Dalam sebuah karya pelayanan, mana yang lebih baik: jumlah umat sedikit atau banyak?
Suatu siang di Manado. Beberapa bulan yang lalu.
Seorang Romo menunjukkan beberapa foto berisi gereja-gereja bukan Katolik yang menjamur di Manado.
"Banyak umat kita sekarang menyeberang ke gereja-gereja ini" katanya mengungkapkan keprihatinannya.
"Mengapa?" tanyanya.
"Banyaknya umat dalam Gereja kita membuat banyak pula umat yang tidak disapa secara personal, tidak dikunjungi secara teratur, diperhatikan dan dilayani secara rohani. Di gereja-gereja non-Katolik, karena jumlah umatnya yang sedikit membuat pelayanan sedemikian personal, semua orang saling mengenal dan saling peduli sedemikian rupa sehingga tiap anggota merasa diterima dan diperhatikan kebutuhan rohaninya" jawab saya ketika itu.
Waktu itu saya sungguh yakin jumlah teramat menentukkan. Dan waktu itu saya yakin, jumlah umat yang sedikit membuat pelayanan lebih efektif.
Suatu siang di Jakarta. Belum lama ini.
"Karena berbagai pertimbangan, kelompok doa kami dimekarkan menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil" cerita seorang umat kepada saya.
Jumlah umat yang sedikit membuat pelayanan lebih efektif, benar? Tidak juga. Di luar dugaan justru kelesuan menyebar merata di kelompok-kelompok kecil tersebut.
Pemekaran itu yang membuat jumlah umat yang menghadiri pertemuan terbatas menjadi pemicu kelesuan itu. Terbalik dari keyakinan saya beberapa bulan lalu, lebih banyak umat yang hadir dalam setiap pertemuan doa lebih baik. Jumlah umat yang banyak menjadi pemicu kegairahan dalam pelayanan.
Moral dari dua kasus di atas adalah kejelian melihat pengaruh yang ditimbulkan dari jumlah umat. Adakalanya lebih sedikit lebih baik. Ada kalanya semakin banyak semakin baik.
Kejelian, saudara-saudara, kejelian.