Beberapa tahun lalu saya pernah bertemu dan bercerita dengan seseorang yang dalam 30 menit kemudian saya tahu orang ini penuh dengan kemarahan.
Bukan sifat alamiahnya yang pemarah dan mudah meledak. Sama sekali bukan.
Ia marah kepada orang-orang yang disebutnya "membuat saya menjadi seperti ini" (pengangguran, kurus dan penyakitan, dikejar-kejar deb collector, makan tak menentu, tidak punya masa depan, luntang-lantung ke sana kemari). Sebelum "seperti ini", ia mengaku punya masa depan yang cerah, pekerjaan istimewa dengan gaji yang lebih dari cukup.
Kelihatan sekali kalau kemarahannya menguasai hati dan pikirannya sehingga tak banyak yang ia lakukan untuk bangkit lagi. Hidupnya dikuasai penuh oleh kemarahannya akan masa lalu.
"Pernah berpikir untuk memaafkan mereka?" tanya saya.
"Ngapain?" balas dia, dengan marah.
Saya tidak tahu apakah ceritanya tentang "orang-orang yang menjadikannya seperti ini" itu benar atau tidak. Mungkin benar tapi mereka bisa jadi tidak sepenuhnya bersalah.
Saya juga tidak berusaha meyakinkan dia kalau hidupnya adalah tanggung jawabnya sepenuhnya. Hidupnya adalah pilihannya dan ia bisa saja memilih untuk memaafkan orang-orang itu. Ia, saat itu, jelas-jelas hanya butuh didengarkan, bukan dikotbahi.
Tiga malam yang lalu saya mengingat lagi pertemuan kami itu. Tidak ada bayangan sama sekali bagaimana nasibnya sekarang.
Tetapi pikiran ini terbit di otak saya: memaafkan itu ternyata bukan hanya soal iman; bukan karena tuntutan hidup seorang Kristen memang demikian.
Memaafkan itu soal melanjutkan hidup. Tidak stuck pada masa lalu. Karena hidup bukan tentang masa lalu.
Ya, ya, ya, memaafkan berarti melanjutkan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar