapa contoh lain yang menunjukkan kesuburan tanah yang mereka diami.
Bukan hanya itu, saya menyaksikan sendiri sumur di samping setiap rumah yang dalamnya hanya 3 meter. "Di Timor bisa 80 meter, frater. Padahal yang penting 'kan air" katanya. Dia benar. Tetapi air pula yang menyebabkan 35 kepala keluarga, tak lama kemudian (hanya 1 tahun) memilih kembali ke kampung halaman mereka.
"Di samping lokasi transmigrasi ini ada kali besar, frater. Waktu kami masuk tahun 2005 belum dibikin tanggul. Setiap kali hujan, air kali meluap. Setiap kali air kali meluap, kami terendam banjir setinggi lutut bisa sampai berminggu-minggu. Mau hidup bagaimana itu frater?" Baru pada tahun 2007 tanggul dibuat. Maka selama dua tahun mimpi 15 kepala keluarga memperbaiki nasib terendam bersama luapan air kali. Yang ada adalah bagaimana bertahan hidup. Mereka semua adalah petani ladang, sampai sekarang. Panen apa yang bisa diharapkan jika seluruh ladang ikut terendam berminggu-minggu?
"Bantuan sembako dari pemerintah hanya 3 bulan pertama. Sesudah itu kami berusaha sendiri". Baru setelah tanggul dibuat mimpi itu hidup lagi.
Setiap kepala keluarga diberi jatah mengolah lahan seluas hampir satu hektare. Lahan seluas itu ditanami jagung dan umbi-umbian. Beberapa memanfaatkan pekarangannya yang luas untuk bertanam tomat, bawang dan cabe untuk dijual di pasar di desa Lelief. Nyaris setiap kepala keluarga memelihara beberapa ekor ayam dan bebek. Ada yang menambah lagi dengan beberapa pasang kambing (di Lelief cukup banyak penduduk muslim, dengan demikian kambing ada pangsa pasarnya). Beberapa sudah bisa membeli motor untuk mengojek. "Kalau tidak mengojek, hidup bisa lebih susah kalau hanya mengandalkan ladang" aku seorang umat yang memiliki motor. Dua keluarga membuka kios kecil-kecilan—yang lebih banyak merugi karena kebanyakan pembelinya lebih tepat disebut pengutang.
"Baru tahun lalu kami mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa alat pembangkit listrik tenaga surya untuk setiap kepala keluarga" cerita umat yang lain lagi. Listrik dari tenaga surya ini baru dimanfaatkan ketika malam tiba.
Pernahkah Anda menyaksikan di layar televisi rumah-rumah para transmigran? Begitulah. Rumat mungil dari papan yang seluruhnya dicat putih. Sebagian masih tetap demikian. Sebagian lagi sudah berubah. Dindingnya sudah disemen kasar walaupun baru setengahnya saja.
Cerita-cerita di atas meluncur dari mulut umat ketika kami sedang makan bersama di rumah mereka (tiga keluarga secara bergilir menjamu saya makan). Bukan di atas meja makan—tidak ada meja makan juga—tetapi lesehan di atas tikar di ruangan yang normalnya adalah ruang tamu.
Di ujung ibadah minggu Paskah, bendahara stasi mengumumkan jumlah kolekte yang terkumpul mulai dari Desember 2009 sampai dengan ibadah malam Paskah (03 April 2010). Jumlah semuanya Rp 200 ribu sekian.