Bagaimana mengajarkan musik kepada sekumpulan pelupa dengan kemampuan berpikir yang tidak lagi jernih? Mmmmm… Ganti, ganti. Bagaimana mungkin? Ya, ya, ya, bagaimana mungkin?
Minggu lalu. Di suatu siang yang terik menyengat. Saya berada di sebuah lembaga rehabilitasi pecandu narkoba di luar Jakarta.
Setelah makan siang bersama dengan para pecandu yang ingin sembuh itu (di lembaga ini mereka dipanggil 'resident'), kami berkumpul di sebuah ruangan yang didesain multifungsi: para resident akan memperlihatkan kemampuan mereka bermain musik. Di dalam ruangan itu terdapat beberapa alat musik. Dua di antaranya, seperangkat kulintang dan angklung.
Siang itu para resident wanita dan guru musik lembaga itu memainkan lagu dari Spanyol dengan menggunakan kulintang. Lagu itu sendiri sama sekali asing di telinga saya. Bahkan judulnya, yang disebut sang guru musik asal Manado di awal permainan mereka, tidak saya ingat. Alasan guru musik bererja di lembaga itulah yang paling saya ingat.
"Kata orang, pecandu narkoba itu sampah masyarakat. Tetapi saya senang bekerja di sini dan mengajar musik kepada para resident. Karena saya ingat kata-kata Yesus, 'Apa yang kau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina itu kau lakukan untuk Aku'".
Sebelum makan siang bersama, seorang pengurus lembaga itu menjelaskan efek dari penggunaan narkoba. Kehilangan kemampuan untuk berpikir secara jernih, itu salah satu efeknya. Dan pelupa adalah efek lainnya. "Ada resident yang tidak ingat lagi nomor telepon rumahnya sendiri. Ada pula yang setelah keluar dari toilet ia lupa hendak ke ruangan mana. Ada yang sebelum menggunakan narkoba sangat mahir bermain gitar. Sekarang lupa" katanya.
Setelah penjelasan panjang lebar itu, saya menghadiri misa bersama dengan para resident. Dan saya menyaksikan efek lupa dan tidak bisa berpikir jernih itu. Dalam kata pembukaan romo yang mempersembahkan misa menyebut tema misa. Setelah dua-tiga kalimat pendek penjelasan, sang romo menanyakan kembali kepada para resident tema misa. Mereka hanya saling pandang dan mengeluarkan gumaman tidak jelas. Tidak ada satupun yang mengingatnya. Tidak satupun dari 36 resident yang hadir! Padahal rasanya-rasanya baru 30 detik berselang.
Karena itu saya tergetar. Waktu itu saya terharu mendengar alasan guru music itu.
Pastilah tidak gampang mengajarkan kulintang kepada sekumpulan pelupa dengan kemampuan berpikir yang tidak lagi jernih. Pastilah dibutuhkan tujuh puluh kali tujuh kali lipat kesabaran.
Pastilah dibutuhkan lebih dari kesabaran. Pastilah dibutuhkan keyakinan tidak biasa. Dan inilah keyakinan tidak biasa itu: guru musik itu yakin ia tidak sedang melayani sampah masyarakat, ia melayani Yesus sendiri.
Dan keyakinan tidak biasa itu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Keyakinan tidak biasa itu membuat mukjizat terjadi.
Lagu Spanyol itu dimainkan dengan sangat indah.