Saya lupa kapan terakhir kali saya jatuh cinta. Maksud saya, jatuh cinta yang benar-benar jatuh cinta.
Pengalaman terbaru (atau terakhir?) saya tentang cinta pria-wanita sebagai pasangan ketika di SMA dulu. Cinta SMA, yaaaa, Anda tahu sendirilah kualitasnya seperti apa.
Jadi, saya tidak pernah bisa mengerti apa yang pernah saya lihat dengan mata kepala sendiri kejadian beberapa waktu yang lalu.
Suatu malam ketika hendak menghadiri sebuah pertemuan, saya diberitahu saudara kandung dari seorang umat saya meninggal dunia. Jenazahnya disemayamkan di rumah umat saya ini.
Karena belum ada tanda pertemuan dibuka, saya menyempatkan diri melayat. Lagipula jarak rumah duka dengan tempat pertemuan memang dekat, tidak sampai lima menit dengan berjalan kaki.
Di sana saya mendapati jenazah terbaring kaku. Di depannya duduk seorang ibu di usia 30-an dan tiga orang anak duduk mengapit.
"Itu istri dan anak-anak almarhum" begitu saya dibisiki umat yang berduka.
Saya menyalami mereka sambil menyatakan turut duka cita. Setelah itu, saya mengajak mereka berdoa bersama untuk kebahagiaan kekal almarhum dan kekuatan dan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Saya masih berada di sana sekitar setengah jam untuk menyadari doa mohon kekuatan dan hiburan bagi keluarga itu mungkin tidak berlaku untuk sang istri.
Wanita itu, istri almarhum, duduk di sana, di depan jenazah suaminya. Tetapi tidak terlihat air mata yang menetes. Pun matanya tidak memperlihatkan tanda-tanda seorang yang menangis.
Ekspresi wajah dan bahasa tubuhnya persis seperti ketika Anda berada di rumah duka padahal Anda tidak punya kedekatan emosional secuilpun dengan almarhum; persis seperti ketika Anda harus berada di rumah duka hanya karena Anda tidak punya pilihan lain.
"Rumah tangga mereka memang bermasalah frater. Mereka sudah pisah rumah beberapa bulan ini" bisik salah seorang pelayat seolah bisa membaca keheranan saya.
Masuk akal.
Tetapi tidakkah ada kenangan manis yang tersisa untuk ditangisi?
Katanya, cinta memang bisa datang dan pergi dari hati seseorang. Saya hanya tidak menduga (dan tidak mengerti) ia bisa pergi tanpa meninggalkan bekas.
Mungkin, wajar juga, saya tidak mengerti. Bisa apa kalau pengalaman saya hanya sampai SMA?