Mamanya si Abang

Selasa, Desember 08, 2009

Minggu lalu saya ingin menikmati film di bioskop. Kebetulan sepanjang siang tidak ada acara yang harus saya hadiri dan tidak ada pekerjaan mendesak yang harus saya selesaikan.

Tetapi kenikmatan kadang memang tidak bisa diperoleh dengan mudah. Antrian di loket pembelian karcis demikian panjang. "Sesekali ini" pikir saya. Jadilah saya bergabung bersama dengan para pengantri. Berdiri. Menunggu.

Di depan saya berdiri seorang wanita muda berpenampilan kasual, di pertengahan 30-an usianya. Tidak seperti saya dan yang lainnya yang menatap lurus ke depan, wanita muda ini berdiri menyamping ke sebelah kanan. Saya mengikuti arah tatapan matanya dan berhenti pada bocah yang berlarian ke sana ke mari.

"Anaknya ya?" tanya saya.

"Iya" jawabnya sambil melihat saya. Ramah.

"Umur berapa?"

"Tiga tahun".

"Ganteng".

"T'rima kasih".

Dan… saya baru saja membobol tembok bendungan.

Sambil tetap mengawasi putranya yang dipanggilnya "Abang" (sekalipun ia mengaku tidak ingin menambah anak lagi), mulailah ia berceloteh panjang lebar tentang abangnya ini. Mulai dari "Anaknya hiperaktif, bla-bla-bla" sampai "Bapaknya suka gak sabaran". Dari "Sejak umur 3 taon ini saya udah mulai memperkenalkan pendidikan seks, misalnya bla-bla-bla" sampai "dia udah tau bedain teman, pacar, suami" (sampai di sini ia memanggil si abang untuk membuktikannya). Mulai dari "Waktu ngandung si abang, berat badan saya naek ampe 70-an kilo padahal sebelumnya cuman 45. Nah, abis ngelahirin tuh bla-bla-bla" sampai "kalaupun nambah anak lagi saya pengen hamil model busung lapar aja. Tau 'kan model busung lapar?".

Mmmmm… kalau tentang anak, rasanya ibu-ibu memang punya perpaduan bakat antara mengeluh, bangga dan pamer.

"Sekarang saya tau dari mana sifat hiperaktifnya si abang" kata saya. Dia tertawa. Renyah. Sedap didengar.

"Muslim ya?" tanya dia setelah celotehan panjang lebar di atas.

Saya tersenyum.

"Suami saya juga muslim" sambarnya cepat, merasa mendapat angin. "Saya tetap Kristen".

Situasi seperti ini sudah sering saya hadapi. Yang tidak biasa adalah percakapan kami selanjutnya.

"Kenapa gak pengen ngasih ade buat abang?"

"Saya terkena kanker payudara stadium tiga" katanya ringan, santai sekali.

Dia tersenyum melihat saya. Mungkin ingin melihat seperti apa reaksi saya.

"Teman-teman saya nangis semua waktu dengar berita ini. Saya menenangkan mereka, saya gak mau dikasihani. Ada saatnya sakit banget dan saya menangis tetapi itu di rumah di dalam kamar".

Dia mengaku sudah ikhlas menerimanya. "Saya gak kayak orang lain yang menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi. Apa gunanya juga? Sakit ya sakit. Saya tetap berdoa kepadanya setiap hari. Saya hanya minta sama Tuhan satu hal: saya hanya ingin melihat abang tumbuh dewasa. Setelah itu terserah Dia".

Dia mengatakan itu semua dengan riang sambil berbagi pandangan antara mengawasi si abang dan melihat saya.

Saya sama sekali orang asing bagi dia. Dan dia sama sekali orang asing bagi saya. Tetapi pelajaran terbaik tentang bagaimana menghadapi penderitaan justru datang dari orang asing ini. Di tengah antrian di bioskop. Ada kenikmatan sesaat di depan mata seharga Rp. 20.000. Ada pelajaran iman teramat berharga yang sama sekali gratis.

Menghadapi kanker dengan ikhlas dan riang??? Berbahagialah si abang, dia dibesarkan oleh seorang ibu yang luar biasa.