Di negeri orang, banyak hal bisa mengejutkan.
Seperti semenjak tinggal di Jepang, banyak hal mengejutkan saya.
Makanannya. Tata krama penduduk setempat. Lalu lintasnya yang tertib-teratur (nyaris tidak ada kemacetan). Kebersihan jalan-jalannya.
Dan… iman.
Hari ini saya menghadiri Misa di gedung yang diperuntukkan bagi pelayanan untuk pendatang (Indonesia, Filipina, Amerika, Australia, Afrika, dan seterusnya).
Misanya sendiri diadakan di kapel yang terletak di lantai 3.
Persis di lantai di bawahnya akan ada Misa yang diperuntukkan untuk mereka yang bisu dan tuli.
Misa khusus untuk orang bisu dan tuli?
Saya seperti tidak percaya pada pendengaran saya sendiri.
"Berapa orang biasanya datang?".
Kurang lebih 15 orang. Begitu keterangan yang saya dapat dari Romo yang bertanggung atas pelayanan di gedung ini.
Seumur-umur saya menjadi orang Katolik (28 tahun) dan seumur-umur saya menjadi Frater (9 tahun), inilah pertama kalinya saya mengetahui ada Misa untuk orang bisu dan tuli.
Tentu saja Romo yang mempersembahkan Misa akan didampingi oleh seorang penerjemah bahasa isyarat.
Gereja, teristimewa pihak Keuskupan Nagoya, tentu saja layak mendapat pujian karena memulai karya pelayanan ini: Misa untuk orang bisu dan tuli. Sekalipun yang menghadirinya 'hanya' 15 orang.
Kepekaan Gereja, di satu sisi, akan keterbatasan umatnya tetapi di sisi lain, kebutuhan rohani umat yang terbatas secara fisik yang harus dipenuhi adalah poin kelayakan itu.
Tetapi yang sungguh mengagumkan adalah umat yang terbatas secara fisik itu.
Mereka bisu. Dan tuli.
Tetapi tidak hati mereka. Tidak iman mereka.
Hati dan iman mereka tidak bisu dan tuli.
Keterbatasan fisik mereka tidak menjadi alasan untuk tidak mencari Tuhan, mendengar sabda-Nya dan menyantap Tubuh-Nya.
Saudara-saudari, di Nagoya, orang bisu dan tuli pun ingin bertemu Tuhan dalam Ekaristi!