Seri ketujuh: 40 tahun yang tidak sia-sia
Jumat (02/04) pagi hari. Terbetik kabar, ada umat Katolik dari desa seberang, Fritu nama desa itu, hendak datang merayakan Jumat Agung. Siangnya, sekitar pukul 12.30 WIT mereka tiba. Segera saya, diantar Ketua Stasi, pergi ke rumah di mana mereka sedang mengaso dan akan menginap sampai Hari Raya Paskah.
Ada 15 orang umat yang datang dari Fritu. Setelah bersalam-salaman dengan mereka semua, duduklah saya dengan 3 orang bapak: Paulus, Sergius, Laurentius. Usia ketiganya antara 60-70 tahun.
Cerita punya cerita tahulah saya ketiga bapak inilah cikal bakal bertambahnya umat Katolik di Fritu.
"40 tahun yang lalu kami bertiga tiba di desa Fritu, merantau dari Timor Leste. Hanya kami bertiga yang beragama Katolik di antara jemaat Protestan. Sekarang sudah bertambah menjadi 50 orang. Baru-baru ini 30 kepala keluarga Protestan mau pindah Katolik. Saya cuma bisa bilang tunggu pastor paroki" cerita pak Paulus.
Apa yang mereka lakukan sehingga jiwa-jiwa bertambah? Mereka tidak berdiri di jalan-jalan sambil berkotbah, tidak pula merasul apalagi mengiming-imingi 47 orang itu dengan ini dan itu.
Ketiganya menikah dengan wanita-wanita yang keukeuh mempertahankan agama Protestan yang mereka anut. Anak-anak, menantu-menantu dan cucu-cucu, semuanya Protestan. (Jangan ditanya seberapa besar dan seberapa sering tekanan dan atau godaan masyarakat sekitar dan keluarga besar dari pihak istri agar ketiganya menganut agama yang sama. Tambahkan dengan ajakan baik-baik sampai omelan, cemberutan dan silent protest istri masing).
Lalu apa yang ketiganya lakukan? Mereka hanya setia dengan iman Katoliknya. Dan hidup baik. Itu saja. Dan itu berlangsung selama 40 tahun hidup mereka di desa Fritu.
Setelah 40 tahun dalam kesetiaan dan kebaikan, satu-persatu anggota keluarga berputar haluan menjadi Katolik. Belakangan diikuti oleh keluarga besar dari istri-istri mereka.
Mereka tersentuh dan lalu tergerak menjadi Katolik demi menyaksikan iman sebesar itu.
"Tiap minggu kami beribadah bergantian di rumah-rumah kami. Ada buku tatacara ibadah, Kitab Suci dan patung Yesus. Kalau bulan Rosario, kami berdoa Rosario setiap malam" terang pak Paulus. Ongkos perjalanan yang mahal membuat mereka tidak bisa setiap kali datang beribadah bersama umat di daerah transmigrasi.
"Frater, itu buku tatacara ibadah dan Kitab Suci sudah dari 40 tahun yang lalu. Sedang patung Yesus pemberian orang yang waktu diberikan sudah rusak" pak Laurentius menimpali.
"Kami tidak ada Rosario frater. Jadi biasanya kalau berdoa Rosario pakai jari-jari saja" tambah pak Sergius. Besarnya biaya transportasi ke Ternate membuat masalah ketiadaan sarana untuk berdoa ini tidak dapat dipecahkan.
Tetapi itulah iman.
Dan Tuhan tidak buta: Dia memberkati kesetiaan iman dan kebaikan yang gigih itu dengan buah-buah yang lebat.
Sungguh tidak sia-sialah 40 tahun itu.
P.S: Ketika mereka sudah harus kembali ke Fritu lagi, saya menyerahkan Kitab Suci, buku Ibadah dan Rosario yang biasanya saya bawa ke mana-mana dan pakai. Saya bangga sekali mengenal mereka dan mendengar sharing-sharing iman mereka. Seumur-umur sebagai frater, saya belum pernah sebangga itu. Tuhan memberkati dan menguatkan jiwa-jiwa mereka.