Godaan Pertama

Senin, Oktober 20, 2008
"Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti" (Mat 4:3).
 
Itu godaan iblis yang pertama kepada Yesus di padang gurun.
 
Apa yang Bapa Suci renungkan tentang godaan ini?
 
Godaan ini, pertama-tama dan terutama pada bagian "Jika Engkau Anak Allah", menuntut Yesus untuk membuktikan diri-Nya sendiri kalau Dia benar-benar adalah Anak Allah.
 
Godaan ini kurang lebih sama seperti yang kita ajukan atau orang ajukan kepada kita: kalau Allah ada harusnya Dia bisa membuktikan kalau Dia benar-benar ada; kalau Allah itu ada harusnya tidak ada penderitaan, kemalangan, kesakitan, dst, dst. Kalau Yesus itu benar-benar Tuhan harusnya…. Kalau Gereja itu sungguh dari Allah harusnya…
 
Pertanyaannya adalah mengapa mesti "mengubah batu menjadi roti" menjadi godaan pertama?
 
Bapa Suci menulis demikian: "Apakah ada sesuatu yang lebih tragis, apakah ada sesuatu yang lebih bertentangan dengan kepercayaan akan Allah yangmahabaik dan Penebus umat manusia, daripada kelaparan dunia ini? Bukankah sudah semestinya menjadi batu uji yang pertama dan utama tentang Sang Penebus, di hadapan dunia yang membelalakkan pandangan dan atas nama serta demi kepentingan dunia itu, untuk memberi "roti" bagi dunia dan mengakhiri semua bentuk kelaparan?"
 
Lebih lanjut Bapa Suci mengatakan "Jika Engkau Anak Allah—benar-benar menantang! Dan bukankah kita seharusnya mengatakan hal yang sama pada Gereja? Bila Anda mengklaim diri sebagai Gereja Allah, mulailah dengan menjamin dan memastikan bahwa dunia punya roti—yang lain urusan belakangan".
 
"Manusia hidup bukan dari roti saja tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Mat 4:4) merupakan jawaban Yesus atas godaan itu.
 
Bagaimana memahami jawaban Yesus ini?
 
Menurut Bapa Suci terdapat dua cerita besar menyangkut roti dalam kehidupan Yesus.
 
Pertama, ketika Yesus memperbanyak roti untuk ratusan orang yang mengikuti Dia. "Mengapa pada saat itu Kristus melakukan hal yang justru dahulu ditolaknya sebagai pencobaan? Kerumunan orang banyak itu telah meninggalkan segala-galanya untuk datang mendengarkan firman Allah. Mereka adalah orang-orang yang telah membuka hatinya kepada Allah dan kepada sesama; karenanya mereka siap menerima roti itu dengan disposisi [baca: sikap batin] yang benar. [Urutannya adalah] Mukjizat didahului oleh ikhtiar [usaha] mencari Allah, mencari firman-Nya, mendengakan ajaran yang menata segenap kehidupan pada jalannya yang benar. Lebih dari itu, Allah sendirilah yang dimohonkan memasok roti tersebut. Dan akhirnya, kesediaan berbagi dengan sesama merupakan unsur hakiki dari mukjizat. Ihwal mendengarkan Allah berubah menjadi hidup bersama Allah dan mengantar iman pada kasih, pada penemuan terhadap sesama".
 
Kedua, "Perjamuan akhir yang menjadi Ekaristi Gereja dan mukjizat abadi Yesus tentang roti. Yesus sendiri menjadi biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati dan menghasilkan banyak buah. Ia sendiri menjadi roti bagi kita, penggandaan roti yang ini mengabadi hingga akhir zaman, tanpa pernah ada habis-habisnya".
 
Dua cerita besar seputar roti dalam hidup Yesus memperlihatkan jawaban mengapa Yesus menjawab  iblis demikian di atas tadi.
 
Jawabannya, Bapa Suci mengutip kata-kata Biarawan Yesuit asal Jerman Alfred Delp yang dihukum mati oleh Nazi, "Roti itu penting, kebebasan lebih penting, namun yang paling penting dari segala-galanya adalah kesetiaan yang tak terpatahkan serta penyembahan kepada Allah yang tak berkanjang [baca: berkesudahan]".
 
Sederhananya: Yesus memperlihatkan urutan yang benar untuk sikap seorang beriman: bukan roti lebih dahulu atau kuasa nomor satu. Tetapi Allah.
 
Mencari Allah, mendengar firman-Nya dan menaati-Nya akan membawa kita ke sikap belas kasih sehingga bisa membagi roti kepada sesama kita.
 
Bapa Suci menegaskan "Yesus tidak masa bodoh terhadap kelaparan manusia, kebutuhan-kebutuhan jasmani mereka, namun Ia menempatkan hal-hal ini dalam konteksnya yang benar dan juga seturut urutannya yang benar".
 
"Manakala tatanan [atau urutan] hal-hal ini tidak lagi dihormati, tetapi dijungkirbalikkan, hasilnya bukannya keadilan atau kepedulian terhadap penderitaan manusia. Sebaliknya, hasilnya adalah keruntuhan dan kehancuran, juga atas benda-benda material itu sendiri".
 
"Tatkala Allah dianggap sebagai hal kedua yang dapat dikesampingkan untuk sementara waktu atau untuk selama-lamanya mengingat ada hal-hal lain yang lebih penting, justru hal-hal lain tadi yang dianggap penting terbukti sama sekali bukan apa-apa".
 
Membaca refleksi Bapa Suci ini saya jadi ingat kata-kata Yesus dalam perikop yang lain, "carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu" (Mat 6:33).
 

Tuhan dulu, yang lain akan mengikuti. God first, others will follow.

0 komentar: