Lebih Susah Mana: Jadi Tabib atau Orang Sakit?

Jumat, Agustus 14, 2009

"Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit" (Mat. 9:12)

Suatu malam, seorang teman menceritakan pada saya apa yang mengganjal di hatinya hari-hari itu.

Itu cerita yang panjang. Jadi saya akan mengulangi versi singkatnya saja. Begini. Uangnya yang sedianya akan dipakai untuk keperluan kuliah hilang. Uang itu ada di dalam dompetnya dan dompet itu tergeletak begitu saja di kamar kos sahabatnya. Ia menginap malam itu di sana bersama sahabatnya. Ketika terbangun dompetnya masih ada di tempatnya, kecuali uangnya. Ia menduga sahabatnya yang mengambilnya. Dugaan ini diperkuat lagi dengan kelakuan sahabatnya yang berubah sejak peristiwa itu. Sahabatnya sering gugup jika berbicara dengannya, selalu menghindar kontak mata dan marah-marah tidak jelas jika ia menyinggung peristiwa kehilangan itu.

"Sudah pernah konfirmasi ke dia tentang dugaan kamu?"

"Frater, kami sudah bersahabat selama 15 tahun. Saya tidak ingin merusak persahabatan kami hanya gara-gara Rp. 50.000" jawabnya. Usia persahabatan itu nyaris ¾ usianya. Bisa dimengerti.

Masalahnya adalah dugaan itu terus saja menghantuinya kemanapun ia pergi dan apapun yang ia lakukan. Bisa ditebak, persahabatan mereka tidak pernah sama lagi sejak peristiwa itu. Itu mengganggu pikirannya juga.

"Jadi, saya mesti bagaimana frater?"

Saya mengatakan kepadanya, ia berhak mengonfimasi dugaannya. Jika benar, maafkanlah dia. Jika ia menyangkal, masalah selesai.

"Tapi saya tidak mau menyinggung perasaannya. Bagaimana jika saya yang salah?"

Saya mengatakan kepadanya, yang harus kamu pikirkan sekarang adalah kenyataan bahwa hidupmu tidak tenang. Jika kamu ingin mendiamkan saja persoalan ini, kamu melindungi perasaannya tetapi bagaimana dengan perasaanmu. Lagipula lebih cepat diselesaikan lebih baik supaya persahabatan kalian bisa kembali seperti dulu lagi.

"Ok, frater. Saya akan bicara dengannya".

Sampai detik ini saya tidak tahu apakah ia benar-benar berbicara dengan sahabatnya. Kami sempat bertemu beberapa kali tetapi ia tidak menyinggungnya. Ia juga kelihatan berharap saya tidak menanyakannya. Jadi, asumsi saya adalah ia memilih mengubur perasaannya—zaman sekarang mencari teman saja susah, mengapa harus melepaskan seorang sahabat?

Apakah Anda pernah atau malah sering menjadi tempat curhat bagi orang-orang di sekitar Anda? Tahukah Anda keuntungan menjadi 'tabib' bagi masalah orang lain?

Ini: Anda tidak memikul beban emosional yang harus dipikulnya. Saya jelas-jelas tidak perlu merasa tidak enak hati: yang diduga mencuri itu bukan sahabat saya dan jelas-jelas bukan saya yang akan mengonfirmasinya. Saya hanya memberi nasehat yang rasa-rasanya cukup simpatik dan logis. Sampai di situ saja. Teman saya ini yang akan memikul beban emosional itu: tidak enak hati, malu, takut, tidak percaya diri, trauma, luka batin...

 Jadi, kapan saja Anda mendengarkan curhat yang itu-itu lagi, bijaksana jika Anda tidak mulai dengan "Kan gue udah bilang dari dulu…"

Ada saatnya menjadi 'tabib' berarti percaya bahwa 'si sakit' ini bisa memutuskan yang terbaik untuk hidupnya. Ini susah minta ampun jika Anda mengukur keberhasilan Anda sebagai seorang 'tabib' dengan seberapa sering nasehat Anda diterima dan diterapkan 'si sakit'. Ego… Ego… Yahhh, 'tabib' juga manusia.