"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata" (Mat. 18:15)
Ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Setelah berakhir saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Beberapa bulan yang lalu, karena kesalahpahaman, saya memarahi habis-habisan seorang teman saya. Senior saya sebenarnya. Dia di atas saya satu tahun.
Saya memarahinya di depan junior-junior kami yang hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat apa-apa. Maklum, junior. Rasanya saya memarahinya 15 menit saja waktu itu. Setelah itu saya meninggalkannya. Dia dengan tenang masuk ke kamarnya. Setengah jam kemudian, setelah reda rasa marah, saya mengetuk pintu kamarnya. Dia membukanya.
Saya meminta maaf padanya atas kekasaran saya.
Ia memaafkan saya.
Kami berpelukan.
Setelah itu ia membuat pengakuan yang rasanya seperti sebuah tinju keras di ulu hati.
Katanya, ia terluka. Memang dia bisa memahami alasan saya marah besar. Tapi yang membuat dia terluka adalah kenyataan bahwa saya memarahinya di depan junior-junior kami. "Kalau kamu memarahi saya di dalam kamar, dan hanya kita berdua yang tahu, saya akan menerimanya". Luka sudah menganga. Butuh waktu untuk menyembuhkannya walaupun saya sudah minta maaf.
Sejak saat itu saya berjanji kepada diri sendiri, saya akan berjuang untuk tidak akan pernah lagi memarahi seseorang di depan orang lain. Membuka kesalahan dan aib seseorang di depan umum sama dengan mengiris-iris harga diri dan kehormatannya sebagai seorang pribadi. Yang tersisa hanyalah luka yang menganga. Apa yang paling penting bagi seseorang jika bukan harga diri dan kehormatannya?
Saya pun akan terluka jika ada orang yang mengiris-iris harga diri dan kehormatan saya. Mengapa harus melakukannya untuk orang lain?