Ternate: Seri Kedua

Minggu, April 18, 2010

Seri kedua: Apa yang frater harapkan?

Pukul 13.20 WIB kami tiba di bandara Babullah, Ternate. Setelah turun dari pesawat dan menjejakkan kaki di tanah Ternate kami sudah ditunggu oleh 2 bus pengangkut penumpang pesawat dengan kapasitas 30-40 penumpang. Ya, tidak ada penghubung —ada istilahnya tapi saya tidak tahu—dari pesawat ke ruang kedatangan bandara. Saya dan teman saya turun belakangan karena itu kami harus berjalan kaki dari landasan pesawat menuju ruang kedatangan menunggu (lagi) tas-tas kami. Jarak perjalanan kurang lebih 5 menit.

Tidak lama kemudian kami sudah berada di luar bandara, siap untuk dijemput. Tetapi oleh siapa?

Sebelum berangkat kami sudah menitipkan pesan kepada yang mengutus kami untuk mengontak romo dan frater yang sementara bertugas di paroki Ternate untuk menjemput kami. Biasanya juga begitu. Ia mengiyakan. Kami tenang.

Hasilnya? TIdak ada siapa-siapa yang muncul dengan pertanyaan, "Frater ya?".

Yang muncul (dengan agresif, seperti biasa) adalah supir-supir angkutan yang setengah bertanya, setengah merayu, setengah memaksa agar kami menggunakan mobilnya sebagai tumpangan. (Saya terheran-heran dan terkagum-kagum, ternyata yang namanya angkutan umum di Ternate itu mobil-mobil jenis Avansa, Terios, Xenia, Yaris dan Inova yang diberi plat kuning. Keren ya?)

Kami tidak bergeming karena yakin pasti akan dijemput. Saya menelpon frater yang bertugas di Ternate. Tidak diangkat. Saya menunggu sebentar, berharap akan ditelepon balik. Ternyata tidak. Jadi saya meneleponnya lagi. Sama. Saya mengirim pesan pendek. Balasannya datang, "Saya lagi di Manado". Gubrak…

Si frater lalu mengirimkan nomor romo paroki. Saya menelepon. Tidak diangkat juga (setelah bertemu, ia mengaku sedang berolahraga).

Perut mulai keroncongan (nasi goreng seukuran kepalang tangan saja tidak bisa disebut makan siang 'kan?)

Sudah pukul 14.15 WIB. Kami sudah ditinggal pergi oleh supir-supir angkutan yang "ganas" itu. Sebagian karena sudah menemukan penumpang. Sebagian karena percaya rayuan mereka tidak mempan. Di luar bandara sudah sepi. Mobil-mobil angkutan umum di parkiran tinggal satu-dua.

Belum ada tanda-tanda.

Seorang supir angkutan umum menghampiri kami dan bertanya ini-itu. Setelah memperoleh jawaban, dia mengaku tahu tempat tujuan kami, kenal baik sang romo paroki (sosok yang disebutnya dikenal seantero Ternate), dan kendaraannya biasa digunakan romo paroki untuk mengantar tamu beliau.

Baiklah.

"Berapa menit dari sini ke Gereja paroki?" tanya teman saya, mulai menyerah.

"Yaaaa, 20 menit" jawabnya.

"Bayar berapa?" tanya saya, siap-siap berangkat.

"Seratus ribu" jawabnya lagi, ringan.

Saya dan teman saya saling menatap. Jadi, untuk perjalanan yang hanya dua puluh menit itu kami harus membayar seratus ribu?

Kami tetap menunggu jemputan.

Pesan pendek masuk, dari frater yang mengaku sedang di Manado, katanya jemputan dalam perjalanan. Pukul 15.25 kami tiba di pastoran paroki. Benar, hanya 20 menit saja jaraknya.

Malamnya, di meja makan, saya menceritakan kepada romo paroki perbandingan tarif dan jarak yang tidak masuk akal itu. Beliau tertawa sambil bertanya balik, "Apa yang frater harapkan?".

Benar. Hidup, adakalanya, berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Hidup memiliki jalannya sendiri. Tuhan mengatur dan mengarahkan hidup kita dengan pikiran dan rancangan-Nya sendiri.

Kalau itu terjadi (atau kalau sekarang sedang terjadi), ikhlaskan. Tidak ada gunanya terus bertahan dengan rencana awal. Miliki rencana B.

Kalau dipikir-pikir, bodoh juga keputusan kami itu. Mengapa tidak membayar saja seratus ribu ketimbang membiarkan lambung terluka karena kosong? Kalau lambung terluka, bukankah biayanya bisa jadi lebih besar dari seratus ribu?