Ternate: Seri Kesepuluh

Sabtu, April 24, 2010

Seri kesepuluh: Hujan di tanah kering

Saya ingin membagi kepada Anda sedikit rahasia—tapi Anda boleh saja menyebarluaskannya kepada yang lain.

Hidup kami, paling tidak saya, sebagai frater mirip-mirip dengan Anda yang sedang pacaran dan atau sudah menikah.

'Mirip-mirip' itu persisnya begini. Tanggal 09 Agustus 2002 pada sore hari, sekitar pukul 18.00 WIB, saya dan 20 frater dan bruder menerima busana rohani (jubah/toga) di Novisiat MSC di Karanganyar, Jawa Tengah. Dengan itu kami dinyatakan resmi menjadi seorang biarawan MSC. Juga, dengan memakai busana rohani itu, sebutan 'frater' jauh lebih mantap disandang.

Malam harinya ketika sudah harus berangkat tidur, banyak dari kami yang tidak melepaskan busana rohani itu. Jubah putih bersih itu 'resmi' menjadi pakaian tidur kami malam itu. Saking berbunga-bunganya. Rasanya-rasanya, pagi itu, saya tidak ingin membukanya ketika membersihkan diri di kamar mandi.

Bulan pertama jubah itu membuat saya seperti tidak menjejakkan kaki di tanah. Semuanya indah, penuh motivasi, antusiasme. Hati terus bergelora oleh suka cita yang dalam. Perasaan melambung tinggi. Di bulan pertama itu, saya sungguh-sungguh mengalami hadirat Tuhan. Saya sungguh-sungguh yakin dipanggil Tuhan untuk menjadi abdi-Nya.Doa-doa saya begitu intens. Di bulan pertama sebagai frater lengkap dengan busana rohani, saya sudah siap mati sebagai martir. Luar biasa.

Tetapi itu bulan pertama. Setelah itu semuanya berjalan normal, rutin, biasa dan basi. Apalagi sekarang di tahun kedelapan sebagai frater. Ada kalanya jubah putih yang tak lagi putih cerah itu membuat saya kepanasan. Pikiran untuk mengenakannya saat tidur tidak pernah muncul lagi.

Ritme hidup saya sebagai frater pun mengenal musim. Ada kalanya musim hujan (inilah saat di mana segalanya berlangsung seperti pada waktu bulan pertama saya memakai jubah). Adakalanya musim kemarau (hidup begitu kering, kurang bergairah, kurang termotivasi). Adakalanya musim kemarau berlangsung lebih lama dari musim hujan.

Mirip dengan pacaran dan perkawinan, bukan? Ada masa di mana cinta bisa sangat berkobar-kobar, ada masa di mana cinta itu suam-suam kuku. Pacaran dan perkawinan pun, dengar-dengar, mengenal juga musim kemarau dan musim hujan.

Syukurlah, Tuhan itu Maha Baik—tentu saja. Dia selalu mengirimkan momen, kesempatan, peluang dan orang yang tepat pada waktunya. Keberadaan mereka seperti layaknya hujan di atas tanah kering, layaknya hujan yang mengakhiri kemarau panjang.

Saya baru saja mengalami hujan itu. Ya, di daerah transmigrasi itu.

Umat di sana dilayani frater dan romo paroki hanya dua kali dalam setahun: pada Natal dan Paskah. Itu berarti kesempatan mendapat penggembalaan hanya sebanyak itu. Karena itu mereka sungguh rindu kehadiran seorang gembala di tengah mereka. Mereka menginginkan seorang gembala ada bersama-sama mereka sesering mungkin. Dan mereka sama sekali tidak malu-malu mengatakannya. Sejak saya tiba di sana (Kamis, 01/04) sampai kembali lagi ke Ternate (Senin, 05/04), mereka terus mengungkapkan kerinduan mereka.

Betapa seorang gembala sungguh mereka butuhkan.

Mendengar kerinduan dan kebutuhan mereka akan kehadiran seorang gembala, rasanya seperti melihat tetes-tetes air hujan jatuh dan menyuburkan lagi motivasi panggilan saya.

Tuhan Maha Baik.

P.S: Jika Anda sedang berada dalam musim kemarau juga, saya berdoa supaya Tuhan mengirimkan hujan dalam hidup Anda. Semoga Anda dikarunia rahmat yang Anda butuhkan.