Masa Kalah Terus? Ayo Dong

Jumat, Oktober 09, 2009

Beberapa bulan lalu saya duduk bersama dengan seorang rekan kerja yang menangani periklanan. Ia menerangkan pada saya lika-liku bidangnya. Mendengarnya menjelaskan, saya seperti orang buta yang baru saja dibukakan matanya oleh Yesus.

"Yang penting" katanya, "adalah kantor memperoleh pemasukan dari pembayaran iklan sesuai dengan harga yang sudah ditetapkan. Ini prinsip".

Saya manggut-manggut.

"Para calon pemasang iklan tidak tahu berapa harga resmi yang ditetapkan oleh kantor".

Jadi?

"Nah, ini bagian kita. Jika harga resminya Rp. 250 ribu maka katakan kepada calon pemasang Rp. 350 ribu".

Ia melanjutkan lagi dengan cepat seperti bisa membaca pikiran saya, "Eits, jangan salah, yang Rp. 100 ribu itu dihitung sebagai professional fee. Bukan mark-up, bukan korupsi".

Ia lantas tertawa pahit.

"Ok. Itu korupsi. Hanya kami lebih suka menyebutnya professional fee supaya tidak kedengaran seperti sebuah dosa". Tentu saja.

Ia bisa mencurangi bahasa tetapi ia tidak pernah bisa menipu suara hatinya.

Pernahkah Anda mencurangi bahasa? Atau pernahkah Anda mendengar orang-orang sekitar Anda melakukannya?

Rekan kerja saya ini tidak sendiri. Ada saatnya kita memilih mencurangi bahasa: memperhalus istilah untuk beberapa tindakan sehingga membuatnya tidak kedengaran seperti sebuah dosa dan membuat kita tidak kelihatan berbuat dosa. Dan itu membuat kita mengulangi tindakan itu, lagi dan lagi.

Masalahnya adalah bahasa bisa dimanipulasi tetapi tidak hati nurani. Rasa bersalah itu ada, kadang memberontak dan mengganggu.

Adakah Anda pernah terganggu? Adakah mereka pernah terganggu?

Sesungguhnya ini cerita tentang orang-orang yang kalah. Ini cerita tentang kita yang menyerah pada tingginya biaya hidup, tekanan lingkungan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja, nafsu pribadi. Ini cerita tentang setan yang berhasil mengalahkan kita. Dan supaya tidak kelihatan kalah total, kita memanipulasi bahasa.

Padahal, kalah ya kalah. Terserah apapun istilahnya. Tidak ada kekalahan elegan. Tidak ada kekalahan terhormat. Itu menghibur diri. Itu manipulasi bahasa.

Maukah Anda keluar sebagai pemenang? Beranikah Anda tampil sebagai pemenang? Paling tidak, maukah Anda berusaha? Beranikah Anda berusaha?

Buatlah diri Anda sendiri bangga karena (sering) keluar sebagai pemenang. Masa kalah terus?

Ayo dong…