Untuk mengisi liburan semester pada bulan Juli kemarin (yup, saya sedang kuliah), saya menjalani magang sebagai wartawan di salah satu koran lokal di Manado. Saya menjadi wartawan selama sebulan penuh. Wartawan dalam arti sebenarnya: harus mencari berita (saya diharuskan menyetor 2 berita sehari), menemui narasumber, stress dengan deadline, dan, tentu saja, sesekali dimarahi redaktur. Ini kerja yang lumayan berat (mengingat ritme hidup kami yang hanya berputar-putar dari satu ibadah ke ibadah lain, satu pendampingan ke pendampingan lain) dan menantang (semacam keluar dari comfort zone alias terbiasa diperlakukan dengan hormat oleh umat berganti ke dicuekin orang, dipelototin, dicurigai, dimarahi dan seterusnya) tetapi menyenangkan (kapan lagi dihargai orang pertama-tama karena kerja keras, bukan karena status yang melekat?).
Ngomong-ngomong tentang narasumber, lama-lama saya menyadari ada beberapa jenis narasumber. Pertama, mereka yang langsung senang bukan kepalang karena akan dimuat di koran (tetapi sok cool). Untuk tipe ini, kalau tidak dihentikan mereka akan nyerocos terus. Kadang-kadang saya merasa orang-orang ini lebih membutuhkan teman. Kedua, mereka yang karena alasan hirarki tidak bisa buka mulut. Untuk tipe ini, biasanya, mereka akan buka mulut juga pada akhirnya. Asal dipancing dengan pertanyaan yang tepat plus sedikit bujukan. Ketiga, mereka yang dingin, cuek atau meladeni dengan asal-asalan. Untuk tipe ini, penyebabnya sederhana: mereka sudah ditipu banyak kali oleh wartawan gadungan. Untuk tipe ini, perlakuannya harus benar-benar khusus, tiap orang beda perlakuan. Keempat, mereka yang menolak sama sekali untuk diwawancarai. Untuk tipe ini, rayuan yang gencar akan meluluhkan hati mereka. Lama-lama juga saya menyadari pendekatan sama pentingnya dengan maksud baik.
Apa yang sesungguhnya terjadi dalam kisah kunjungan Maria kepada Elisabeth, saudarinya (Luk. 1:39-56)? Sederhana saja, keduanya saling mewartakan kabar baik: sama-sama sedang mengandung karena kehendak Allah. Tetapi yang sederhana itu menjadi istimewa ketika dari mulut Elisabeth keluar kata-kata yang sebagian, dengan sedikit modifikasi, kini kita gunakan dalam doa Rosario dan dari mulut Maria melantunlah Kidung Agung. Apa yang memicu keistimewaan itu sampai terjadi? Pendekatan. Ceritanya tentu akan berbeda sama sekali jika Maria hanya berkirim surat kepada Elisabeth. Atau mengirim utusan untuk memberi tahu. Dengan datang sendiri menemui Elisabeth, kata-kata agung keluar dari mulut keduanya. Kabar baik itu berkembang menjadi doa-doa yang sangat istimewa.
Maka, jangan anggap enteng pendekatan. Kabar Baik, sebaik apapun, yang Anda wartakan kepada orang lain bisa jadi mati sebelum berkembang menjadi sesuatu yang istimewa jika Anda mengabaikan pendekatan.