Seri kedelapan: Sarapan terenak sedunia
Sebelum berangkat ke kantor atau tempat kerja lain atau sekolah atau kuliah, apa yang biasanya Anda santap sebagai sarapan? Paling tidak pagi ini, apa yang Anda santap? Atau kalau sekedar minum, apa yang Anda minum?
Saya sudah menikmati berjenis-jenis sarapan pagi mulai dari hidangan lengkap (nasi+ikan/tahu/tempe/telur dadar+sayur+teh manis kalau lagi ada gula/susu kalau ada kelebihan bujet, ini sarapan pagi kami di Pineleng) sampai hidangan tidak lengkap (indomie goreng saja, bihun goreng saja, oat quaker saja, nasi goreng saja atau hanya segelas jus apel atau pir atau susu coklat, ini sarapan sewaktu bertugas di Pluit).
Di antara semua yang sudah dan biasanya masuk ke perut saya pada pagi hari, baru sarapan pagi di daerah transmigrasi saya sebut sarapan terenak sedunia.
Sarapan apa?
Jumat malam (02/04). "Besok kita pergi ke ladang ya, saya mau lihat-lihat sambil olahraga" begitu pesan saya sebelum berangkat tidur kepada beberapa Mudika yang berjaga di gereja.
Sabtu (03/04) pukul 06.30 WIT. Saya ditemani tiga orang Mudika pergi ke ladang. Belum lagi sarapan. "Pakai sepatu boats frater soalnya banyak rumput gatal" kata seorang Mudika. Baiklah. Kami pun berangkat. Jarak dari gereja ke ladang yang biasanya diolah umat kurang lebih satu kilometer. Pagi itu cerah sekali, syukurlah. Kami berjalan menyusuri pinggiran kali—bukan kali besar, kali yang ini jauh lebih kecil (lebarnya hanya 3 meter) dan lebih dangkal (setengah betis orang dewasa)— menuju ladang.
Di antara kami berempat, hanya saya yang menatap lurus ke depan. Ketiga teman seperjalanan saya ini sibuk mencari-cari sesuatu di kali kecil itu. "Siapa tahu dapat belut, frater" adalah jawaban yang saya terima dari salah satu yang memegang golok. Rupanya kali sekecil itu menyimpan potensi juga. Dan benar saja. Pagi itu mereka menangkap dua ekor belut. Tidak serentak mereka berhasil menangkap keduanya. Belut-belut itu ditangkap di dua titik yang berbeda.
Saya baru tahu pagi itu kalau di pagi hari belut, terutama kepalanya, akan muncul di permukaan air untuk menerima cahaya matahari melalui matanya. "Seperti charge, frater" jelas salah seorang Mudika. Mata belut yang sedang menerima cahaya matahari berubah menjadi putih semuanya. Dengan kata lain belut yang sedang nge-charge itu buta sementara. Rupa-rupanya sinar matahari yang diperoleh di pagi hari itu disimpan untuk keperluan bertualang pada malam hari. "Matanya akan menjadi terang seperti kunang-kunang di waktu malam" tambah seorang lain lagi.
Kami melanjutkan perjalanan sambil membawa dua ekor belut bernasib sial itu. Akhirnya tibalah kami ladang. Deretan jagung yang sudah siap dipanen menyambut kami. Dari balik lebatnya jagung-jagung itu, seorang bapak muncul dengan golok besar di tangan. Seorang umat ternyata yang mengira kami adalah gerombolan pencuri jagung. Rupanya semalam sebagian jagungnya sudah dipanen terlebih dahulu oleh pencuri.
Beliau mempersilahkan kami mampir di pondoknya yang kecil di pojok ladangnya. Dengan segera ia memetik sejumlah jagung muda, mengumpulkan beberapa potong kayu api dan menyalakannya. Mudika yang menemani saya segera mengambil alih pekerjaan beliau.
Dan sarapan kami pagi itu adalah jagung bakar dan belut bakar. Sebelum dibakar belut itu hanya ditaburi garam yang tersimpan di pondok—sebelumnya si belut sudah dicuci bersih-bersih di kali; hanya ditaburi garam saja—dengan takaran yang sungguh pas—dan dimakan dengan jagung bakar. Itu saja. Tidak ada mentega. Tidak ada sambal.
Tetapi rasanya …
Itulah sarapan pagi terenak sedunia. Sederhana dan apa adanya adalah gerbang menuju sesuatu yang istimewa untuk jiwa.